[3.4] - Kehilangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malang. Nama kota bermakna ganda bila salah menempatkannya. Kota tempat kelahirannya menjadi pelabuhan terakhir setelah bertahun-tahun merantau sebagai juru masak.

Dinginnya hawa Malang membuatnya kerasan. Sayang, tanpa ada aroma hidangan rumah di sisinya. Ia bolehlah pulang ke kampung halaman. Ia sengaja tinggal di kontrakan yang dekat restoran.

Restoran Ximore perlahan mulai melebarkan bisnisnya. Ia pun dimutasi dari Semarang dengan gaji dan posisi lebih baik. Tentu saja, semua itu ada bonusnya.

"Bay, adekmu cariin tuh," goda seorang pria berseragam koki di sampingnya.

Ada seorang gadis berparas cantik yang selalu mampir ke dapur setiap jam istirahat. Ia dekap erat Bayu dan dibalas dengan usapan di rambut halusnya. Sebut saja Luna. Gadis berkebutuhan khusus itu teramat spesial di mata Bayu. Di balik keterbatasan fisik, ia bisa buktikan kompetensi dirinya sebagai pegawai. Berulang kali dirinya menyabet penghargaan karyawan teladan, jauh sebelum Bayu pindah dari Semarang.

Senyuman manisnya membuat Bayu kerasan di sana. Luna adalah semangat yang selalu membuatnya tersenyum, layaknya adik sendiri.

"Luna udah makan?"

Gadis itu mengangguk. Ia lalu menarik Bayu menuju area makan para pegawai. Apapun masalah mendera, Luna selalu ada di sisinya.

Senyum manisnya selalu terngiang di wajah sang perindu senja. Ia terus tersenyum berkat wallpaper di ponselnya. Paras gadis berwajah oriental dengan senyum menawan itu hiasi ponselnya. Ya. Luna pegawai pertama yang menjadi temannya di sana sekaligus meminta selfie bersama dengan ponsel mereka.

Senyumannya pun alihkan semangkuk udon panas di depan mata. Hari itu, Kripik mengajaknya pergi ke Surabaya sekaligus merayakan kepindahan sang juru masak. Mereka pergi ke Maruyama Udon yang ada di Surabaya.

"Siapa tuh? Cantik banget. Kenalin dong!" goda Kripik selagi nikmati udon.

"Pikirin tuh pacarmu di kampus. Kasian digantungin terus."

"Masa minta kenalan sama cewek aja gak boleh. Adikmu ya?"

"Bukan. Dia temen kerja. Namanya Luna. Dia udah kayak adik sendiri," ucapnya dalam senyum.

"Mau berpaling dari Zensei nih?"

"Ih, aku sama Heny cuman temenan kok!"

Kripik kembali pada ponselnya. Sesekali ia tertawa berkat chat di grup Lawak Cilegon.

"Bay, kita panas-panasin mereka yuk!"

"Panas-panasin siapa?"

"Anak-anak grup lah. Fuza pengen makan udon lagi. Terus juga banyak anak-anak yang gak bisa meet up. Kita selfie sambil makan udon aja. Gimana?"

"Bagus tuh, Bang Krip!"

Keduanya menata posisi udon dengan estetik. Kripik memegang kamera sementara Bayu berakting makan di depan kamera. Jemari Kripik lantas mengirimkan foto selfie mereka ke grup, berharap Fuza dan anggota grup lainnya panas.

Kripik tersenyum berkat balasan dari saudarinya itu. Lain halnya dengan Bayu yang tatap foto itu berulang-ulang.

"Bang Krip. Coba deh zoom foto yang tadi."

"Foto yang mana sih, Bay?"

"Foto selfie yang tadi. Kayak kenal orang yang di belakang deh."

Kripik melongo. Bayu sodorkan foto selfie mereka yang diperbesar. Tak disangka, mereka tidak sengaja selfie dengan chef Arnold Poernomo yang duduk di belakang mereka.

"Sejak kapan ada chef Arnold di sana?"

"Aku juga baru tahu dari komentar di grup. Mereka jeli juga," pungkas Bayu dalam tawa.

🍀🍀🍀

Pertemuannya dengan Kripik--bahkan chef Arnold--merupakan kegiatan terakhir sebelum pemerintah menurunkan status darurat lockdown. Keadaan memaksa dirinya dan orang-orang lain yang bekerja di bidang jasa kelimpungan. Pasalnya, penghasilan mereka berasal dari jasa. Bila sampai lockdown total, bagaimana bisa mereka mendapat uang, setidaknya, untuk bayar kontrakan?

Pikiran itu terus menghinggapi Bayu di dapur.

"Kak Bayu," sapa Luna dalam bahasa isyarat.

"Semoga aja wabahnya cepet berakhir."

Luna tertunduk. Ia kembali ke posisinya di bagian ticketing.

Jam istirahat sudah berakhir. Biasanya bagian dapur bekerja ekstra keras isi perut pelanggan kini berangsur sepi. Wabah virus corona berimbas keras pada industri berbasis hospitality seperti restoran. Bila sampai restoran tutup, para pegawai menambah daftar panjang pengangguran negeri ini. Mencari kerja bagi pegawai normal saja sulit apalagi gadis berkebutuhan khusus seperti Luna. Jangan sampai ada PHK, harap Bayu selagi plating hidangan yang matang.

Hari demi hari pun berlalu. Luna tidak seperti biasanya. Begitupun para pegawai restoran lainnya termasuk elite pimpinan. Ketika restoran sepi, para elite pimpinan memanggil para pegawai dari seluruh divisi untuk menghadap. Bayu tersentak.

"Mohon maaf, atas kebijakan perusahaan, sebagian besar karyawan kami rumahkan," ucap kepala Unit Personalia yang menunduk. "Tenang saja, kalian mendapat kompensasi gaji selama wabah ini."

Bayu bersyukur. Untung saja itu bukan panggilan untuk dipecat. Lain halnya dengan Luna. Ia dekap Bayu sekeluarnya dari ruang Unit Personalia.

"Kenapa, Lun?"

Chef jacket-nya basah. Gadis bermata jeli itu terisak. Matanya sembap selagi bicara dalam bahasa isyarat untuk meminta maaf.

"Lho, kenapa? Apa orang kitchen ada yang ganggu Luna lagi?"

Seorang teman dari bagian dapur berbisik pada Bayu.

"Bay, tau gak. Tadi sebelum kita dipanggil, HRD pecat Luna."

Perasaannya remuk. Satu-satunya penyemangat di tempat kerja itu kini pergi. Bayu tak habis pikir. Kenapa harus pegawai teladan itu yang pergi? Luna tidak pernah mengeluh berkat keterbatasannya. Justru ia selalu tersenyum paling lebar menyambut setiap pelanggan yang datang. Ia selalu menjadi orang paling pertama datang ke restoran. Bahkan para pengunjung sekalipun tak tahu gadis itu bisu berkat kinerjanya selama ini. Ya. Totalitas dan keikhlasan dalam bekerja bisa menutupi kekurangannya.

Hati Bayu remuk. Baginya, masih ada pegawai lain yang harus dipecat. Ada pegawai yang bekerja seenaknya dan bahkan mengabaikan SOP restoran. Air matanya tertahan seiring Luna merapikan lokernya. Gadis bermata jeli itu berbalik dan mendekapnya erat.

"Lun, semoga Tuhan ngasih kamu yang terbaik."

"Amin," jawabnya dalam bahasa isyarat.

Ia pun antar Luna sampai gerbang restoran. Selamat tinggal adik kecilku, bahasa tubuhnya seakan berkata dalam lambaian tangan mengiringi kepergiannya.

Hatinya yang remuk itu terluapkan sesampainya di kontrakan. Ia ambil ponsel lalu memanggil kontak Heny di layarnya.

"Hen, gimana di sana? Aman?"

"Mbah, kenapa sih? Lagi gabut di Semarang?"

"Aku balik lagi ke Malang. Ximore buka cabang baru di sana. Aku juga pengen curhat."

"Sama! Tuyulku disita Bea Cukai! Corona-kun, pergi sana! Aku mau peluk si tuyul!"

Suara isak tangis lamat-lamat menyeruak dari speaker ponsel.

"Bay, gimana nih? Tuyulkoooh!"

Pertahanan dirinya pun jebol lewat telepon.

"Hen, temenku dipecat. Kenapa sih harus main pecat-pecat segala? Mentang-mentang wabah malah seenaknya pecat orang!"

Kedua sahabat itu saling tumpahkan keluh kesah di udara. Jarak dan wabah boleh memisahkan mereka. Toh persahabatan akan tetap terjalin apapun medianya.

Tak terasa telepon berbunyi hampir dua jam lamanya. Bayu tepikan ponselnya. Ia berdoa semoga Luna baik-baik saja di sana.

Yup, akhirnya tamat juga. Cerita bagian ini emang nyesek soalnya keinspirasi curhatan orangnya. Begitupun soal foto sama chef Arnold, itu emang beneran kejadian.

Maaf kalo ceritanya pendek-pendek sama gak selucu biasanya. Soalnya keadaan gak memungkinkan.

Semoga aja wabahnya lekas berakhir karena bentar lagi bulan puasa. Jadi lebih banyak waktu buat ibadah di bulan yang mulia ini.

Yup, makasih buat temen-temen yang ikutin cerita ini sampe tamat. Makasih buat komen receh dan sokongan berupa vote-nya.

Sampai jumpa di cerita berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro