Nama dan Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aih,  ini nulisnya pake PoV 1. Udah gitu paragraf pertamanya kayak pembukaan tulisan anak SD. Astaga!
Hahaha...

***

Namaku Louisa Katarina. Sebagai pengagum nama-nama indah, aku sangat menyukai namaku yang unik itu. Impianku yang paling aneh – versi teman-temanku – adalah punya keluarga yang semuanya memiliki nama yang bagus.

Hal itu juga yang menyebabkan aku banyak digoda oleh teman-teman dekatku mengenai hal ini. Apalagi kalau mereka mengingat kejadian saat aku SMP dulu. Harus kuakui, memang agak memalukan sih.

Aku sudah dikenal sebagai maniak nama-nama bagus sejak SMP, tepatnya sejak aku mulai beranjak remaja. Saking aku suka sama nama yang bagus, kami sama-sama melihat absen di setiap kelas dan mencari satu nama yang bagus untuk dijadikan tantangan mendekati cowok itu. Akhirnya, setelah mencari, aku menemukan satu nama, yaitu Jonathan Kelvin. Menurutku, nama itu yang paling keren satu angkatan. Lalu kami sepakat untuk memulai rencana gila itu.

Betemulah aku dengan si pemilik nama Jonathan Kelvin itu. Tapi dalam sekali lihat aku langsung mengundurkan diri dan lebih rela menraktir teman-temanku makan pizza daripada harus mendekati cowok itu. Teman-temanku hanya tertawa, setengah bahagia setengah meledek. Walaupun namanya keren, tapi wajahnya sama sekali tidak keren. Oke, bisa dibilang aku sangat pemilih. Cowok itu memakai kacamata yang tebalnya hanya sedikit lebih tipis daripada pantat botol kecap yang sering dibeli oleh mamaku. Belum ditambah dengan giginya yang dipasang kawat. Tolong deh, delapan tahun yang lalu, memakai kawat gigi belum sekeren sekarang. Dan penampilannya yang super minus menurutku itu, diakhiri dengan cara jalannya yang selalu melihat ke bawah. Ada apa sih memangnya di lantai sekolah kami?

Walaupun kejadiannya sudah bertahun-tahun berlalu dan harusnya itu memberi pelajaran penting buatku, aku tetap saja si pencari pasangan hidup yang mementingkan nama. Begitulah aku.

Sore ini aku pergi ke salah satu café di bilangan Jakarta. Aku kembali berkumpul dengan teman-teman dekatku. Kami memang sudah teramat jarang berkumpul bersama karena sudah kuliah di tempat yang berbeda-beda juga. Kebetulan, salah satu temanku yang kuliah di luar negeri sedang liburan. Jadi, kami merasa ini adalah waktu terbaik untuk kembali berkumpul.

Ketika saling menanyakan kabar masing-masing, teman-temanku kaget ketika mengetahui bahwa aku satu-satunya di antara mereka yang masih sendiri alias belum punya pacar.

"Ah, pasti kamu bohong deh! Kamu khan tergolong oke, Lou!" kata Cynthia, salah satu temanku. "Jujur donk, Lou! Kita toh udah punya pacar masing-masing." Aku tersenyum.

"Jangan bilang kamu masih pemilih kayak dulu?" kata Maria. Aku hanya mengaduk-aduk jus jerukku dengan sedotannya sambil mengangkat bahu.

"Gila ya! Inget umur donk, Lou!" kata Vania, temanku yang mengambil kuliah di luar negeri.

"Ambisi aku masih sama kok," kataku. "Kepengen punya keluarga yang namanya bagus semua."

"Ga mungkin deh, di kampus kamu yang notabene nya kampus mentereng itu nama cowok-cowoknya kampungan semua?" kata Vania.

"Aku ga bilang gitu kok," kataku.

"Trus?" kata Maria.

"Nama mereka sih ga kampungan. Cuma tingkahnya tuh minus semua," kataku.

"Kebanyakan menduakan cewek."

Teman-temanku serempak membentuk huruf 'o' dengan bibir mereka.

Tak lama kemudian, pesanan makanan sudah datang dan kami asyik menikmati makanan itu.

Setelah makan, para pacar temanku itu datang untuk bergabung bersama kami. Mereka memang tidak bisa ikut makan-makan karena rata-rata sudah bekerja. Melihat kedatangan mereka, aku langsung lemas.

"Jadi nyamuk donk nih?" kataku.

"Tenang, Lou, aku udah minta pacarku bawa satu temennya yang jomblo juga. Ntar dikenalin deh. Dijamin yang ini tingkahnya ga minus," kata Cynthia sambil mengedipkan mata.

Benar saja, cowok-cowok itu datang berempat. Masing-masing temanku langsung melambai pada pacarnya masing-masing. Sebelum mereka sampai ke bangku kami, salah satu cowok berbelok ke arah toilet. Aku diam-diam berdoa kalau cowok yang berbelok itu masih single dan sengaja dikenalkan padaku. Habisnya, penampilannya paling keren, pembawaannya juga kalem, wajah cukup bisa membuatku menatap lekat-lekat.

"Mario." Itu pacarnya Maria. Klop banget sih mereka.

"Gandhi." Itu pacarnya Vania. Namanya kayak jaman Borobudur waktu dibangun.

"Renato." Itu pacarnya Cynthia. Pasti orangtuanya mengharapkan yang lahir cewek dan sudah disiapkan nama Renata. Ga taunya yang keluar cowok, jadilah nama cowok ini Renato. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis sambil menjabat tangannya.

Tunggu...tunggu...berarti, cowok yang ke toilet tadi masih single dan akan dikenalkan padaku. Wah, mimpi apa aku semalam?

"Temenku itu mau dikenalin sama temenmu ini ya?" tanya Renato sambil menunjuk aku. Cynthia mengangguk.

"Gimana menurut kamu?" kata Cynthia.

"Hey! Apa-apaan sih?" kataku.

"Hm..." Renato memberi tatapan menilai. "Not bad lah!"

"Maksudnya apa tuh?" kataku. "Kok cuma not bad?"

"Hehehe...I'm in relationship. Tapi ga tau ya, pendapat dia?" kata Renato sambil mengarahkan pandangan matanya ke arah toilet.

Ini dia pangeranku. Hehehe...

"Lama banget sih?" tanya Renato. "Ngaca dulu di kamar mandi?" Oh, apapun jawabannya aku tidak peduli. Cowok metroseksual bukan masalah, malah ada nilai plusnya. Itu khan artinya dia suka kerapihan dan wangi.

Cowok itu tersenyum.

"Enggak. Ngapain ngaca? Toiletnya penuh!" kata cowok itu. Nah, ini dia, lelaki sejati.

"Ya udah, kenalin nih! Temennya cewek gw!" Renato menunjukku. Aku dengan segera memasang senyum terbaik dan langsung mengulurkan tangan. Cowok itu menyambutnya. Tangannya hangat. Hm...

"Louisa."

"Jaka."

Senyumku langsung lenyap seketika mendengar cowok itu menyebut namanya. WHAT? Jaka? Calon pangeranku itu namanya Jaka? Ga salah tuh? Aku melirik teman-temanku. Mereka setengah mati menahan tawa melihat reaksiku yang seperti melihat hantu.

"Kamu ga apa-apa?" Cowok itu membuka suaranya. Aku kembali menatap cowok itu. Oh, matanya berwarna coklat muda, warna yang selalu bisa membuatku merasa tenang. Mata yang teduh. "Halo? Louisa?" Cowok itu melambai-lambaikan tangannya di depan mataku. Aku tersadar dari lamunanku.

"Apa?" kataku dengan sedikit gelagapan.

"Kamu ga apa-apa?" kata cowok itu.

"Oh, ga kok," kataku. "Aku oke. Duduk deh!"

Darimana oke? Impianku punya cowok ganteng kayak dia, hancur berantakan. Wajahnya yang ganteng, ditambah dengan lesung pipi yang letaknya sempurna itu. Matanya yang coklat muda meneduhkan. Rambutnya yang modis. Senyumnya yang manis. Garis wajahnya yang tegas. Tangannya yang hangat. Oh, betapa aku menginginkannya. Tapi namanya Jaka? Mana bisa aku punya pacar namanya Jaka?

Jaka duduk di bangku kosong seberangku. Ketika dia melewatiku, segera saja, aroma tubuhnya yang berbau khas parfum cowok memasuki hidungku. Wangi yang mengingatkanku pada sepupuku yang kini sudah pindah keluar kota. Aku sangat suka dengan wangi ini. Sejenak aku merenung. Ya ampun, cowok ini kelihatannya begitu sempurna. Tak perlu kuulang lagi bahwa wajahnya ganteng, lesung pipinya menjadi nilai tambah, senyumnya manis, garis wajahnya tegas, matanya teduh, rambutnya modis, dan tangannya hangat. Maaf, aku baru saja mengulangnya lagi. Sekarang ditambah dengan wanginya yang membuatku nyaman. Kenapa namanya harus Jaka sih?

Jaka cepat bergaul dengan teman-temanku yang lain. Orangnya memang supel, ceria, dan ramah. Semua tampak menikmati pertemuan mereka dengan sosok Jaka ini. Tapi aku?

"Nama kamu beneran Jaka?" tanya Vania yang nampaknya belum percaya. Mungkin dia juga tidak ingin aku langsung putus harapan. Jaka membalasnya dengan tersenyum sebelum menanggapinya. Hm, aku benar-benar menikmati senyumnya. Seakan-akan ada hal yang terindah terpampang di depan matanya sekarang.

"Kenapa emangnya?" Dia malah balik bertanya. Vania tertawa.

"Oh, enggak. Soalnya wajah kamu tuh bukan wajah asli Indonesia. Pasti ada campuran luar," kata Vania. "Bener ga?" Lagi-lagi Jaka tersenyum. Ya ampun, bisa ga sih cowok ini ga usah senyum-senyum begitu di depanku? Hatiku sudah kebat-kebit dari tadi, menyaksikan senyumnya sambil menyesali kenapa orangtuanya tega menamai anak mereka yang rupawan ini Jaka.

"Kakekku orang Prancis, tapi orangtua semua WNI kok," kata Jaka. "Ga menurun ke aku terlalu banyak. Kakakku lebih kelihatan indonya." Nah, gimana kalau aku dikenalkan sama kakaknya saja, mungkin namanya bernuansa Prancis. Hm...aku mulai melamun. Kalau adiknya yang sebegitu menarik hati saja tidak terlalu kelihatan 'bule', bagaimana dengan kakaknya yang lebih terlihat 'bule'? Menarik sekali untuk dipikirkan.

"Oh, boleh donk dikenalin sama kakaknya?" kata Maria. Mungkin dia lupa ada Mario, pacarnya yang sedang melirik gemas ke arahnya. Lagi-lagi cowok itu tersenyum.

"Claire itu cewek," kata Jaka. "Mau dikenalin? Agak susah tuh, dia kerja di Belanda soalnya." Claire? Itu nama kakaknya? Kok bisa sih, nama kakaknya itu sementara dia sendiri dikasih nama Jaka? Pilih kasih banget orangtuanya.

"Kamu ga ikut ke Belanda?" tanya Cynthia yang sudah dari tadi penasaran berat.

"Aku dulu kuliah di Aussie. Baru wisuda bulan lalu," kata Jaka. Nah, ceritanya semakin menarik. Jaka di Aussie. Hmph...sesak aku memikirkannya.

"Oh, pulang liburan ya? Sama donk," kata Vania.

"Aku ga balik lagi kok ke sana. Nanti-nantilah, kalau mau ambil S2," kata Jaka. Pasti deh, dia ga betah tinggal di sana. Orang-orang Aussie mungkin agak susah menyebut namanya itu. Jaka, hm...mungkin dibacanya...hm...Jeke? Ya ampun, tidak!

"Sekarang sih mau sosialisasi dulu." Aku berani bertaruh. Matanya menatapku saat mengatakan itu. Dan senyumnya itu khusus buatku. Mati sudah. Apa yang harus aku perbuat? Cowok itu benar-benar menunjukkan ketertarikannya sekarang.

Kami ngobrol panjang lebar. Ternyata si Jaka ini sebenarnya pintar, hm...jenius malah. Dia masuk kelas akselerasi waktu SMA dan cuma menempuh kuliah selama tiga tahun. Semakin melengkapi kesempurnaannya. Oh, aku menginginkannya.

Tak lama kemudian, kami mengakhiri pertemuan ini. Teman-temanku diantar pulang oleh pacarnya masing-masing. Enak juga ya punya pacar. Sedangkan aku? Gampanglah, naik taksi saja.

"Mau bareng, Lou?" tanya Jaka. "Aku lewat Kuningan kok." Andai namanya bukan Jaka, aku pasti langsung antusias.

"Ga usah, Ka, aku pulang sendiri aja. Udah biasa. Takut ngerepotin kamu," kataku.

"Ga kok. Yuk!" kata Jaka. Akhirnya, sebagai rasa tidak enakku, aku mengekor di belakangnya menuju mobilnya.

Untuk beberapa saat, kami cuma diam-diaman sambil memusatkan konsentrasi ke jalanan. Aku sama sekali tidak berkeinginan membuka pembicaraan. Takut kalau aku akan menemukan sesuatu yang membuatku semakin menginginkannya.

"Hm...Lou?" panggil Jaka.

"Ya?" kataku.

"Kamu tuh cewek yang menarik lho! Aku suka," kata Jaka. What? Apa-apaan ini? Pengakuan cinta? Hm...slow down baby take it easy just let it flow...
Sungguh, bukannya aku kejam atau apa. Di luar namanya yang aneh itu, aku merasa sangat tersanjung mendapat pujian dari cowok seperti dia. Tetap saja...

Makanya aku cuma tersenyum tipis - entah dia melihatnya atau tidak - lalu kembali memandang ke luar jendela.

Setelah menunjukkan beberapa likuan, akhirnya Jaka mengantarkan aku sampai di depan rumahku.

"Terima kasih ya! Harusnya kamu ga usah repot begini," kataku.

"Ga apa-apa. Aku seneng kok," kata Jaka.

Aku meraih pegangan pintu, ingin segera beranjak.

"Oh ya, Lou, mungkin ini bisa membantu, kalau kamu lagi perlu jasa fotografer. Sampinganku sih," kata Jaka sambil mengulurkan selembar kartu nama.

"Oh, oke," kataku sambil menerima kartu namanya itu. Ah, gengsi menawarkan fotografer bernama Jaka sama teman-teman. Kesannya ga profesional.

Mobil Jaka berlalu. Aku masih berdiri di depan pintu untuk menunggu mobilnya menghilang di belokan.

Dalam keremangan malam, aku memandang kartu namanya yang diberikan Jaka padaku.

"Rapsody Photography
Jonathan Kelvin
08123456790

[email protected]

Aku bagaikan disambar petir tengah malam. Mataku bergantian memandang kartu nama itu dan belokan jalan yang kini sudah kosong.

Lalu bergantian scene-scene kehidupanku berjalan mundur.

Terus mundur sampai aku bisa melihat diriku 8 tahun lalu. Diriku bersama teman-teman yang sama yang baru saja aku temui.

"Ya ampun, itu toh yang namanya Jonathan Kelvin? Dia sih naksir berat sama kamu, Lou!" Suara Vania terdengar samar-samar di benakku.

"Ga mau! Peduli amat namanya paling keren seangkatan, atau dia naksir sama aku. Kuper gitu!" Kali ini suaraku. Lalu aku merasakan sikutan di tulang rusukku, sekaligus menerima pandangan Jonathan Kelvin untuk pertama kalinya - ingat, dia paling suka berjalan sambil lihat ke lantai sekolah -. Pandangan kami hanya berumur satu detik. Lalu dia menunduk lagi sambil mempercepat langkahnya. Aku tahu dia mungkin dengar dan tersinggung.

Lalu aku ingat perlakuan seorang Jaka padaku sore ini ketika kami bertemu. Dia hangat, ramah, dan sopan. Belum lagi penampilan fisiknya yang berbeda 180 derajat.
Ke mana kacamata pantat botolnya itu? Kini berganti dengan mata coklat teduhnya. Ke mana kawat gigi yang selalu menghiasi wajahnya? Kini berganti dengan deretan gigi yang rapi dan menyempurnakan setiap senyumnya.

Tunggu, tunggu, dia ingat aku tinggal di mana. Bukankah tadi dia bilang dia juga lewat Kuningan? Tahu dari mana dia aku tinggal di Kuningan?

Tanpa terasa, air mataku menetes. Aku merasa hina. Sangat hina.

Aku boleh punya nama yang indah. Tapi apa bedanya aku dengan cowok-cowok dengan nama bagus tapi kelakuan minus?

Tanganku menekan nomor yang tertera di kartu nama itu.

Setelah beberapa kali nada sambung, "Hallo?"

"Maafin aku ya, Jo!" kataku. Aku mendengar dia tertawa pelan.

"Udah, ga apa-apa," kata Jaka.

"Hm.."

"Lou, kamu keberatan menyapa aku Jaka?" kata Jaka.

"Ga kok," kataku. "Malah lebih keren."

"Hehehe" Terdengar suara tawa lepas. Aku lega.

"Ya udah, kamu istirahat aja."

Aku merasa bahagia sekali. Kini calon pangeranku sudah ada di depan mataku. Ya, pangeran ganteng, yang punya lesung pipi sempurna, dengan mata teduhnya, dihiasi dengan senyum manisnya, dan diakhiri dengan hangat genggaman tangannya. Ups, belum, yang benar, diakhiri dengan cintanya padaku.

Dan aku bangga memanggilnya Jaka.

-Selesai-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro