3. Nyemplung Bundaran HI aja, ya?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Naka baru tahu kalau satu baris pesan singkat dari tempat servis langganannya bisa membuat senyumnya hilang seketika. Ia berusaha bertahan untuk tidak menarik diri dari acara wisuda Wisnu, tetapi kepalanya sudah kelewat pening setelah mendapat vonis kalau laptopnya tidak akan selamat. Dengan berat hati, Naka berpamitan dan berniat kembali ke indekos setelah pikirannya agak tenang. Ia merasa bersalah kalau harus terlihat tidak baik-baik saja saat semua penghuni indekos tengah bersukacita. 

Wajah terkejut dan heran para penghuni indekost ketika ia pamit, tidak bisa menghentikan niat Naka. Ia berjalan cepat untuk menghindari tatapan mereka yang seolah terus mengikuti pergerakannya. Laki-laki berambut agak gondrong itu langsung mengikat ulang rambutnya kuat-kuat. Ia berharap tarikan kuat dari ikat rambut bisa membuat peningnya berkurang. 

Jamilah yang terparkir di dekat gerbang membuat Naka mengembuskan napas kasar. Laptop dan motor matiknya ini adalah dua harta berharga miliknya. Sialnya, kedua benda mahal itu ia dapatkan dengan bekerja mati-matian, pakai metode cicilan pula. Jamilah dibeli ketika Naka masih SMA. Datuk yang bekerja serabutan, membantunya membayar cicilan. Kalau laptop, Naka mencicilnya sendiri. Meski tahu kalau mencicil adalah cara mudah untuk menyiksa diri, tetapi ia tetap melakukannya karena tidak punya apa-apa lagi. 

Naka menatap Jamilah dengan helm ojek yang menggantung di spion. Ia sempat menimbang-nimbang, apakah harus menjual motor untuk membeli laptop? Namun, Naka tidak bisa memutuskan semuanya dengan kepala panas. Ia memilih pergi ke tempat servis untuk menjual bangkai laptopnya. 

"Beneran nggak ketolong lagi, Bang?" Naka masih berusaha menggunakan secuil harapan yang menggantung di hatinya. 

Pertanyaan Naka hanya mendapat gelengan. 

Laki-laki berambut terikat itu langsung menarik kursi plastik dan duduk dengan tenang. Ia melipat tangan di dada. "Gue mau jual bangkenya. Dapet berapa, Bang?"

"Duh, gue nggak bisa kasih banyak, Ka. Batre lo juga udah soak. Bentar, gue itung dulu."

Naka masih berusaha tenang, tetapi kakinya terus bergerak mengetuk lantai. Ia berharap, setidaknya bangkai laptop bisa menghasilkan uang. 

"Paling gue bisa kasih 500. Ini juga karena lo anak langganan sini."

Naka menggeleng. "Anah. Nggak bisa tambah lagi, Bang?"

"Kalo batre lo nggak soak, gue bisa tambahin agak banyak."

Dahi Naka mengkerut. Ia berpikir keras, tetapi kepala panasnya tidak bisa memutuskan dengan cepat. 

"Atau gini aja, Ka. Lo pikir-pikir aja dulu. Mau lo lempar tempat lain juga nggak masalah, tapi gue jamin, gue udah kasih harga paling bagus buat lo."

Naka menatap laptopnya dengan tatapan sedih. Laptop kesayangannya memang sudah bekerja keras sejak ia masih mahasiswa baru, tetapi kerja keras laptopnya tentu tidak sebanding dengan kerja kerasnya untuk membayar cicilan tiap bulan. Kepala Naka tambah pening ketika mengingat masih ada tiga bulan cicilan yang belum dibayar. Akhirnya, ia mengambil keputusan setelah berpikir sejenak.

"Gue jual di sini aja, Bang."

Lima lembar uang seratus ribuan dari tempat servis laptop itu Naka genggam erat-erat. Ia membuka dompet lusuhnya dan memasukkan uang itu dengan hati-hati. "Makasih, Bang."

"Lo nggak narik, Ka? Tumben batikan."

Naka memaksakan senyumnya. "Ah, temen gue wisuda, Bang. Ini mau lanjut ke acaranya."

"Oh, gitu. Kalo lo, kapan? Terakhir Jo ke sini, katanya udah mau seminar, tuh, dia." 

Senyum di wajah Naka terasa menyiksa. "Doain aja, Bang. Gue cabut. Ntar kalo ada anak-anak yang butuh servis, bakal gue anter ke sini kayak biasa, ya."

"Oke, Ka. Makasih juga. Semoga lo cepet lulus, ya." 

Kalau saja doa dari orang-orang yang mengharapnya segera lulus bisa dikonversi jadi uang, pastilah Naka tidak perlu pusing seperti sekarang. Sepertinya doa-doa tersebut nyangkut di tiang listrik atau gedung-gedung tinggi yang ada di sini. Bukannya tambah cepat lulus, cobaan Naka untuk lulus malah semakin tidak karuan. Kalau saja ia tidak tahan banting, mungkin pria berbaju batik merah itu sudah nyemplung di Air Mancur Bundaran HI karena kelewat sinting. 

***

Setelah minum kopi di area dekat Bundaran HI, Naka mengelilingi air mancurnya hingga tiga kali. Selama mengelilingi air mancur, Naka memikirkan alasan paling logis yang bisa ia sampaikan ketika seisi indekos memberondongnya dengan pertanyaan. Sesudah mendapatkan jawaban, barulah ia agak tenang dan memutuskan untuk kembali ke indekos. 

"Assalamualaikum." Naka tersenyum sangat lebar hingga kedua matanya menyipit sempurna. "Anah, udah sepi aja, nih. Ejak sama Yoyo belom balik sekolah, ya?"

Pertanyaan Naka dibalas tatapan sinis oleh Wisnu. Laki-laki yang tidak lagi mengenakan toga itu masih sibuk duduk menjadi pajangan untuk ditonton tetangga yang bertamu akibat woro-woro acara syukuran di rumah Bu Endang, tetapi ia masih sempat memelototi sahabatnya yang langsung menuju meja makan. 

"Lah, Ibu cariin dari tadi, malah baru nongol ini ketua panitianya. Dari mana aja Naka?"

Naka yang masih memegang piring sempat limbung ketika sebuah tepukan berhasil mendarat di punggungnya. "Anah. Ibu bikin kaget aja. Abis dari HI. Biasa urusan bisnis, abis ketemu orang penting."

"Halah, bisnis kamu mentok-mentok di sini aja. Gayaan ngurus bisnis. Lulus dulu sono." Wanita yang mengenakan kerudung merah serta pakaian serba merah layaknya anggota partai yang tengah kampanye itu ceramah sambil mengeluarkan sepiring ayam kecap dari lemari. "Ibu simpen ini, takut kamu nggak kebagian. Masa ketua panitianya nggak kebagian makan."

Naka cengar-cengir. Kemudian, ia mengacungkan jempol. "Weh, terbaik emang Ibu."

Seusai mengambil makan, Naka bergabung dengan beberapa tamu yang juga sedang makan. "Pak Joko, ih, anaknya abis keterima kerja di Batam, ya? Keren banget." 

Pria paruh baya yang duduk di samping Naka langsung semringah. "Iya, akhirnya keterima kerja dia."

"Nah, duduk, Bu. Duduk sini." Naka menggeser duduknya ketika salah satu tetangga mereka datang. "Ibu, tambah cantik aja. Kapan, nih, kira-kira mau bersihin AC lagi?"

"Minggu depan, ya. Abis Bapak gajian. Abis kamu bersihin kemaren itu, AC-nya langsung adem pol."

"Siap, Bu." Naka mengalihkan pandangannya pada pria di sudut ruangan. "Pak RT, mesin cuci yang dibenerin minggu kemaren masih aman, kan?"

"Aman. Selalu aman kalo Naka yang kerjain."

Naka masih sibuk bicara dengan semua orang yang ada di sana. Mulai dari RT, warga, anak muda hingga anak kecil yang ada di sana ia ajak bicara. Ia tidak kalau Wisnu tengah memperhatikannya dengan tatapan curiga. 

Begitu selesai makan, Naka langsung dihadang oleh Wisnu yang sudah menunggunya di dekat tempat cucian piring. "Dari mana lo?"

"Lah, kepo amat. Ada urusan bisnis. Gue abis ketemu orang penting." Naka tidak berbohong. Abang servis laptop adalah salah satu orang penting yang ia kenal di Jakarta.

Wisnu masih kekeuh berdiri di tempatnya. "Urusan apa? Jangan bohong sama gue!"

"Anah, dramatis amat. Urusan pribadi, lo nggak perlu tahu." Naka mendorong pria berbaju batik yang menghalangi jalannya. 

"Urusan pribadi lo yang mana yang gue nggak tau? Lo bisa aja pura-pura kayak biasa, tapi gue tahu ada yang salah sama lo. Kenapa, Ka? Lo abis ketemu Mama lo?"

Naka berniat meletakkan piringnya dengan cepat, tetapi piring tersebut malah meluncur dari tangannya dan membuat pekik tertahan dari orang-orang yang ada di sana. Naka membeku sejenak. Wajahnya lurus tanpa ekspresi, tetapi dalam sepersekian detik ia kembali menguasai diri. Ia segera tersenyum dan bicara pada orang-orang yang menatapnya. "Nggak apa-apa, Bu, Pak. Ini saya nggak sengaja jatohin piring."

Setelah orang-orang kembali sibuk dengan urusannya, senyum cengar-cengir Naka masih bertahan di sana.

"Lo masih bisa cengar-cengir, Ka?" Wisnu bertanya dengan suara pelan dan terkesan mengejek.

Naka tidak memedulikan Wisnu yang kini melipat tangan di dada dan berusaha menghakiminya. Ia berjongkok dan memunguti pecahan piring yang berserakan. Ia memasukkan pecahan kaca itu dalam plastik. Entah karena sedang sial-sialnya atau memang ia tidak hati-hati, salah satu jari Naka tergores hingga meneteskan darah. Ia sempat mengaduh, tetapi langsung pura-pura tidak terjadi apa-apa setelah membersikan lukanya dengan air mengalir.

Bukannya berseru panik, Wisnu malah berdecak. "Sakit, Ka? Lo harusnya ngomong kalo lo sakit. Jangan pura-pura sok keren di depan semua orang, padahal lo harusnya bisa teriak minta tolong."

"Harusnya lo ngaca, sih. Lo yang kayak gitu, bukan gue." Naka meletakkan bungkusan pecahan kaca itu di dekat tempat sampah. "Satu lagi, kalo nggak tahu apa-apa tentang nyokap gue, mending lo diem!" Ia melewati Wisnu dengan tatapan dingin. Mungkin lebih dingin daripada tatapan yang diberikan Wisnu saat pertama kali mereka bertemu. 

"Bang, ...." Yoyo yang baru pulang sekolah tidak berani melanjutkan kalimatnya ketika melihat adegan ribut dari kedua abangnya.

"Eh, Yoyo. Udah makan belom? Bang Naka udah nyimpen jatah ayam buat kamu sama Ejak." Naka tersenyum lebar, seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya. 

Adik bungsu di indekos itu menatap Wisnu dan Naka bergantian, kemudian ia mengusap tengkuknya. "Ah, iya, Bang. Ini mau makan."

Naka menepuk pundak adiknya dan berlalu dari sana dengan wajah penuh senyuman. Dalam hati, kini Naka merutuki dirinya sendiri dengan sumpah serapah karena malah mengajak sahabatnya bertengkar. Harusnya ia bisa menahan emosinya sedikit lebih lama. Harusnya ia tidak membentak Wisnu yang hanya bertanya tentang pertanyaan yang jawabannya sudah ia pikirkan hampir sepanjang hari. Namun, ia bisa melakukannya karena itu Wisnu. Hanya Wisnu yang tahu bagian dirinya yang bahkan ia sendiri tidak suka. 

Naka tidak kembali ke ruangan yang berisi tamu, ia malah keluar lewat pintu samping dan segera pamit dengan Bu Endang dan beralasan akan narik ojek, padahal saat itu, ia hanya ingin pergi dari sana karena merasa bersalah pada Wisnu karena sudah merusak hari bahagia sahabatnya.

"Mas Naka." 

Gerakan Naka mengenakan helm harus berhenti karena mendengar sapaan yang membuat hatinya meleleh sebagian. Buru-buru ia melepaskan helm dan merapikan rambut. "Iya, Dek Ayu."

"Mau ke mana?"

Melihat senyum dari anak tunggalnya Bu Endang, berhasil membuat sebagian beban imajiner di pundak Naka meluruh. Ia mengenal Ayu sejak gadis itu masih SMP. Awalnya ia hanya menganggap Ayu adik lucu yang sangat manis, tetapi entah sejak kapan perasaannya berubah menjadi suka yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 

Gadis berambut panjang terikat itu memiringkan wajah karena pertanyaannya tak kunjung mendapat jawab. "Mas Naka mau ke mana? Katanya ini ada acara Wisuda Mas Wisnu, kok, malah mau pergi?"

Naka tersenyum. Ia mengusap puncak kepala Ayu dan kembali memakai helmnya. "Mas Wisnu-nya ada di dalem, kok. Acaranya bakal tetep jalan walau gue nggak di sana."

Ayu menatap Naka heran. "Tapi, kan, Mas Naka sahabatnya Mas Wisnu." 

"Gue cabut duluan. Lo jangan lupa makan. Yoyo barusan mau makan juga, tuh di dalem."

Gue memang sahabatnya Wisnu yang bisanya nyusahin dia doang. Emang bagusnya gue nggak usah terlalu deket sama siapapun. Semakin banyak dia tahu tentang gue, bakal semakin sering gue nyakitin dia.

Naka tidak menyalakan aplikasi ojeknya, ia malah melaju ke tempat yang seharusnya tidak ia tuju. Namun, ia tidak punya rumah untuk pulang. Kini, ia berusaha mendekati tempat yang seharusnya bisa ia sebut sebagai rumah. 

Catatan:

Datuk : Kakek dalam bahasa Lampung

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Dijamin Wisnu ketar-ketir abis ribut sama Naka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro