14. Mari Berkembang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jamillah melaju dengan kecepatan penuh. Naka mengeluarkan semua kemampuannya untuk menyalip, memotong jalan dan melewati gang sempit hanya untuk segera tiba di sekolah Ayu. Sebelum ke sekolah, laki-laki berjaket hijau khas ojek online itu mampir ke minimarket terdekat. Tanpa berlama-lama, ia langsung menuju rak yang memajang barang yang akan dibeli. Namun, bukannya memilih dengan cepat, Naka malah berkali-kali menyibak rambutnya yang tidak diikat. Menyerah karena banyaknya pilihan, akhirnya Naka menelepon Ayu. Ia berdiri sambil menyipitkan mata dan memperhatikan satu per satu produk yang ada di depannya. 

"Halo, ini yang harus dibeli yang mana? Banyak banget mereknya. Anah, ada yang siang sama malem juga."

Setelah mengajukan pertanyaan, Naka menunggu jawaban, tetapi tidak ada suara dari seberang. Akhirnya, ia menjauhkan ponsel dari telinga untuk memastikan kalau mereka masih terhubung. 

Naka menarik lengan jaketnya hingga siku. Ia menghela napas. "Yu, ini mamasnya beneran kebingungan. Kalo kamu nggak jawab, bakalan Mas Naka bawain semua jenis." 

Dengan suara pelan, Ayu menjawab. "Yang ada sayapnya, Mas. Beli kemasan kecil aja."

"Nah, gitu, dong. Tunggu situ aja. Nggak usah kemana-mana. Ini Mas Naka udah deket sekolah."

Naka segera membawa pembalut yang sudah ia pilih ke kasir. Tanpa rasa malu atau sungkan, laki-laki berambut gondrong itu meletakkan benda yang hanya bisa dipakai wanita tersebut di meja kasir.

"Pesenan sekarang makin aneh-aneh, ya, Mas. Sampe pembalut segala." Kasir yang melayani Naka menggeleng setelah melakukan scan pada produk.

Naka langsung tersenyum. "Bukan dari pelanggan, kok, Bang."

Kasir tadi langsung bertukar tatap dengan rekannya. "Pasti buat ceweknya, ya, Mas?"

Wajah Naka terasa panas. Ia tidak tahu kalau pertanyaan sejenis itu mampu membuatnya merasa sangat malu sampai salah tingkah. "Buat adek saya itu, Bang."

"Hoalah kirain buat pacarnya. Jarang banget ada abang yang mau beliin barang kayak gini." 

Naka hanya tersenyum. Ia melakukan pembayaran dan segera pergi dari sana. 

Saking seringnya mengantar Ayu dan Yoyo, satpam di sekolah itu sudah mengenal Naka. Baru juga Naka parkir, ia sudah disapa oleh satpam yang berjaga. "Jemput, Mas?" 

"Iya, Pak. Saya izin jemput ke dalem, ya, Pak." 

"Lho, nggak jemput di sini kayak biasa?" Satpam yang berjaga itu, mengerutkan dahi sambil menatap Naka dengan satu alis terangkat.

Naka tersenyum lebar dan bergerak mendekat dan menunjukkan isi kantong belanjaannya. "Mau anter paket spesial, Pak."

"Oh, gitu. Silakan, Mas. Di dalem paling tinggal anak-anak yang ekskul, sih."

"Permisi, ya, Pak." 

Naka melenggang masuk dengan kantong kresek semi transparan di tangannya. Dengan cepat, laki-laki berjaket ojek itu bisa menemukan kamar mandi yang dimaksud Ayu karena lokasinya dekat dengan UKS tempat Naka pernah menjemput Yoyo dulu. 

Naka memanggil nama Ayu begitu tiba di depan kamar mandi bersimbol perempuan. 

"Bisa tolong anterin ke dalem, Mas?"

Pertanyaan Ayu membuat Naka langsung celingak-celinguk. Bisa-bisa ia dituduh berniat melakukan hal yang tidak bermartabat. "Ini nggak apa-apa?"

"Aku nggak bisa keluar kayak gini, Mas."

Mendengar suara Ayu yang lemas dan bingung, Naka langsung masuk tanpa pikir panjang. Ia berjalan menuju bilik yang pintunya tertutup. Dengan hati-hati, Naka mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, yang terjadi hanya pintu yang terbuka pelan dan ada tangan yang menjulur keluar. Sambil menahan gemas, Naka menyerahkan kantong belanjanya. 

"Makasih, Mas." Ayu bicara dengan suara pelan. Sangat pelan. 

"Bawa jaket nggak?" Naka berinisiatif bertanya karena jika dilihat dari gelagatnya, mungkin sudah terbentuk bendera jepang di rok sekolah Ayu. 

Ayu tidak langsung menjawab. 

"Ini jaketnya, Mas Naka tinggal di wastafel, ya. Pake aja, nggak apa-apa. Baru dicuci kok."

Ayu masih diam.

Hampir sepuluh menit laki-laki yang mengenakan kaus hitam polos itu bersandar di dekat pintu kamar mandi, barulah Ayu keluar dengan jaket Naka yang sudah dikenakan. Kalau tidak menahan diri, mungkin Naka sudah mencubit pipi Ayu saking gemasnya. Gadis itu seolah-olah tenggelam dibalutan jaket Naka. Bagian bawah jaket itu hampir menyentuh lutut Ayu.

"Jaketnya jadi keliatan gede banget." Naka masih berusaha menahan senyumnya.

Ayu menunduk malu. Malunya jadi kuadrat karena Naka membelikan pembalut dan meminjamkan jaket. "Mas Naka yang pake aja kegedean, apalagi aku."

Naka tertawa pelan. Mereka berjalan berdapingan. Dengan gerakan yang tidak langsung disadari Ayu, Naka menyentuh bagian bawah tas Ayu dan membantu mengangkatnya dengan satu tangan. "Kenapa kok bisa tinggal sendirian di kamar mandi? Bukannya jam pulang sekolah udah dari tadi?"

"Tadi aku piket kelas, terus pas udah mau selesai, sakit perut, tapi aku tahan sampe selesai. Waktu keluar kelas, aku langsung belok ke kamar mandi. Temen-temenku lanjut pulang duluan." Ayu mencoba menjelaskan sambil menghentakkan kaki pelan. 

"Terus?"

Ayu diam. Wajahnya memerah.

Naka yang mendapati hal itu kelewat gemas, langsung menatap langit supaya senyum lebarnya tidak terlihat. 

"Ya, gitu. Nggak mungkin aku minta tolong temen-temen yang udah pulang. Lagian ada beberapa yang cowok." Ayu menjawab dengan suara yang semakin pelan. 

Naka sudah tidak mampu menahan senyumnya. Kini deretan giginya sudah terlihat sempurna. "Terus Mas Naka bukan cowok, gitu?"

Ayu mempercepat langkah yang menyebabkan bantuan Naka pas tasnya tidak sengaja terlepas. "Mas Naka bantuin pegang tasku?"

Naka tertawa kecil. Ia baru tahu kalau menggoda Ayu terasa sangat menyenangkan. 

"Pantes jadi nggak berat." Ayu bergumam.

Melihat Ayu yang menahan malu, Naka langsung mengubah topik. "Mau langsung pulang atau mampir beli es krim dulu? Mas Naka abis dapet rezeki tadi."

Mata Ayu yang tadinya redup, langsung berubah cerah. Seolah-olah ada percikan cahaya berkilau yang terpancar dari matanya. "Mau es krim."

"Oke."

***

Begitu tiba di depan rumah Bu Endang, Naka masih sempat-sempatnya menatap Ayu hingga gadis itu masuk ke rumah. Setelah Ayu tidak lagi terlihat, barulah Naka merasa ada sesuatu yang mengganjal. Entah mengapa ia merasa ada yang belum dilakukan. Ia baru tersadar setelah memeriksa ponsel yang sengaja dimode hening demi menikmati waktu dengan Ayu. Naka membelalak ketika mendapati belasan panggilan tidak terjawab dari Jo. 

Anah, iya, Pak Bahar. Mampus. 

Tanpa peduli dengan pakaiannya yang hanya mengenakan kaus polos tanpa kerah, Naka langsung bertolak menuju kampus. Ia tahu, usahanya bisa saja sia-sia, tetapi ia akan lebih menyesal jika tidak tiba di kampus sesegera mungkin.

Entah karena terburu-buru atau karena pikirannya yang sudah kalut, Naka ketiban sial. Ia diserempet oleh mobil yang melaju di sampingnya. Setelah terjatuh, bukannya menuntut, Naka malah langsung bangkit dan segera melanjutkan perjalanannya. 

Jamillah melesat lebih cepat dari sebelumnya. Naka sudah merasa seperti terbang di jalanan. Ia segera berlari begitu tiba di parkiran kampus.

"Pak Bahar masih di ruangan, Jo?"

Jo menghela napas berat. "Gue udah nunggu lo hampir empat jam, ya, Ka. Ini udah mau magrib. Pak Bahar udah balik. Barusan banget."

"Aguy, yang bener dulu."

"Iya, mungkin kalo lo kejer masih ada di parkiran."

Tanpa pikir panjang, Naka berlari ke parkiran sambil mengabaikan nyeri yang menjalar di tangan kanannya. "Pak, maaf. Saya baru bisa datang."

Pak Bahar hanya diam. 

"Maaf, Pak. Sebelumnya, kemarin ..., memang saya ada urusan. Tadi juga ... saya ada urusan ... darurat."  Ia menunduk dalam karena sadar sudah melakukan kesalahan besar. Benar kalau Ayu dalam keadaan darurat, tetapi dirinya sendiri juga dalam keadaan yang tidak kalah darurat. Kalau saja ia bisa berpikir lebih bijak, bisa saja ia minta tolong pada anak-anak indekos yang perempuan. Lagi pula, jarak indekos jauh lebih dekat ke sekolah dibandingkan dengannya yang harus menghabiskan hampir satu jam di jalanan. Kini Naka merutuki kebodohannya sendiri. Kalau sampai Ilham atau Wisnu tahu, ia mungkin bisa berubah menjadi ayam geprek. 

Naka langsung menggeleng, berusaha merapikan kalimatnya. "Maaf baru bisa menemui Bapak. Apapun yang saya katakan sekarang mungkin hanya jadi alasan saja. Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya mohon, Bapak tidak mundur menjadi penguji saya."

"Kamu ngojek?" Pak Bahar malah membahas hal lain.

Naka mengerjap dan baru menyadari kalau ia masih mengenakan helm. Ia buru-buru membuka helmnya. "Maaf, Pak."

"Saya tanya, kamu ngojek?"

Naka mengangguk.

"Tadi habis kecelakaan?" Pandangan Pak Bahar beralih pada telapak tangan dan siku Naka.

"Hah, maaf, gimana, Pak?" Naka menjawab dengan terbata. 

Pak Bahar membuka pintu mobilnya dan mengeluarkan kotak p3k. "Nayaka, saya minta kamu datang untuk melihat seberapa serius usaha kamu. Saya harap kamu nggak akan pernah main-main lagi. Saya nggak akan terima alasan apapun setelah ini. Kamu mahasiswa, kewajiban kamu menyelesaikan studi." Dosen yang juga ketua prodi itu mengeluarkan antiseptik dan pembalut luka dari kotak p3k. "Tangan kamu berdarah. Bersihkan dulu lukanya."

Naka menerima pemberian Pak Bahar dengan wajah yang setengah melongo.

"Saya sudah sesuaikan jadwal dengan dua dosen pembimbingmu. Lusa kamu seminar proposal di jam 10. Urus berkasnya. Saya juga minta sketsa kasar pendamping proposal." Pak Bahar bicara dengan tegas.

"Siap, Pak."

Pak Bahar berbalik dan masuk ke mobil, kemudian tiba-tiba beliau membuka kaca mobilnya. "Nayaka, saya minta sketsa yang digambar manual, ya."

Naka hanya bisa tersenyum getir. Menggambar manual dalam waktu dua hari pasti bisa mengubahnya menjadi zombi karena kurang tidur. Namun, ini adalah kesempatan terakhirnya. Laki-laki yang tangannya dipenuhi dengan helm, antiseptik dan plester itu akhirnya mengangguk.

Naka berjalan ke tempat Jo menunggunya. Ia meletakkan helm dan membersihkan lukanya tanpa bicara.

"Gimana, Ka?" Wajah Jo terlihat antusias, tetapi juga cemas.

"Gue seminar lusa. Bapak minta sketsa manual."

Jo langsung mengerjap. "Sketsa manual? Biasanya Bapak nggak gitu."

Naka menghela napas berat. "Anah. Gue mau protes juga gimana, untung-untungan doi nggak resign jadi penguji gue."

"Iya, juga, sih." Jo melihat luka di tangan kanan Naka, kemudian dahinya berkerut. "Ka, lo kan kudu gambar manual, nih, ya."

"Iya, terus?" Naka masih sibuk membalut lukanya dengan beberapa plester.

"Seinget gue sih, lo nggak kidal, kan?"

"Aguy, langsung ke intinya aja bisa nggak?" Naka sudah kesal. Nada bicaranya sarat penekanan.

"Gimana lo gambar kalo tangan lo luka-luka?"

Mendengar pertanyaan Jo, Naka langsung cengar-cengir seperti orang kurang waras. Tidak sampai di situ, kini ia mulai tertawa.

"Ka. Maaf banget, nih. Jujur gue nggak bisa bantu. Soalnya besok gue ada survei ke luar kota."

Tawa Naka makin kencang. "Jo, kalo gue nggak dateng pas seminar proposal lusa nanti, nggak apa-apa kali, ya?"

Satu pukulan dari Jo langsung mendarat di punggung Naka. "Nggak apa-apa, paling nama penguji lo bakal ilang dari SK. Udah, sih, Ka. Bisa pasti, bisa. Lagian lo, kan, emang jago sketsa manual gitu. Bisa. Bisa. Ya, kalo capek minta bantuin Wisnu kayak biasanya aja."

Nah, bener, Wisnu. Baru juga kalimat itu muncul di kepala Naka, ia sudah langsung dihantam kenyataan. "Wisnu bakal sibuk. Mulai hari ini dia udah kerja."

"Anak kos lo, kan, baik-baik, tuh. Minta tolong aja. Minimal ada yang bangunin lo kalo ketiduran. Sama bantuin buat cek progres gambar lo sampe mana." Jo menyentuh pundak Naka. "Jangan lupa, besok lo harus beresin berkas administrasi buat seminar proposal."

Naka mengangguk, tetapi kepalanya masih dipenuhi pertanyaan yang membuatnya meragukan diri sendiri. Dua hari. Ia harus menggambar sketsa dengan tangannya sendiri. Membuat sketsa digital juga tidak mudah, tetapi setidaknya Naka bisa punya lebih banyak waktu tidur jika menggunakan metode tersebut. Kalau harus menggambar manual, alamat jatah tidur Naka bakal didiskon sampai 99 persen.

"Ka, gue cabut duluan, ya. Udah dicariin nyokap."

Naka langsung bangkit begitu Jo berpamitan. "Jo, makasih, ya. Nggak tau dimana lagi gue ketemu kawan kayak lo."

"Santai, Bro. Selama ini juga lo banyak bantu gue. Semangat. Gue usahain dateng pas lo seminar."

"Oke."

Naka tidak langsung pulang. Ia malah rebahan di rumput taman prodi arsitektur. Ia berusaha menyusun daftar hal-hal yang harus dilakukan, sambil memejamkan mata.

"Nggak apa-apa, Naka. Ini waktu lo. Waktu lo udah dateng. Ayo, lari. Jangan diem aja di sini."

Naka tersenyum setelah mendengar suara dari kepalanya sendiri. Naka sadar, ia tidak bisa berharap lebih banyak dari yang sudah ia dapatkan kini. 

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

"Yak, gitu aja, jangan sampe lo semua nggak dateng ke seminar gue. Ditunggu. Minimal bawain gue bunga setangkai seorang, ya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro