1「 l o v i n g 」1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan jadikan cintamu kepada makhluk melebihi kecintaanmu kepada Allah
-xxx-

    Duduk bersama Mila di kursi panjang depan kelas, ditemani lantunan musik pop melalui earphone. Mila—teman sebangkuku—fokus pada tugas mengarangnya. Sedangkan aku, sibuk menyelesaikan bab-bab terakhir novel pinjaman dari perpustakaan.

    “Aku sudah selesai!” pekik Mila membuat konsentrasi membaca yang kubangun buyar. Suaranya melengking bagai peluit guru olahraga.

    Aku tak begitu menghiraukannya karena sedang berada pada titik klimaks. Menoleh tak acuh padanya, memfokuskan kembali ke paragraf terakhir bacaanku, dan mulai tak bergeming. Mila tidak bisa diam. Ia menarik lengan kiriku, membuat novel yang kukuh kupegang oleng ke arahnya.

    “Nilai dong karanganku!” pinta Mila kepadaku tanpa tata krama umum orang yang membutuhkan bantuan. Ya baiklah, mau bagaimana lagi, aku harus menuruti keinginannya agar berhenti merengek.

    Belum selesai kegiatan menilai karangan, tawa bariton bergema di sepanjang koridor. Disambung suara yang lebih berat, mereka terdengar sedang bergurau. Spontan aku menyudahi kegiatan menilai karangan, menoleh kebelakang, dan memandang salah satu insan yang sedang bergurau dengan temannya.

    Kuberitahu satu hal, bahwa insan yang kuperhatikan saat ini telah mencuri hatiku.

☀️☕☀️

    Detik waktu seakan terhenti. Dua pasang mata menusuk satu sama lain dan di salah satu pihak begitu ingin waktu berhenti seperti ini selamanya.

    Pupil hitam legam berbinar memantulkan kejadian saat ini, terbingkai oleh bulu mata lentik nan alami, serta alis tebal teratur senada dengan kedua pupil matanya, hidung mancung khas penduduk Asia, bibir mungil juga keriting, melengkapi kesempurnaan cetakan yang dimiliki kedua orang tuanya untuk diturunkan kepada buah hati mereka yang bernama Altaf Hafizh Shakeil. Sebagian kecil aksesoris miliknya itu mampu menghipnotis gadis luar biasa datar seperti diriku.

    “Ah, maaf!” Ia spontan berjongkok dan mulai memungut buku-buku berserakan di lantai depan pintu perpustakaan.

    Tunggu dulu, buku-buku?

    “Astaghfirullah! Maaf kak, jangan repot-repot!” Aku mulai memungut dan merebut buku-buku yang ada di tangan kak Altaf.

    Yup, aku memanggilnya 'kak' karena ia satu tingkat di atasku. Setahun yang lalu, kak Altaf menjabat sebagai WAKETOS dan sekarang hanya sebagai anggota OSIS biasa. Kala itu juga, ia menjadi salah satu mentor kelasku ketika MPLS. Selain OSIS, setelah ditelusur, ia juga ikut Rohani Islam—disingkat menjadi ROHIS—yang kadangkala melantunkan ayat suci Al-Qur'an dan terdengar sampai ujung sekolah karena speaker masjidnya.

    Tidak semerdu Muhammad Thaha al-Junayd, namun tak seorangpun dapat mencuri perhatianku selain kepada Altaf Hafizh Shakeil—sekalipun bang Thaha al-Junayd ganteng level internasional idaman para ukhti—dan hanya kak Altaf yang membuatku terpaku oleh lantunan ayat sucinya.

    “Ada yang sakit gak?” Kak Altaf bertanya disertai kedua pasang matanya menelusuri tangan dan kakiku. “Lo sih!” Ia menyalahkan temannya yang telah diketahui sedang mengubernya, main kucing-kucingan. Kini wajah teman cowoknya itu ikut bersalah.

    “Ng ... Nggak, nggak ada.” Aku tergagap, malu setengah hidup.

    “Merah lho wajahnya, kayak demam. Mau dianter ke UKS?” tawar temannya yang wajahnya terlihat lebih friendly.

    Aku menggeleng kencang dan berterima kasih kepada mereka. Setelah itu, aku pergi setengah berlari menuju kelasku.

    Ya Allah, tolong selamatkan aku!

🌤️☕🌤️

    Pertama kalinya aku melihat kak Altaf menyendiri tanpa dikelilingi teman-temannya. Ia duduk merenung di bangku panjang depan kelasku. Meskipun raganya berada di sana, jiwanya entah berlabuh ke mana.

    Tanpa disangka-sangka, kak Altaf menoleh ke arah kelasku yang jaraknya kurang lebih dua meter dari bangku panjang yang ia duduki. Aku bersembunyi dibalik jendela yang untung saja terhalang oleh gorden. Sejak pagi aku sampai di sekolah, aku mengawasi gerak-gerik kak Altaf yang dekat sekali denganku, hanya terhalang oleh jendela dan gorden hijau polos nan sederhana.

    Cukup lama kak Altaf menatap kelasku. Diluar dugaan, ia tersenyum simpul lalu menggeleng sekali. Ia bangkit dari bangku dan berlalu begitu saja entah ke mana. Mengapa ia tersenyum ke kelasku? Apakah ia mencari seseorang di kelasku? Mungkinkah orang yang ia cari itu yang membuatnya tersenyum?

⛅☕⛅

    Enam bulan berlalu semenjak aku menginjak masa putih abu-abu, aku tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler maupun organisasi manapun. Alasannya sederhana: Rumahku jauh, dan aku akui, aku cukup malas berinteraksi dengan banyak orang. Mereka beranggapan bahwa aku ini kuper, nolep dan semacamnya, namun aku juga tahu cara bergaul yang normal itu seperti apa.

    Aku heran kepada teman-temanku yang famous di sekolah. Mereka tanpa lelah meladeni teman-temannya yang hiperaktif. Mereka juga bahagia dikelilingi oleh teman-teman yang memiliki perangai tak serupa dan hampir gila jika bersama. Sungguh masa remaja yang berwarna-warni.

    Dua hal yang membuatku bahagia di jam istirahat ini adalah sebuah novel ringan untuk remaja dan seperangkat alat elektronik: handphone dan earphone. Aku setuju dengan persepsi 'bahagia itu sederhana'.

    Damai rasanya berada di kelas sendirian. Berpacaran dengan novel, selingkuh dengan musik, dan nyaman dipangku kursi. Sensasinya membuatku terbang ke langit yang ketiga—karena langit ketujuh hanya untuk kak Altaf seorang—namun seketika aku jatuh ke perut bumi dikarenakan gempa tektonik di sekitar lengan kananku.

    Jika ditanya oleh seseorang yang paham akan perasaanku: 'bagaimana situasi hatimu saat ini?' Aku dengan mantap akan mengutip satu kalimat lirik lagu: 'inginku teriak! Inginku menangis ...'

    “Zahwa, Zazah, Wawa, Zahwaaa!” panggil Mila tanpa ragu. Serempak aku memutuskan hubungan dengan novel, musik, dan kursi kesayanganku.

    “Apa?!”

    Mila meneguk salivanya kasar. Sungguh alay temanku satu ini.

    “It-itu, ituuu!” Mila mendadak gagap.

    “Itu apa?!” Aku naik darah.

    “A-ada babang!” Wajahnya menjengkelkan.

    “Babang siapa?!” Aku semaput.

    “Ada babang ganteng! Siapa itu namanya ... Altaf!”

    Seketika aku membatu. Darahku berdesir. “Ada apa dengan kak Altaf?”

    “D-dia, diaa, mau ketemu sama kamu!”

    Boom! Rasanya jantungku meledak. Mimpikah ini? Ya Allah, bangunkan aku sesegera mungkin jika ini mimpi. Aku tidak ingin meninggal secara konyol dikarenakan gagal jantung di kasur. Naudzubillah.

🌥️☕🌥️

    Terduduk diam sesosok makhluk keturunan nabi Adam tanpa merubah posisinya. Bahunya tegap, rambutnya hitam klimis, seragamnya seputih kapas, dan dalam hatinya seperti ada gejolak yang sulit tuk diungkapkan ke sembarang orang. Aku memandang sisi belakang kak Altaf cukup lama hingga ia menoleh ke arahku. Aku tersadar dan segera menghampirinya.

    “Ada apa kak?” tanyaku was-was, takut salah bicara.

    “Hmm ... Zahwa?” Ia memastikan namaku dan aku mengangguk. “Jadi gini Zah, aku mau tanya sama kamu, tentang .... Ehm, gimana ya ...”

    Menurutku, jika orang sulit mengungkapkan apa yang ada di benaknya, penyebabnya ada dua: ragu apakah harus diungkapkan apa tidak, atau, kurang yakin dengan lawan bicaranya. Solusinya hanya satu: meyakinkan orang itu bahwa semua akan baik-baik saja jika diungkapkan dan berusaha menetralkan suasana. Karena jika topik yang akan dibicarakan perihal 'privasi', maka akan ketahuan dari cara ia bersikap dan berbicara.

    “Tenang kak, aku akan mendengarkan dengan baik.”

    Ia memandangku cukup lama. Aku berusaha menetralkan suasana dengan cara tersenyum padahal aku sendiri keringat dingin dibuat olehnya.

    “Jadi, aku menyukai salah satu siswi yang ada di kelas ini.” Kak Altaf mulai angkat bicara dan awal kalimatnya membuatku cukup tertohok.

    Siapakah dia? Siapakah cewek beruntung itu? Mengapa harus kelasku? Aku diam dengan gejolak rasa penasaran yang kubendung sekuat mungkin. Jika aku membuka suara, aku takut salah bicara dan kak Altaf akan ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

    “Dia pendiam dan sulit untuk diajak ngobrol. Aku sangat ingin berbincang dengannya.” Kak Altaf mengalihkan pandangannya ke bawah. Aku sangat menyimaknya dan menunggu kalimat selanjutnya namun ia diam saja.

    “Siapakah dia?” tanyaku pelan dan hati-hati.

    “Fadina,” jawabnya dengan wajah seperti kepiting rebus.

    Fadina. Tempat duduknya persis di depanku.

    “Aku masuk ROHIS karena dia.”

    Fadina orangnya alim dan sering membersihkan masjid sekolah.

    “Aku sudah mencoba mendekat, tapi dia selalu menjauh.”

    Fadina kurang akrab dengan cowok-cowok di kelas.

    “Aku penasaran ingin mengenalnya.”

    Dari ribuan pertanyaan yang tersimpan dalam benakku, yang keluar hanya,

    “kenapa kakak menceritakannya padaku?”

    Kak Altaf diam sebentar kemudian mengusap tengkuknya sembari berkata, “entahlah, aku percaya aja sama kamu, sekalian curhat sebagai teman sekelasnya. Aku nggak kuat jika terus begini.”

    Baru kenal enam bulan, berpapasan puluhan kali, saling sapa lima kali, dan mengobrol baru kali ini, ia sudah seyakin itu padaku? Dan ia berkata tidak kuat membendung perasaannya? Kepadaku?

    “Jadi ... Maukah kamu bantu aku?” tanyanya penuh harap.

    Lucu sekali.

☁️☕☁️

    Tas dan sepatu sudah siap di teras rumahku. Seragam yang telah kusetrika tadi malam terlihat cukup pantas di tubuhku. Kerudung pun sama rapihnya. Hanya satu yang berantakan.

    Hatiku.

    Rongga kepalaku bergema, memantulkan satu nama yang diucapkan oleh insan muda yang dilanda mabuk asmara.

    “Fadina ...

    Nama itu mengiang bagaikan ribuan lebah berputar-putar dalam kepalaku. Berisik dan sangat menyakitkan.

    Dalam kesunyian pagi, terdengar gemeretak kecil di atap. Gerimis. Pantas saja sejak berwudhu aku menggigil karena dinginnya cuaca.

    Aku mengambil jaket dan segera berangkat ke sekolah. Belum setengah perjalanan, gerimis menjadi hujan, semakin lebat. Jika begini, terpaksa harus bawa payung. Aku putar balik dan berlari sekuat tenaga untuk mengambil payung. Mama memarahiku karena tidak membawa payung padahal hujan begini. Cukup hatiku saja yang sakit, fisikku harus tetap terjaga.

🌧️☕🌧️

    Sesampainya di sekolah, hari-hariku berjalan seperti biasanya. Belajar; membaca novel, ditemani musik, dan dipangku kursi; mengacuhkan kegilaan Mila; menatap kak Altaf yang pandangannya tertuju ke kelasku—bukan, tertuju ke arah Fadina lebih tepatnya.

    Bel elektrik berseru 'waktunya pulang' secara lantang melalui speaker yang terpasang di seluruh penjuru kelas yang membuat seluruh murid buyar ke lapangan menuju gerbang sekolah untuk pulang.

    Kami sekelas membentuk kelompok masing-masing sebelum pulang dan bercanda melepas penat setelah sembilan jam belajar. Kelompokku terdiri dari diriku sendiri dan Mila. Sedangkan kelompok Fadina terdiri dari Fadina dan dua lainnya. Mereka selalu bersama semenjak pembagian kelas sepuluh.

    Perhatianku tak lepas dari Fadina. Cara ia berjalan, cemberut, tertawa, bahkan menabok kedua sahabatnya itu. Ia bagaikan madu baru saja dipanen. Segar, manis, dikelilingi oleh lebah-lebah penjaga—tak lain yaitu kedua sahabatnya. Pantas saja kak Altaf menaruh hati pada gadis madu itu.

    “Hei! Kamu dari kemarin ngelamun terus. Cerita dong ke aku!” Mila mengacaukan pikiranku. Aku menatapnya tajam.

    “Ih Zahwa ... Kurangin seremnya! Aku bisa-bisa mati muda karena diterkam zombie yang kurang dikasih kemenyan.”

    Aku muntab. “Bodoamat!” lalu meninggalkan Mila jerat-jerit di lapang tanpa rasa malu.

⛈️☕⛈️

    Hujan datang lagi. Lebih ganas dari tadi pagi. Untung saja aku telah mengenakan jaket, hanya tinggal mengeluarkan payung lipat oranye milikku. Dapat dihitung jari, berapa orang yang membawa payung. Aku dan Mila yang satu payung mendadak penuh sesak oleh teman-teman sekelas yang kehujanan. Mereka kelabakan dan berpencar cari tempat berteduh. Aku dan Mila ikut melipir karena hujan begitu ganas hingga menerobos tameng payungku, membuat rok dan sepatuku basah.

    Kami berteduh di halaman ruko yang tutup. Ada yang berteduh di halaman minimarket, warung nasi, halaman bank, sampai teras rumah orang. Saking derasnya, mereka menerobos masuk tidak peduli izin dari si empunya. Semua tempat berteduh yang aman penuh. Kami termasuk sederet siswa yang kurang gercep mencari tempat yang luas. Ruko yang tertutup pintu harmonika, menyisakan zona aman satu meter dari sergapan panah air kian menggebu, dikirimkan dari malaikat Mikail atas izin Allah SWT.

    Di sebelah kanan Mila, ada Fadina yang menggigil karena sebagian besar seragamnya basah. Pipinya yang bagaikan buah persik kini membeku seperti sirsak. Kedua sahabatnya memeluk Fadina untuk melindunginya. Setelah bertanya, Fadina memang sedang kurang enak badan. Aku melepas jaketku yang terbilang kering dan menyerahkannya.

    “N-nanti kamu kedinginan gimana?” tanyanya lemah. Aku prihatin.

    “Aku sehat wal'afiat, pakai aja,” aku meyakinkan Fadina.

    Ia awalnya ragu, namun menerima dengan senang hati. Jaketku cukup tebal sehingga mampu mengurangi dingin yang ia derita.

    Sejam berlalu, hujan mereda. Kami tak kunjung mendapat elf—sejenis angkot—karena berserobot dengan yang lain. Matahari mulai sembunyi, menyisakan guratan senja. Kami pindah untuk duduk di kursi depan minimarket yang tak jauh dari sekolah. Aku mengajak Fadina dan sahabat-sahabatnya. Kami berlima duduk tanpa berbicara hingga datanglah pengemudi cool ditemani motor gede bermerk Yamaha entah jenis yang mana.

    “Kalian belum pulang?!” tanyanya cemas. Orang itu adalah kak Altaf. Ia terus memperhatikan Fadina.

    “Tolong anter Fadina kak, dia kurang enak badan, takut masuk angin,” pintaku serius.

    Kak Altaf menatap lekat Fadina. “Kamu sakit?”

    Fadina hanya menunduk, tidak merespon. Ia tampak menghindari kak Altaf, entah yang lain sadar atau tidak.

    “Ayo ikut, aku anterin kamu,” tawar kak Altaf lembut.

    Awalnya Fadina menolak. Tapi karena kedua sahabatnya memberi sedikit ojokan kepada Fadina, akhirnya ia mau dan bangkit dari kursinya. Dengan sigap kak Altaf mengeluarkan helm kecil yang selalu setia dibawanya dan menyerahkannya pada Fadina.

    “Jaketnya ...”

    “Jangan balikin kalo belum wangi.” Aku memotong ucapan Fadina.

    Fadina tertawa kecil lalu mengucapkan terima kasih padaku. Kini mereka telah terduduk manis di atas jok. Kak Altaf memandang kami berempat, terutama kepadaku. Ia tersenyum. Senyum paling menawan yang pernah aku lihat, dan itu hanya untukku. Begitu saja sudah cukup.

    Mereka mengangguk sekali tanda salam perpisahan dan melaju memecah angin senja, menginjak tanah dunia, serta dibalut panah asmara. Sungguh rupawan kedua sejoli itu.

    Tak lama kemudian, elf penuh penumpang berhenti, hanya bisa mengangkut dua orang saja yaitu kedua sahabat Fadina. Mereka melambai dihiasi senyuman merekah.

    “♪♪♪~ ♪♪♪~ Melodi panggilan masuk milik Mila.

    Ternyata abangnya khawatir karena adiknya belum juga pulang. Ia sebentar lagi akan dijemput dan menawariku pulang bersama.

    “Nggak usah. Mamaku juga mau jemput, takutnya udah di jalan,” jelasku kepada Mila.

🌨️☕🌨️

    Sekitar dua puluh menit kemudian, abangnya sampai. Ia mencubit pipi Mila yang gembil. “Dasar badung! Bukannya pulang malah nongki! Kasihan Zahwa, pasti udah dicariin ortunya.”

    “Nggak kok bang. Zahwa juga bentar lagi dijemput mamanya! Lepasin ih, sakit tahu! Meski krempeng, tenaga abang setara sumo!”

    Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah laku kakak beradik ini. Mila memperhatikanku dan menggoncangkan tubuhku. “Aku baru lihat kamu ketawa! Silau banget! Lagi dong!”

    “Ih apa sih, malu-maluin!” Aku memalingkan wajahku. Dasar kebiasaan!

    “Gak apa-apa kamu sendirian?” tanya abangnya padaku.

    Aku menggeleng cepat. “Nggak apa-apa. Tadi mama WA mau jemput, bentar lagi sampai.”

    Mereka pamit dan tersisa aku sendirian dengan rintihan luka meluruh bersama gemericik hujan bersinggung pipi. Kini aku dan hujan mulai mengakrabkan diri karena nyaman akan derasnya air yang mengalir, yaitu air hujan yang bertemu air mataku. Matahari telah pergi. Semakin sunyi dan gelap, namun hatiku bergemuruh mengingat rasa yang telah rusak terbawa angin senja.

    Namun setelah ini, aku mendapat sebuah cinta yang luar biasa ...

❄️☕❄️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro