Sebuah Janji

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di sebuah belahan bumi, seorang gadis remaja berseragam putih abu-abu begitu semangat melangkahkan kakinya menuruni anak tangga menuju ruang makan. Dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya ia menarik kursi dan mengambil duduk di kursi kosong yang biasa ia tempati.

"Pagi, Ayah, Bunda," sapanya lembut.

Dua orang paruh baya yang duduk di hadapannya mengalihkan pandangan ke arahnya dengan melempar senyum yang tak kalah manis dari senyuman Shila. Yap, namanya adalah Arshila, semua orang memanggilnya Shila.

"Pagi, Sayang," balas pasangan suami istri itu dengan kompak.

"Kamu kelihatan ceria sekali hari ini, Shil," celetuk sang ibu membuka obrolan pagi ini.

Shila mengangguk kemudian tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya."Ya, harus dong, Bun."

Melihat makanan berat yang tersaji di atas meja makan membuat Shila menghela napas berat. Ia sungguh sedang menghindari makan-makanan yang disajikan oleh sang ibu. Bukan karena tidak suka, bukan juga sedang diet. Ia hanya sedang tidak ingin memakan nasi pagi ini.

"Kenapa?" tanya sang ibu heran, ia sedari tadi memperhatikan mimik wajah Shila yang tampak bingung.

Kepala Shila menggeleng dengan cepat, tangan Shila dengan cekatan meraih piring, mengambil beberapa lembar roti lalu mengolesinya dengan selai stroberi favoritnya.

"Tumben, kamu akhir-akhir ini makannya sedikit sekali, seperti sedang tidak nafsu makan. Kamu ada masalah di sekolah?" tanya Dina yang sangat hafal dengan kebiasaan sang putri.

"Enggak ada, Bun." Shila menjawab dengan cepat.

"Terus?" cecar Dina yang berharap mendapat sebuah jawaban dari sang putri.

"Ya tidak ada, Bun. Kenapa terus-terus segala? Shila oke, baik-baik aja kok," jawab Shila sembari menyuapkan roti ke dalam mulut.

Dina tau betul bagaimana sifat keras kepala sang putri, ia hanya menganggukkan kepala, enggan memperpanjang mengenai perbincangannya itu sampai Shila sendiri bercerita kepadanya meski sebenarnya ia sangat ingin tahu penyebabnya.

"Ah ya! Shil kamu dapat salam tuh dari Bayu." Dina sengaja mengalihkan pembicaraannya, agar suasana kembali hangat.

"Hem, iya," balas Shila cuek.

"Dih! Kamu gak salam balik gitu?" cibir Dina.

Shila menelan roti yang berada di dalam mulutnya, ia meraih segelas susu lalu menegaknya hingga tandas. Ia menghirup udara dalam sebelum membuka suara menanggapi ucapan sang ibu.

"Ngapain salam balik segala sih, Bun? Pacar bukan, saudara bukan, teman apa lagi. Ngapain juga Shila musti salam balik?"

Reno menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan sang putri. Ia tak menyangka jika putrinya itu masih belum bisa memaafkan Bayu, tetangga sekaligus mantan kekasih pertama Shila yang menikah dengan perempuan lain.

"Gak boleh gitu juga dong, Nak. Bagaimanapun juga Om Mario dan keluarganya kan sangat baik sama kita. Jadi kamu gak boleh ya begitu sama Bayu." Reno mencoba menasehati sang putri, ia khawatir Shila masih terus membenci Bayu.

"Aturannya kalau dia kangen atau pengen ngajak ngobrol sama Shila ya ngomong langsung dong, Yah! Kan ada ponsel, bisa ketemu juga kalau niat. Ngapain musti titip-titip salam segala." Shila yang memang masih belum bisa menerima nasehat sang ayah.

"Sudah-sudah, kita lupain aja pembicaraan ini." Dina mencoba menengahi, ia sungguh tidak ingin mengorek luka lama di hati Shila.

Bagaimanapun juga ia tahu itu sangat menyakitkan bagi Shila yang ia tahu sedang sayang-sayangnya kepada Bayu saat itu. Ia cukup memaklumi jika sampai hari ini Shila masih belum bisa memaafkan Bayu. Tapi, ia cukup lega karena proses move on Shila tidak butuh waktu lama berkat bantuan Juna teman sekelas Shila yang memang menyukai putrinya sejak lama.

Ngomong-ngomong soal Juna, Dina baru ingat. Sudah beberapa minggu ini ia tidak melihat pacar putrinya itu datang dan berkunjung ke rumahnya. Padahal sebelumnya Juna sering datang untuk menjemput atau mengantar Shila. Dina yang penasaran pun akhirnya bertanya kepada sang putri tentang Juna-pacarnya.

"Sayang, Juna tumben jarang main kesini?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro