9. Padam Listrik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

GENRE: FANFICTION - SCI-FIC

***

Hari ini hari Senin. Semua orang panik--termasuk aku--karena hari ini ada ulangan Matematika, Fisika, dan Kimia secara berurutan seakan para guru telah merencanakan hal ini sebelumnya. Tentu saja kelas kami telah melancarkan aksi protes namun para guru tidak menghiraukannya, dasar guru-guru sadis dan tidak berakhlak.

Upacara berlangsung membosankan seperti biasanya. Kepala sekolah berceramah di atas podium dengan sebuah mic di depannya. Namun, yang berbeda adalah kelas kami, 10 MIA 3 sibuk memegangi catatan digital atau kertas-kertas kecil yang dibuat sendiri dan kembali mengingat kembali pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan, persiapan menit-menit menuju ke neraka.

Teknologi memang semakin canggih tapi tetap saja mencontek terasa semakin sulit untuk kami. Pelajaran dibagikan langsung dalam bentuk pdf dan kita bisa mendapatkannya dengan mudah karena kami tidak perlu mencatatnya lagi. Bayangkan saja leluhur kami harus mencatat berlembar-lembar halaman dari buku ini. Astaga, membayangkannya saja aku sudah mual.

Pengawasannya sangat ketat di masa ini. Gurunya hanya bertugas membagikan pada kami form ujiannya lalu duduk dan menunggu, tidak, bukan pengawasan gurunya yang mengerikan, melainkan sistem anti menyontek yang dipasang sekolah.

"Hey, Elin. Bagaimana dengan persiapan belajarmu?" tanya Lemon dengan cara berbisik dari belakang.

Aku menghembuskan napas dengan pasrah, "jujur saja, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ujian ini berakhir. Mungkin kepalaku akan konslet dan meledak."

"Benar, aku juga merasa begitu." Lemon ikut mengangguk setuju.

Akademi FLC memang sangat mengerikan, padahal tidak terdengar desas-desus bahwa ini adalah sekolah yang sangat ekstrim seperti ini. Aku mulai berpikir apakah masuk ke akademi ini memang pilihan yang tepat?

Maksudku, mari kesampingkan soal makanan di kantin yang teramat lezat dan fasilitas yang memuaskan, aku ingat sekolah dasarku dulu sering sekali padam listrik sehingga semua aktivitas belajar kami terhenti. Orang-orang di sini juga sangat baik, aku bahkan sangat akrab dengan mereka.

Aku mengalihkan pandanganku ke Lemon dan bertanya, "bagaimana denganmu?"

Lemon menggeleng. "Entahlah, aku tidak begitu yakin. Aku sudah belajar sepanjang malam untuk ini dan masih tidak merasa bisa menghafal seluruh rumus-rumus ini."

"Ya, semua rumusnya seakan bercampur aduk di kepalaku. Aku bahkan tidak bisa membedakan mana yang rumus Matematika, Fisika, ataupun Kimia," balasku sambil tersenyum pahit.

"Coba lihat Kak Yuma, bahkan ia terlihat kebingungan," ujarku sambil menunjuk arah barisan laki-laki.

"Padahal Kak Yuma sangat pintar," balas Lemon melihat Kak Yuma yang kerepotan.

Tradisi Akademi FLC setiap ujian. Di satu ruangan itu semua muridnya telah diacak dari berbagai tingkatan (kelas sepuluh, sebelas dan duabelas.)

Jadi semenjak awal persiapan ujian itu, telah ditentukan dan diperkenankan untuk mulai duduk di sana meski jadwal ujian belum berlangsung, katanya sih untuk beradaptasi karena orang-orangnya tidak kami kenal betul.

Untungnya aku sekelas dengan Lemon yang tidak lain adalah sepupuku sendiri. Meski selain itu tidak ada yang kukenal lagi di kelasku (karena kebanyakan ruangan kami diisi oleh kakak kelas.)

Aku masih ingat pertama kali kami berdua memasuki kelas itu, kami sangat gugup karena menjadi junior di antara para senior. Lav yang seharusnya sekelas dengan kami malah dipindah ke ruang lain karena alasan kekurangan tempat dan hasilnya di sinilah kami, hanya dua orang anak terlantar.

Lemon bahkan sudah berkeringat dingin sambil berasumsi hal yang tidak-tidak, membuatku juga ikut panik dan ngeri sendiri. Namun, syukurlah tidak ada satupun pemikiran negatif kami yang benar. Para senior sangat baik dan ramah. Bahkan bisa dikatakan sableng.

Oke, kembali ke ujian. Oh demi Teori Atom Dalton, kepalaku semakin pusing saat melihat rumus-rumus berada di depan mataku. Semuanya seakan terpantul keluar begitu saja padahal aku sudah mempersiapkannya beberapa minggu yang lalu sebelum ujian.

Sesekali aku menatap kepala sekolah yang masih berceramah. Yah, sisi baiknya semakin lama bapak itu berceramah, semakin lama waktu yang bisa kami dapatkan untuk belajar. Aku bahkan sudah tidak berpikir lagi bagaimana jika kami--sekelas--tertangkap oleh guru karena belajar di tengah-tengah proses upacara. Kalau ada orang yang harus disalahkan, salahkan para guru yang memaksa kami dalam situasi seperti ini.

Bu Nanda menatap kami dari belakang, mata kami sempat bertemu beberapa saat namun aku cepat-cepat kembali mengalihkan pandanganku ke depan. Lihatlah, bahkan guru paling killer di Akademi FLC membiarkan kami, tidak ada alasan untuk khawatir. Aku meyakinkan diriku sendiri.

"Kak Chita, kamu baik-baik saja?" tanyaku saat melihat kondisi Kak Chita seakan orang yang akan pingsan beberapa saat lagi jika masih menatap rumus-rumus Fisika itu.

Yah, bisa dibilang kondisi kami semua seperti mayat hidup yang dibangkitkan hanya untuk ujian.

Kak Chita mengangkat jempolnya, "aku tidak apa-apa …."

Sesaat terlihat roh Kak Chita seakan keluar meninggalkan tubuhnya.

"Kakkk!!!"

Cepat-cepat aku membawa Kak Chita untuk beristirahat di UKS. Semoga Kak Chita dapat melalui ujiannya dalam keadaan sadar. UKS kami sangat canggih.

Tersedia AC yang menyejukkan, kasur yang sangat empuk dan nyaman, musik klasik yang menenangkan hati, ruangannya juga sangat bagus, juga terdapat robot pelayan yang menyediakan segala kebutuhan yang kita perlukan dan merawat kita dengan sangat teliti.

Aku sangat menyukainya sampai-sampai rasanya aku ingin pura-pura sakit hanya untuk masuk ke UKS. Tapi, tidak, aku tidak melakukannya kok tenang saja. Lagipula sensor untuk mengecek apakah kita benar-benar sakit atau tidak itu berfungsi dengan sangat akurat jadi mustahil kita bisa membual.

Seharusnya Kak Chita bisa segera pulih.

Aku kembali berjalan memutar dari arah UKS, kembali menuju barisanku.

Kak Yemi yang berbaris di depan Kak Chita--sebelum ia tumbang--bertanya padaku, "bagaimana keadaan Chita?"

Kak Shia dan Kak Key juga ikut menyimak, ingin tahu soal keadaan Kak Chita.

"Hanya kecapekan kok kak," balasku sambil tersenyum yang membuat mereka menghela napas bersamaan.

"Kak Yemi sendiri bagaimana? Sudah berdiri cukup lama juga, saya sarankan Kakak duduk di UKS saja dulu," ujarku melihat wajah Kak Yemi mulai pucat.

"Sepertinya aku masih bisa bertahan," balas Kak Yemi tersenyum lemah. Jelas-jelas itu bukan wajah orang yang masih bisa bertahan.

"Iya, Yemi. Aku rasa juga begitu," ujar Kak Shia dan Kak Key mengangguk setuju. "Setelah ini masih ada ujian menanti, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."

Kak Yemi terdiam sejenak lalu mengangguk. "Baiklah."

Dengan itu, barisan kami pun berkurang dua orang. Aku mengelap keringatku dengan sapu tanganku, panas sekali, ini siksaan! Akademi FLC adalah sekolah yang tergolong kaya karena muridnya terdiri atas golongan 'sultan' dan orang-orang berbakat.

Menurutku mereka sengaja membuat upacara terasa seperti ini. Dasar.

Aku harap aku tidak akan pingsan di kondisi seperti ini. Dulu saat latihan karate dulu, kami disuruh berdiri di bawah teriknya sinar matahari di siang hari dengan telanjang kaki. Batu-batunya sangat membakar kaki dan di saat itu juga aku tidak bisa menahan rasa pusing dan mual di badanku dan akhirnya meminta izin untuk menepi.

Oh, ternyata gurunya sudah selesai berbicara, kami semua masuk ke kelas dengan perasaan deg-degan. Aku malah sibuk bernostalgia ria sedangkan ajal sedang menungguku.

Wajah Kak Chita dan Kak Yemi sudah terlihat lebih baik. Mereka berdua telah kembali ke kelas.

Suasana kelas tegang dan intens. Jantungku berdebar semakin cepat, aku yakin yang lain juga merasa begitu.

"Jadi yaw, kyta myulai ujiannyaw," ujar Pak Eris.

Dum. Listrik tiba-tiba padam.

Hening beberapa menit.

"Oh, Indonesia padam listrik hary ini. Maaf bapack lyupa."

Kami menghela napas bersamaan. Oh syukurlah. Ujiannya diundur minggu depan.

Hidup padam listrik! Ulululu!

***

Written by Fururun

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro