06

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kepala Selena terasa sakit ketika ia membuka matanya.

Yang ia lihat pertama kali adalah kegelapan, lalu bau samar kulit binatang bercampur asap yang membuatnya sesak. Selena berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia baru saja bermimpi. Mimpi yang sangat buruk, dan sekarang ia kembali ada di dalam tenda perkemahan prajurit yang ramai dengan suara orang lalu lalang. Ia akan menemukan Alan, lalu mereka akan bercanda seperti biasanya. Tidak ada orc, tidak ada serigala.

Lengannya mendadak tersengat rasa gatal. Ia mengangkat telapak tangannya, dan mata Selena melebar. Tangannya masih penuh dengan warna merah kehitaman yang kotor dan tersisa bau anyir.

Darah.

Bayangan perang, lolongan serigala para Orc, suara senjata beradu, kemudian tubuh Alan yang terbaring diam di tanah kembali melintas di pikirannya. Perut Selena terasa mual.

"Kau sudah sadar?"

Sebuah suara lembut berbicara. Dengan air mata yang mulai meleleh di pipinya, Selena menoleh ke sosok perempuan duduk di dekat bagian tengah ruangan yang dimasuki sinar matahari karena atapnya berlubang.  Tepat di bawahnya adalah perapian yang menyala. Walaupun tubuh perempuan itu langsing, tapi perutnya yang tertutup gaun dari kain kasar nampak membulat. Ia sedang mengandung.

Perempuan itu sedang merebus sesuatu dengan sebuah kuali kecil dari tanah liat. Isinya mendesis dan mengeluarkan gelembung–gelembung kecil. Ia melempar ranting-ranting kering ke perapian, membuatnya nyala apinya membesar. Darah di tubuh Selena serasa ikut mendidih ketika sosoknya terlihat.

Tingginya mungkin sedikit melebihi Selena, tapi masih wajar untuk seorang manusia dan memiliki rambut bergelombang warna hitam. Ia berkulit hijau cerah, ditambah sepasang telinga yang lancip dan dua taring kecil menyembul di dua sudut bibirnya yang tipis.

Ia seorang orc.

Selena mencoba untuk bangun, tapi rasa nyeri menyengat hampir semua bagian tubuhnya yang terluka sampai memaksanya untuk tetap terbaring dengan napas terengah-engah.

"Jangan banyak bergerak dulu," kata perempuan itu. "Obat yang kuberikan di lukamu masih belum meresap dengan sempurna."

Orc itu menuangkan sedikit isi kuali ke mangkuk di dekat perapian. Sebuah cairan kental cokelat tua menjijikan seperti campuran air dan tanah berlumpur. Ia mendekati Selena, mencelupkan sebuah kain bersih ke dalamnya dan ingin mengoleskan ke wajahnya.

Selena tersentak. Ia menepis lengan si perempuan orc, membuatnya terkejut dan menjatuhkan mangkuk itu hingga pecah. Isinya tertumpah di tanah, berbau tajam dan memuakkan seperti puluhan tanaman obat yang mulai membusuk dan dijadikan satu.

"Apa yang akan kau lakukan padaku, monster?!" bentak Selena dengan suara parau. "Jangan coba-coba mendekatiku!"

"Aku hanya mau mengobatimu," kata si Orc perempuan. "Lukamu bisa membusuk jika tidak segera diobati."

"Aku tidak butuh rasa kasihan monster sepertimu!"

Perempuan orc itu hanya diam. Ia membungkuk untuk membersihkan pecahan mangkuk di lantai. Sementara Selena memandangi tubuhnya sendiri. Ia sekarang memakai gaun yang sama seperti perempuan orc itu. Luka–luka lengannya juga telah dibalut perban dan tidak terasa sakit lagi, tapi berbau seperti cairan yang ia tumpahkan.

"Di mana ini?" Selena bertanya. "Sudah berapa lama aku pingsan? Di mana Alan?"

"Di dalam rumahku. Tempat yang kalian sebut sebagai perkampungan para Orc," perempuan itu menjawab. "Saat ini belum lewat satu hari, dan aku tidak tahu siapa Alan. Kau dibawa ke sini sendirian. "

Air mata menggenang lagi di mata Selena. Ia kembali terisak. Alan pasti sudah mati, tidak ada lagi. Kalios begitu kejam merengut impian terakhirnya untuk hidup bahagia. Selena merasa ia hanya ditinggalkan sendirian di sini hanya untuk mati di tempat yang terasing baginya.

Perempuan Orc itu mendiamkan Selena sampai ia selesai menangis. Setelah air matanya kering, Selena mencoba melihat sekelilingnya. Ruangan itu berbentuk lingkaran dan beratap tinggi, tetapi luasnya hanya cukup untuk menampung tiga atau empat orang tinggal di sana. Di bagian dinding, tergantung tabung berisi lembing pendek, juga perisai dan kapak yang sepanjang lengan Selena.

"Kau boleh memanggilku Kalia," kata Orc perempuan itu. Suaranya terdengar dalam tapi lembut seperti seorang ibu kepada anaknya. "Siapa namamu?"

Selena membisu. Beragam pikiran buruk mulai berputar di kepalanya yang masih berantakan. Mungkin saja orc perempuan ini hanya pura–pura baik padanya. Bisa jadi obat yang ia berikan mengandung racun yang akan melumpuhkan tubuhnya, atau membuat lukanya justru semakin membusuk. Ia sekarang adalah tahanan para Orc.

"Aneh," Kaila bergumam. "Bukankah manusia sepertimu punya nama juga? Siapa namamu?"

Ia tadinya ingin tetap bungkam, tapi tatapan mata Kaila entah kenapa membuatnya membuka mulutnya. "Selena."

"Selena, kau tadi menangis, juga pada waktu pingsan," gumam Kaila. "Kenapa?"

"Siapapun pasti menangis kalau kehilangan orang yang ia sayangi," jawab Selena dingin. Jari-jarinya membentuk kepalan tinju. "Kalian sudah membunuh kekasihku."

"Dan kenapa kau menyerang kami?" tanya Kaila

Selena tersenyum pahit. Menurut para penyihir yang mengajar di akademinya, sudah jelas para orc harus dimusnahkan. Mereka adalah ciptaan Morgrath. Monster yang iblis itu gunakan sebagai prajuritnya dalam perang Khadgar yang sudah membunuh ayahnya, san sekarang mereka membunuh Alan.

Alasan apa lagi yang Selena butuhkan untuk membenci mereka?

"Kami tidak pernah merampok atau menjarah desa kalian, hidup di sini dan terasing dari kaum manapun," kata Kaila, "tapi kalian tiba–tiba menyerang dan membunuh para prajurit kami. Kenapa?"

Sorot mata Kaila yang sehitam batu obsidian tampak sedih, ia mengelus perutnya yang besar dengan jemariya yang kurus. Kaila lalu mengambil mangkuk yang lain dan mengisinya lagi dengan cairan yang ada di dalam kuali.

"Anak di dalam perutku ini baru saja kehilangan kakaknya," kata Kalia lirih. "Meninggal karena ikut berperang melawan tentara kalian. Ia belum cukup dewasa untuk berperang, tapi anak itu memaksa ayahnya, karena ingin melindungi kami juga adiknya yang belum lahir ini."

Kemarahan Selena perlahan mereda. Setitik penyesalan merembes ke dalam hatinya karena menyebut wanita itu sebagai monster. Selena mencoba mengingat-ingat seperti apa para Orc yang telah ia bunuh, tapi wajah mereka semua nampak sama saja, sehingga ia tidak bisa membedakannya. 

Selena akhirnya membiarkan Kaila mengoles cairan kental berbau itu di sekujur tubuhnya yang tidak tertutup perban. Begitu cairan itu mengenai wajahnya, ia mencoba menahan napas sebisa mungkin. Selena bisa mendengar desis lemah dan lukanya menjadi lebih perih. Iameringis, tapi setelah itu, rasa sakitnya hilang dan digantikan oleh kehangatan yang nyaman.

Pintu menjeblak terbuka, dan  dua Orc dengan baju tempur dan bersenjata lengkap masuk ke dalam rumah. Mereka menundukkan kepala sedikit kepada Kaila lalu berbicara dengan suara rendah penuh geraman.

Setelah kedua prajurit Orc itu selesai berbicara, Kaila berbalik kepada Selena. "Suamiku ingin bertemu denganmu sebentar lagi, dan aku harap kau tidak keberatan untuk memenuhi undangannya."


===============

Terima kasih sudah membaca bab ini, saya sangat mengharapkan komentar untuk perbaikan cerita dan vote jika kalian menyukai bab ini.

m(_ _)m 

=============== 

Bab Selanjutnya - Minggu Depan -

"Lakukanlah!" Selena balik menantang. "Aku lebih baik mati daripada harus tunduk!"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro