Jumpa Nyata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kunir menguap sembari mengucek mata. Kantuknya sudah tak tertahankan, tapi acara technical meeting untuk lomba esok hari tak kunjung usai. Kepalanya bahkan sudah terantuk kursi berkali-kali karena tertidur dalam keadaan duduk. Isna, teman sekampusnya yang juga peserta lomba, sampai harus mencubitnya berulang kali agar ia tak benar-benar terlelap.

"Awww, sakit, Is," pekik Kunir. Untuk kesekian kalinya, Isna mendaratkan cubitan di lengannya.

"Ya makanya lo jangan molor," sungut Isna.

"Ngantuk, Ya Allah, acaranya ndak selesai-selesai, sebel!" Kunir menggerutu sebal. Matanya setengah terpejam.

"Ya paling bentar lagi kelar, sabar kek. Lo dengerin, Nir, awas aja besok gak paham di mana lokasi lomba, pengambilan undian, ruang tunggu, dsb," omel Isna.

Kunir nyengir, "Ya udah, aku tanya ke kamu ntar."

"Kita beda cabang keleus," sahut Isna.

"Baiklah, sekian technical meeting umum untuk seluruh peserta musabaqoh, selanjutnya seluruh peserta dipersilakan menuju PJ masing-masing cabang lomba untuk melaksanakan technical meeting khusus." Suara MC di depan panggung menginterupsi obrolan Kunir dan Isna.

Kunir menatapa jam tangannya, kemudian mendengkus, "Udah jam setengah 10 loh ini. Masak masih harus lanjut sih. Ya Allah, ngantuuuukkkk."

"Baru juga jam segini. Udah ayok ke PJ kita masing-masing," ajak Isna. Ia berdiri, kemudian meninggalkan Kunir lebih dahulu.

Kunir melangkah gontai menghampiri PJ lombanya. Sudah ada beberapa anak yang mengelilingi PJ lomba itu. Ia duduk dengan malas sembari mendengarkan beberapa arahan.

"Mbak Kunir! Ya Allah, kangeeeennnn... "

Kunir terkejut. Kantuknya seketika hilang begitu menyadari seseorang tengah memeluknya erat. Ia melepaskan pelukan, kemudian terpekik senang.

"Sarifaaaaa... Ya Allah, apa kabar? Aku juga kangen."

"Baik, Mbak, alhamdulillah."

"Sampeyan ikut MHQ juga? Tak kira ikut MTQ." Kunir tersenyum bangga menatap adik kelasnya.

Sarifa mengangguk, "Rifka yang ikut MTQ, Mbak, aku MHQ. Tapi ikut yang 5 juz, kalau sampeyan pasti yang 30 juz, ya?"

"Hehe iya. Eh, kok sampeyan yang 5 juz, terakhir sebelum aku boyong bukannya hafalan sampeyan udah dapet juz 6, ya? Sekarang pasti udah lebih banyak, to?" Kunir mengernyit bingung.

"Alhamdulillah udah juz 20 sebenernya, Mbak. Tapi belum pede, yawis aku minta ikut yang MHQ 5 juz aja, hehe."

Kunir mengangguk paham, "Owalah, yawis semoga lancar, ya."

"Amiiinnn. Eh, sampeyan udah ketemu Kang Khalid?" tanya Sarifa.

"Belum. Aku baru sampek sini tadi habis maghrib," jawab Kunir dengan senyum terkulum. Mendengar nama lelaki itu saja sudah membuatnya tersipu.

"Owalah, belum sempat ketemu ya pasti. Ndakpapa, kan di sini masih sampek seminggu mendatang. Masih panjang kesempatannya," goda Sarifa. Dulu di pesantren, ia dekat dengan Kunir. Wajar jika ia tahu tentang kedekatan kakak kelasnya itu dengan santri kesayangan kiai mereka.

"Apa sih, Sar," kekeh Kunir. Lagi-lagi ia tersipu.

"Oh iya, rombongan pesantren dapet penginapan di lorong barat, Mbak. Kamar nomor 25. Sampeyan kalau lega main ke sana, ya. Ada Ning Kana sama Ustazah Risa juga," tawar Sarifa.

"Iya, besok kalau lega aku ke sana insyaa Allah. Kalian juga kalau lega ke kamarku, ya. Aku di lorong utara, kamar nomor 9." Kunir balik menawari Sarifa.

Sarifa mengangguk, "Iya, Mbak, nanti tak kasih tahu ke Ning Kana sama Ustazah Risa. Beliau-beliau pasti kangen sampeyan."

"Eh iya, Sar, anu... emmm... terus Kang Khalid sama Kang Yusuf nginep di mana?" tanya Kunir canggung.

Sarifa tertawa melihat ekspresi kakak kelasnya, "Ndak usah gugup gitu lah, Mbak, kayak tanya ke siapa aja. Kang Khalid sama Kang Yusuf mau tidur di mobil aja katanya. Mereka juga bilang kalau laki-laki gampang, di mana aja bisa tidur."

"Ya Allah, seminggu mau tidur di mobil?" tanya Kunir khawatir.

Sarifa menggeleng sembari terkekeh, "Ndak tahu juga, Mbak. Udah, ndak usah khawatir, santai aja. Santri kan gampang tidur di mana aja."

Kunir menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Hehe iya, deh."

"Nah, sekian technical meeting khusus untuk cabang lomba MHQ. Selamat malam, selamat istirahat. Jaga kesehatan, tetap semangat. Semoga acara kita semua lancar." PJ lomba cabang MHQ menutup pengumumannya, kemudian dilanjut dengan membaca doa bersama.

"Aku balik kamar dulu ya, Sar. Udah ngantuk, hehe. Sampai ketemu besok di aula," pamit Kunir.

Sarifa mengangguk, "Iya, Mbak. Semoga lancar-lancar semua, ya."

"Amiin amiin aminn ya mujibas sailin. Selamat istirahat, Sar." Kunir tersenyum sembari mengusap lengan Sarifa lembut, dan dibalas dengan anggukan dari adik kelasnya itu.

*****

Kunir langsung merebahkan badan begitu sampai di kamar. Matanya terasa berat sekali. Tak sampai lima menit, ia telah terlelap nyaman. Namun baru beberapa menit menutup mata, ia merasa bahunya diguncang-guncang oleh seseorang.

"Nir, hape lo bunyi mulu nih, berisik."

Kunir mengerjapkan mata, Isna menyodorkan ponselnya yang berdering nyaring dengan raut kesal. Tanpa menatap layar, Kunir mengangkat panggilan. Ia masih setengah sadar.

"Hoaaammmm." Kunir menguap sejenak, "iya halo, ada apa?"

"Eh, udah tidur, Nduk? Yawis ndak jadi, lanjutkan tidurnya aja. Assalamualaikum."

Kunir seketika terbelalak. Kantuknya sempurna menghilang. Sayang, sebelum ia sempat menjawab apa pun, panggilan telah dimatikan sepihak. Ia mengucek matanya sebentar, kemudian mencari kontak seseorang yang baru saja menelponnya dan menghubungi balik.

"Assalamualaikum, Kang Khalid," sapanya.

"Waalaikumsalam, Nduk. Lah kok malah telpon balik, to? Wis, sana istirahat," sahut Khalid dari seberang panggilan.

"Denger suara sampeyan ngantuknya ilang, Kang," kekeh Kunir.

Khalid ikut terkekeh, "Halah, ada-ada aja."

"Jadi, kenapa nelpon?" Kunir berjalan ke luar kamar. Kebetulan kamarnya ada di ujung, dekat dengan balkon.

"Ndakpapa, ya pengen telpon aja. Tapi sampeyan udah tidur, yawis dilanjut aja tidurnya."

"Dibilangin ngantukku udah ilang kok." Kunir terkekeh lagi, "Kang, sampeyan tidur di mana?"

"Gampang lah nanti. Di mobil bisa, cari masjid bisa, gampang pokoknya."

"Masak seminggu tidur di mobil, Kang? Nanti sakit pinggangnya," ucap Kunir khawatir.

"Tenang aja, ndak usah khawatir gitu. Kang Khalidmu ini tangguh, Nduk," kekeh Khalid.

Kunir tersipu. Ucapan 'Kang Khalidmu' yang keluar dari bibir Khalid membuatnya salah tingkah, padahal tak ada wujud lelaki itu di hadapannya.

"Nduk," panggil Khalid. Ia bingung karena tak mendengar suara apa pun.

"Eh iya, Kang. Ada apa?" sahut Kunir.

"Kok diem?"

"La bingung mau ngomong apa, hehe."

"Sudah dipersiapkan semua buat lomba besok?"

"Bismillah, Kang."

"Mentalnya sudah siap juga?"

"Insyaa Allah, hehe. Doanya ya, Kang."

"Selalu, Nduk. Aku selalu doain sampeyan."

Kunir kembali tersipu. Kalimat-kalimat Khalid mudah sekali membuat jantungnya berdebar kencang. "Maturnuwun, Kang."

"Sami-sami. Belum ngantuk beneran, Nduk?"

Kunir baru akan menjawab pertanyaan Khalid ketika matanya menatap siluet seseorang di halaman bawah. Dahinya mengernyit, "Chef Abey? Eh masak Chef Abey sih? Ngapain di sini coba?" gumamnya lirih.

"Nduk, halo,"

"Eh anu, Kang, sebentar ya, tak matiin dulu. Assalamualaikum." Kunir segera mematikan panggilan, kemudian berlari menuruni tangga dengan tergesa. Ia ingin memastikan apakah yang baru ia lihat benar-benar artis favoritnya atau bukan.

Sampai di bawah, ia celingukan. Lorong lantai bawah telah sepi, hanya ada beberapa panitia yang masih mengurus persiapan lomba. Ia berjalan keluar, menuju tempat ia melihat siluet Abey. Namun, halaman gedung juga sepi, tak ada siapa pun.

Kunir mendesah pelan. Demi apa ia keluar gedung malam-malam, hanya untuk memastikan siluet seseorang yang bahkan tak mengenalinya? Ia bahkan mengabaikan panggilan Khalid. Demi apa?

Kunir masuk ke dalam gedung dengan langkah gontai. Ia merasa melakukan hal yang benar-benar tidak berfaedah.

"Awww, astaghfirullah," pekik Kunir. Seseorang menabraknya hingga terjatuh.

"Kalau ngantuk gak usah keluyuran malem-malem. Jalan gak bener!"

Kunir mendengkus kesal. Ia yang ditabrak, kenapa ia juga yang kena marah?

"Maaf ya, tapi kamu yang nabrak a... " Kunir menghentikan ucapannya. Ia menganga takjub. Di hadapannya, berdiri seorang lelaki tinggi dengan wajah yang meskipun tengah berekspresi sinis, namun tetap terlihat tampan.

"Chef Abey? Masyaa Allah, mimpi apa aku malam-malam liat Chef Abey secara live?" Kunir menepuk-nepuk pipinya. Ia masih tak percaya.

Abey melirik sejenak gadis yang baru saja ia tabrak, kemudian berlalu. Sudah biasa ia menemui tatapan kagum seorang perempuan. Tak ada yang spesial.

Sementara itu, Kunir masih terdiam di tempatnya dengan senyum lebar. Saking terkejutnya, ia sampai tak sadar jika seseorang yang membuatnya takjub telah menghilang dari pandangan.

*****

Ciye ciye, first time ketemu Chef Abey, nih! Kenapa Chef Abey bisa tiba-tiba ada di gedung lombanya Kunir, ya? Hayo kenapa?

Btw, kasihan Kang Khalid, telponnya dicuekin, wkwkw. Sini, Kang, telponan ama Naya aja. Sepi ini hapenya, haha.

Selamat membaca dengan penuh cinta.
Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar, ya.

Semarang, 25 Maret 2021

Naya Zayyin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro