29. Dean & Lulu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Buka bajumu."

Hah? Aku melotot.

Dean yang tengah duduk di sofa dengan sikap arogan kembali mengulangi kata-katanya, "Buka bajumu." Kali ini kalimatnya datar, tapi tatapannya tajam menusuk. Pria itu menggerakkan tangannya lalu dengan menyandarkan siku di bahu sofa, ia memijit pelipisnya dengan ekspresi lelah.
"Aku serius dengan ucapanku. Buka bajumu, atau aku terpaksa bergerak ke situ lalu membukanya sendiri." Ia memberikan titah. Kalimatnya syarat akan intimidasi.

"Apa kau gila?!" Aku menjerit sembari menatap dua orang penjaga yang menatap kami secara bergantian. Ada ekspresi bingung di wajah mereka.

"Karena aku tak tahu apa saja yang sudah kau ambil. Jika aku tak menggeledahmu, aku takkan tahu apa yang sudah kau sembunyikan di balik bajumu." Dean kembali berujar datar.

"Sudah ku bilang aku tak mengambil apapun!" Aku membantah.

"Lalu untuk apa kau mengendap-mengendap dan menyelundup ke kamar?”

“Aku tidak mengendap-endap!”

“Rumah ini punya pintu, kenapa kau masuk lewat jendela? Kalau bukan mengendap-endap, lantas apa namanya?” Nada suaranya meninggi.

Aku menggigit bibir.

“Apa yang ingin kau ambil?" Ia kembali bertanya. Dan lagi-lagi aku tak mampu menjawab.

"Itu ..." Kalimatku terhenti. Dalam hati aku sempat menyesali diri sendiri, kenapa aku harus memutuskan datang kemari.

“Kalian pergilah.” Memberi isyarat, dua penjaga di sisi kanan dan kiriku melesat pergi. Meninggalkan aku sendirian bersama Dean.

Pandangan kami beradu lagi. Dan ia berujar santai, "Baiklah ---" dengan tatapan yang tak beralih dariku, Dean menegakkan punggung lalu menyilangkan kedua kaki. Menimbulkan kesan angkuh dan ... berbahaya.
"--- sekarang buka bajumu, dan kita lihat apa yang kau sembunyikan di sana," titahnya lagi. “Atau… kau ingin aku yang membukanya sendiri? Satu persatu? Dimulai dari … bawah.”

Dan aku bisa melihat tatapan matanya. Ia serius, jika aku tidak membuka baju, maka dia yang akan mendatangiku, lalu melucuti pakaianku, dengan tangannya sendiri.

Aku menggigit bibir kesal. Dengan bersungut-sungut, aku melepaskan sepatu kets-ku, lalu membaliknya berkali-kali.  "Lihat? Tak ada apa-apa di sepatuku," ucapku sambil melemparkan sepasang sepatu itu ke pojok ruang. Masih dengan perasaan sebal yang berlipat-lipat, aku menarik risleting jeans yang kukenakan, lalu meloloskan celana tersebut melewati dua kaki. Dan aku melemparkannya ke lantai.

Sempat menyaksikan ekspresi geli di wajah Dean, kali ini aku meloloskan kaos melewati kepala kemudian melemparkannya jatu satu dengan celanaku tadi. "Lihat? Tak ada apa-apa di balik bajuku 'kan? Puas?" sindirku.

Dean menatapku dalam dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu mengerang, “Lulu…”

“Jangan panggil namaku!” bentakku.

Pria itu memejamkan mata sejenak lalu mengambil napas. “Lulu, aku sedang lelah. Jangan bermain drama lagi. Ayo kita bicara.” Nada suaranya kembali memberikan titah.

“Jangan memberikan perintah. Aku sedang marah padamu!”

Tatapan Dean berubah dingin. Tapi ia tak bergerak dari tempat duduk. Kemudian ia yang kali ini berujar kesal, “Lulu, aku yang harusnya marah padamu. Aku baru pulang dari perjalanan bisnis, berharap bisa melepas rindu denganmu, dan yang kudapati adalah rumah kosong. Penjaga rumah bilang, istriku minggat.”

Aku bersedekap lalu merutuk. “Istri? Masih menganggapku istri? Kau bilang akan segera pulang dari Italy, nyatanya kau ingkar. Tahun kemarin kau sudah melewatkan anniversary kita, Di …” Aku menatapnya frustasi, memanggilnya dengan nama kesayangan. “Dan tahun ini pun begitu. Ulang tahunku juga kau lewatkan.”

Mengingat kembali bagaimana Dean terlalu sibuk dengan pekerjannya, rasa kesal kembali meluap. Kemarin, tanpa berpikir panjang, aku memutuskan kabur dari rumah dan menginap di hotel. Sayangnya, aku lupa membawa dompet, sementara di tasku hanya ada beberapa uang tunai. Sekarang uang itu sudah habis, jadi aku memutuskan untuk mengendap-endap ke rumah dan berniat mengambil dompet berisi kartu kredit secara sembunyi-sembunyi. Termasuk ponsel, aku juga melupakannya.

Sayangnya, aksiku tersebut keburu ketahuan dua penjaga rumah. Mengenakan masker dan memanjat jendela, mereka meneriakiku pencuri lalu menyergapku. Dan, beginilah akhirnya.

Ah, lucu sekali. Acara minggat itu sepertinya gagal total.

“Lulu, aku minta maaf. Aku salah. Hanya saja, waktu itu pekerjaan tak bisa ditinggal.” Kalimat Dean melunak sekarang.

Aku merengut. “Selalu begitu. Aku bosan dengar alasanmu.”

“Lulu ….”

“Kau bukan satu-satunya pria di muka bumi ini yang punya banyak bisnis. Kalau orang lain bisa mengatur waktu, kenapa kau tidak?”

“Aku tahu kamu masih marah. Tapi, bisakah kita tunda dulu pertengkaran kita. Ada hal lain yang lebih penting yang ingin kulakukan.” Ia mengerang.

Dan emosiku kembali meledak. “Apa lagi? Kerjaan? Mau melakukan perjalanan bisnis lagi?”

Dean menatapku dalam sembari menggigit bibir. “Aku merindukanmu dan biarkan aku menciummu dulu, oke?” ucapnya kemudian.

Aku bengong. Dan belum sempat aku berkata-kata, pria itu sudah bangkit dari tempat duduknya lalu bergerak ke arahku. Mendekapku erat, Ia berbisik lembut di dekat telingaku, “Let me kiss you, here… here … and there ….”

Dan tangannya bergerak kemana-mana.

“Didi!” Aku menjerit.

***

#DeanLulu

Yang ini rencana mau dijadiin chapter.
Semoga sabar nungguin 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro