11. Butuh Sandaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Motor matik kesayangan Naka sudah terparkir dengan epik di parkiran Rumah Sakit Harapan Kita. Naka jadi benci rumah sakit, entah mengapa akhir-akhir ini ia jadi sering berkunjung ke tempat tidak menyenangkan itu. Laki-laki berpakaian batik itu berjalan cepat dan segera menghampiri bagian resepsionis.

"Kamar pasien G. Ayuning Tyas, di mana?"

Pertanyaan Naka dibalas dengan tatapan heran. Petugas yang duduk di balik meja besar itu melihat Naka dengan seksama, kemudian ia memeriksa komputernya.

Naka mengusap tengkuk karena salah tingkah. Salahnya sendiri tidak bertanya lengkap pada Pak Bahar. Setelah terjebak kecanggungan cukup lama, akhirnya ia tersenyum dan berusaha bicara setenang mungkin. "Saya rekan kerja beliau. Boleh saya tahu nomor kamarnya?"

"C127."

Naka langsung berlari ke arah lift. Saking buru-burunya, ia lupa mengucapkan terima kasih. Namun, ia sempat berbalik dan mengangguk dalam pada petugas yang menjawab pertanyaannya tadi.

Begitu pintu lift terbuka, Naka langsung disambut dengan meja yang ukurannya lebih kecil dari yang ia lihat sebelumnya. Begitu melihat petunjuk, ia langsung berjalan cepat menuju kamar C127. Ia mengembuskan napas lega karena kedatangannya tepat pada jam besuk, sehingga ia bisa melenggang tanpa hambatan hingga ke depan pintu ruangan perawatan wanita itu.

Naka bersyukur begitu melihat wanita berambut sebahu itu tengah duduk di ranjangnya sambil membaca buku. Ini kali pertamanya melihat wanita itu dari jarak yang cukup dekat. Ada rasa rindu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata, tetapi ada luka yang belum sembuh karenanya.

Naka sama sekali tidak berniat langsung beranjak dari sana. Ia berdiri di depan pintu itu setidaknya sepuluh menit. Ia berusaha merekam semua yang bisa dilihatnya sekarang. Namun, tiba-tiba seseorang mengejutkannya.

"Kamu siapa?" Seorang pria tua yang tidak asing, bertanya dengan nada curiga.

Meski gugup, laki-laki berbaju batik itu langsung menjawab. "Ah, kayaknya saya salah kamar."

Naka bisa merasakan kalau punggungnya ditatap sangat lama. Ia memang berjalan menjauh, tetapi setelah pria itu masuk, Naka kembali ke posisinya.

"Papa sudah bilang, jangan bawa mobil sendiri."

"Supir aku lagi cuti, Pa. Aku baik-baik aja. Nggak ada yang luka. Papa aja yang berlebihan."

Naka menelan ludah. Ia bisa mendengar percakapan mereka karena pintu yang tidak tertutup rapat. Ia tahu kalau Mama bekerja di Belva Tower, tetapi ia tidak tahu kalau dia sekaya itu. Setelah berpikir cukup lama, Naka mengenali pria yang menegurnya tadi. Pria itu adalah salah satu pengusaha terkenal yang wajahnya doyan wara-wiri di TV.

"Kata asistenmu, ada seminar hari ini?" Pria yang sebelumnya bicara dengan lembut itu, berubah jadi serius.

"Iya, di Universitas Catra. Teman lama minta bantuanku, makanya aku ke sana."

"Benar karena teman? Bukan karena yang lain?"

Wanita berambut pendek itu langsung buang muka. "Memangnya karena apa?"

"Kamu sudah tidak pernah mengendarai mobil sendiri, kamu juga jarang menjadi pembicara seminar, kenapa tiba-tiba repot menjadi pembicara di seminar kampus?"

Naka membeku di tempatnya. Kini ia merasa kalau tidak seharusnya ada di sana. Ia harusnya cukup puas melihat wanita itu dari jauh.

"Pa."

"Sudah lama kamu tidak bawa mobil sendiri. Kalau supirmu cuti, kamu bisa minta supir lain untuk mengantarmu. Kamu tahu, Papa sampai harus meninggalkan rapat penting karena berita kecelakaanmu."

"Pa, aku nggak apa-apa. Papa nggak usah berlebihan."

"Berlebihan katamu? Terakhir kali kamu mengendarai mobilmu sendiri, kamu nekat mencari anak itu, Papa sampai harus menurunkan banyak orang untuk membawamu kembali. Percaya Papa, anak itu sudah mati." Pria yang seharusnya Naka panggil dengan sebutan Kakek itu, menghapus keberadaannya. Eksistensinya dipaksa hilang dari dunia. 

"Anak itu sudah mati." Mama mengulangi kalimat itu dengan nada tanpa emosi. 

Dunia Naka runtuh seketika. Waktunya seolah-olah berhenti dengan terpaksa. Kepalanya terasa pening seketika, seperti sebuah batu besar baru saja menghantamnya. Bukan batu, lebih keras dari itu. Kata-kata wanita yang harusnya bisa ia panggil Mama itu, bukan hanya menghantamnya, tetapi juga menusuknya berkali-kali hingga tidak ada lagi rasa sakit yang tersisa.

Hari itu, Naka sadar. Ia benar-benar sendiri di dunia ini. Tidak ada yang mengharapkan keberadaannya. Seseorang yang memiliki hubungan darah dengannya, telah memutuskan hubungan itu. Ia dianggap sudah mati.

***

Setelah mengumpulkan kesadarannya, Naka bertolak dari rumah sakit hanya untuk mengitari Bundaran HI, setidaknya tujuh kali. Emosinya baru bisa mereda ketika sore sudah menyapa. Naka sudah memutuskan kalau ia harus bicara dengan Wisnu. Bukan untuk curhat colongan tentang masalah yang barusan, tetapi ia butuh pengalihan pikiran. Setidaknya, jika ia bicara dengan Wisnu, beban pikirannya bisa tergerus oleh masalah atau obrolan random dari sahabatnya.

Begitu tiba di indekos, Naka langsung mengetuk kamar nomor sembilan, tetapi tak kunjung dapat jawaban. Ia memilih untuk menelepon bertubi-tubi, meski ia tahu hanya ada dua tempat yang paling sering Wisnu kunjungi, yaitu rooftop dan taman. Setelah tidak menemukan sahabatnya di rooftop, Naka langsung menuju taman. Ia tahu Wisnu tidak pergi jauh karena motor laki-laki berpipi tembam itu masih terparkir di indekos. Naka berjalan diiringi dengan suara dering yang tidak kunjung dijawab.

"Naka, mau ke mana?"

Naka auto senyum begitu disapa oleh Bu Endang. "Mau ke taman, Bu."

Bu Endang menyipit. "Pasti mau gangguin Wisnu?"

Naka cengar-cengir. "Tahu aja, Bu."

"Nanti habis dari taman, tolong cek saluran buangan wastafel di dapur, ya. Mampet kayaknya."

"Siap, Bos. Aman." Naka meletakkan tangannya di dahi dan memberi hormat ala militer.

Jarak taman dan indekos tidak begitu jauh, hanya butuh lima menit bagi Naka untuk tiba di tempat itu dengan berjalan kaki.

Wajah Wisnu seperti seseorang yang baru saja diselingkuhi, kusut tak karuan. Begitu melihat wajah sahabatnya yang sudah ditekuk, Naka langsung tersenyum. Bukan karena ia senang melihat Wisnu menderita, tetapi mendengar banyak ocehan yang lebih mirip protes berselimut murka mampu membuatnya bersyukur.

Benar saja, Naka mendengar keluh-kesah Wisnu hingga matahari nyaris tenggelam. Tadinya Naka ingin memanfaatkan sahabatnya agar bayang-bayang di kepalanya menghilang, tetapi bukannya menghilang, bayangan itu malah terasa berlipat ganda. Mungkin karena terlalu lelah, Wisnu yang biasanya paling peka, hari ini kelihatan tidak menyadari kalau Naka banyak diam.

Naka dan Wisnu berjalan berdampingan, tetapi keduanya tidak bicara sepanjang jalan. Akhirnya, Naka memilih langsung mampir ke rumah Bu Endang untuk melaksanakan tugas. Pikirnya, kalau mendengar cerita Wisnu tidak bisa membuatnya tenang, mungkin bekerja akan membuatnya merasa lebih baik.

"Langsung aja ke dapur, Ibu mau keluar dulu." Bu Endang menepuk pundak Naka ketika berpapasan di ruang tamu.

Naka sudah hafal betul setiap sudut rumah Bu Endang, bahkan ia tahu di mana saja wanita itu biasa menyimpan perkakas perbaikan. Naka melepaskan kemejanya dan menyisakan kaus hitam. Ia mengikat rambut tinggi, hingga menyisakan anak rambut yang membingkai wajah.

Saluran pembuangan ini tidak pernah mampet sebelumnya, tetapi Naka sudah pernah memperbaiki hal serupa di beberapa rumah lain. Tentu pekerjaannya terasa mudah karena sudah beberapa kali dilakukan, tetapi baru juga ia menutup aliran air, bayangan sore tadi menghantuinya tanpa ampun.

"Anak itu sudah mati."

Naka menggeleng. Ia masih berusaha fokus dan tidak memedulikan suara yang berasal dari kepalanya sendiri. Laki-laki yang memegang kunci inggris itu, berusaha membuka sambungan pembuangan, tetapi tanpa sadar air matanya menetes tanpa izin. Begitu air mata pertama berhasil lolos, yang berikutnya meluncur dengan lancar. Bahu Naka tidak bergetar, wajahnya masih tenang, tetapi air matanya tidak bisa berhenti meluncur.

Pekerjaan membongkar saluran pembuangan harusnya bisa diselesaikan dengan mudah. Namun, untuk mengangkat tangannya sendiri, Naka kesulitan. Seolah-olah semua energi di tubuhnya sudah disedot oleh entitas tak kasat mata. Naka terduduk di lantai dengan air mata yang masih bercucuran.

"Mas Naka."

Begitu mendengar suara Ayu, Naka langsung mengusap wajah dan berusaha bangkit dari duduknya. Namun, belum juga laki-laki berkaus hitam itu berhasil mengumpulkan tenaga, Ayu malah berjongkok dan menepuk pundak Naka, seolah-oleh menyalurkan kekuatan.

"Mas Naka lagi nggak baik baik aja, ya?"

Pertanyaan itu sederhana, tetapi mampu membuat pertahanan Naka runtuh seketika. Ia tidak bisa mengatakan kalau dirinya baik-baik saja saat hatinya tengah hancur. Mata cokelat Naka menatap Ayu yang lebih tinggi darinya. Keduanya bertukar tatap selama beberapa detik. Hanya dalam beberapa detik, berbagai emosi meluap dan berubah bentuk menjadi isak yang tidak bisa lagi ditahan.

Ayu sempat terkejut, tetapi ia berusaha menguasai diri. Melihat Naka seperti ini adalah hal baru baginya. Naka yang ia kenal adalah Naka yang selalu ceria, jail dan siap membantu siapa pun yang membutuhkan. Naka yang ia tahu adalah kakak laki-laki yang selalu ada untuknya. Namun, laki-laki yang ada di hadapannya kini terlihat sangat rapuh dan membutuhkan seseorang.

Gadis berambut terikat itu bergerak mendekat dan meraih Naka dalam pelukan. Pelukan untuk menenangkan. Pelukan dari seorang saudara. Ayu tidak bicara hingga Naka tenang. Tangannya berhenti menepuk punggung Naka ketika laki-laki itu sudah selesai menangis.

"Anah, malu-maluin amat gue nangis begini."

Ayu tersenyum, wajah Naka jadi terlihat lucu baginya. "Nggak apa-apa. Udah baikan?"

Naka mengangguk. "Kenapa nggak nanya? Emang nggak kaget liat Mas Naka nangis sampe jelek kayak tadi?"

"Mas Naka pasti cerita kalo memang masalahnya mau diceritain. Biasanya juga, gitu." Ayu malah tertawa kecil. Tangannya bergerak mendekati wajah Naka.

Naka membeku di tempat. Sempat menahan napas sejenak.

Ayu mengusap sisa air mata yang ada di wajah Naka, kemudian kembali tersenyum. "Mas Naka kelihatan kayak anak kecil. Lucu."

Wajah Naka terasa panas. Ia juga baru sadar kalau Ayu memeluknya selama ia menangis. Laki-laki berambut terikat itu langsung salah tingkah.

"Mas Naka mungkin anggep aku anak kecil, tapi aku bisa kok jadi orang yang nemenin Mas Naka kalo lagi sedih. Sama kayak yang dulu Mas Naka lakuin pas aku sedih karena kangen almarhum Mamas."

Naka hanya diam. Ia menatap lurus ke depan.

"Mas Naka, tuh, suka banget bantuin orang lain, tapi nggak pernah minta bantuan. Kalo Mas Naka sedih atau butuh temen curhat, bilang aku aja. Aku bakalan siap nemenin Mas Naka."

Naka menoleh. "Kenapa?"

"Karena aku adiknya Mas Naka. Mas Naka udah aku anggep kayak Mamas kandung aku."

Naka tidak bisa tidak membalas senyum itu. Naka tidak bisa bilang kalau ia tidak menganggap Ayu sebagai seorang adik. Naka tidak bisa merusak semuanya karena perasaannya sendiri.

Tidak bisakah semesta memberinya cobaan berat pakai metode cicilan? Mengapa semua cobaan dan masalahnya datang seolah-olah sudah saling menunggu dan datang secara borongan?

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro