Rencana Temu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kunir menyodorkan cup berisi coffe latte pada Fauzi, "Minum dulu, Lek."

Fauzi yang tengah fokus pada layar laptop mendongak, "Eh, kenapa repot-repot sih, Nir?"

"Ndak repot kok, biasa aja. Lagian masak kita nongkrong di coffee shop ndak pesen apa-apa, ya diusir nanti. Malu dong, mana ndak bawa helm berkuping buat nutupin wajah," kekeh Kunir.

Fauzi tertawa, "Ada-ada aja lo. But, thank's ya, Nir,"

"Aku yang harus banyak-banyak bilang makasih ke kamu, Lek," sahut Kunir. Ia telah banyak merepotkan lelaki itu.

Pagi tadi, Kunir mengirim hasil desain dekorasi ke grup BEM. Para anggota kemudian mengomentari desain itu, dan memberi masukan yang mengharuskan ia merubah beberapa bagian. Sayang, laptopnya sedang tak bisa diajak bekerjasama. Benda kotak berwarna kuning itu justru eror saat tengah benar-benar dibutuhkan. Dan, Fauzi dengan siap siaga meminjamkan laptop sekaligus tenaga untuk membantunya.

Fauzi tersenyum, "Santai aja sih, kebetulan gue ama laptop gue lagi sama-sama gabut, jadi bisa bantuin."

"Lebih tepatnya ngerjain sendiri sih, bukan bantuin, hehe," ralat Kunir. Fauzi benar-benar merevisi desainnya sendiri. Ia hanya melihat sembari memberi usulan.

"Kan, lo yang mikir detail ukuran, warna, dan lain-lainnya. Gue mah cuma bantu ngeklik mouse aja," kekeh Fauzi.

"Dih, merendah. Jelas-jelas kamu yang ngerjain semuanya. Aku kadang mikir, kamu tuh keren banget loh, Lek, multitalenta, ngapa-ngapain bisa. Ini contohnya, padahal bukan anak desain, tapi bisa desain sebagus ini," puji Kunir tulus.

Fauzi menggeleng sembari terkekeh, "Gue bisa desain kan modal nekat doang, Nir. Ngasal aja tinggal corat-coret. Desainnya juga biasa aja, gak beraturan. Hasilnya pasti beda lah ama bikinan anak desain. Itung-itungan ukuran, pilihan kombinasi warna, pernak-pernik yang dipilih, dan lain-lainnya pasti udah mateng banget."

"Buat ukuran anak non desain, bisa nge-desain serapi ini tuh keren banget loh, Lek," sahut Kunir.

"Lo gak bosen apa muji-muji gue mulu? Kalo gue melayang ngejebolin atap kafe lo yang tanggungjawab, ya," canda Fauzi.

Kunir tertawa, "Aku yang nanggung kamu yang jawab."

Mereka baru akan melanjutkan revisi desain ketika ponsel Fauzi berdering nyaring.

"Gue angkat telpon bentar ya, Nir," izin Fauzi. Kunir menanggapinya dengan anggukan.

Fauzi berjalan ke luar kafe, kemudian mengangkat panggilan, "Halo, Kar. Kenapa?"

"Jik, gilak lo, ya! Ke mana lo? Dicariin ama anak-anak BPH dari tadi gak ketemu-ketemu. Hape lo udah gak ada aplikasi whatsappnya? Atau lo udah buta huruf sampek gak bisa bales pesan?" cerocos Karina dengan nada kesal.

"Eh, sorry sorry, tenang. Lo jangan langsung ngomel gini dong, Kar. Kaget gue," sahut Fauzi sembari mengusap dada.

"Lo yang bikin gue ngomel, Malih! Di mana lo? Buruan ke kantor sekarang!" tegas Karina.

"Lagi di Ikatan Kopi gue. Kenapa sih?"

"Gilak! Bisa-bisanya pas kita semua lagi bingung nyariin, lo malah nongkrong di coffe shop belakang kampus? Gak waras lo? Lagian lo seriusan udah gak punya whatsapp apa seriusan buta huruf? Cek whatsapp!" omel Karina.

"Gue gak nongkrong, Maemunah! Oke oke, wait, gue buka whatsapp dulu." Fauzi membuka aplikasi perpesanannya, kemudian menepuk dahi, "astaga, Kar! Sumpah gue lupa kalo hari ini ada janji mau ke rumahnya Ustad Thoha. Anak-anak BPH udah pada kumpul?"

"Udah dari tadi lah, lo buruan ke sini deh. Lima menit belom nyampek gue tampol lo," ancam Karina.

"Oke oke bentar, gue pamit ke Kunir dulu," sahut Fauzi cepat.

"Eh wait, Kunir? Lo lagi ama Kunir?" tanya Karina.

"Iya, gue di Ikatan Kopi kan buat bantuin Kunir ngerevisi desain dekornya acara panti. Laptop dia lagi eror," jawab Fauzi.

"Modus lo, ye? Ngerjain desain aja ngapain ke Ikatan Kopi?" Suara Karina terdengar curiga.

"Modus pala lo! Suujon mulu, lo kan tau Kunir gak bakal mau ada di dalem ruangan berdua aja, jadi gak mungkin kita ngerjain di kantor BEM. Ya udah, gue ajakin ke Ikatan Kopi, di sini kan rame," jelas Fauzi.

"Serah lo deh mau alesan apa. Pokoknya satu pesen gue. Lo boleh bucin, kita gak ada yang ngelarang. Tapi lo juga harus profesional, Jik. Lo kan paham kalo kita lagi dikejar banyak deadline buat acara panti. Lo sendiri yang bilang kalo acara ini harus keren, harus berkesan, harus beda dari acara-acara biasanya. Jadi, lo gak bisa bantuin job satu anggota doang, sementara job lo sendiri malah keteteran," tutur Karina panjang lebar.

Fauzi mengernyitkan dahi, "Maksud lo apaan sih, Kar?"

"Gak usah naif kali, Jik. Semua anak BEM juga tahu kalo lo suka ama Kunir. Tapi sekarang bukan waktunya lo ngebucin. Lo punya banyak tanggungan, lo punya banyak urusan. Gak seharusnya lo merhatiin tugasnya Kunir doang."

"Kar, lo ngaco deh." Fauzi merasa Karina terlalu mengada-ada.

"Bodoamat lo mau bilang gue ngaco atau gak. Pokoknya lo buruan ke kantor, kita udah janji ama Ustaz Thoha bakal bertamu ke rumah beliau jam 2 siang. Kalo sampek lima menit lagi lo belom sampek sini, udah sekalian bubarin aja acara di panti. Biar lo bisa lebih fokus PDKT ama Kunir!" Karina memutuskan panggilan sepihak.

Fauzi menatap ponselnya sembari mengernyitkan dahi, "Lah, kok ngegas? Lagi PMS apa ya tu bocah."

"Siapa, Lek?" tanya Kunir begitu melihat Fauzi kembali.

"Karina. Gue lupa kalo ada janji ama anak BPH, mau ke rumah pengisi ceramah buat acara panti. Gue duluan ya, laptopnya gue tinggal. Lo gakpapa kan nerusin desain sendirian?"

Kunir tersenyum sembari menggeleng, "Santai, jomlo udah terbiasa ngapa-ngapain sendiri. Udah ahli aku."

Fauzi terkekeh, "Oke, gue duluan kalo gitu."

"Iyupp, semangat, Lek," sahut Kunir sembari mengepalkan tangan, "eh sekali lagi makasih banget," lanjutnya.

Fauzi menanggapi dengan anggukan dan kekehan sembari berjalan meninggalkan Kunir.

*****

"Tas, simakin bacaan juz 27, dong," pinta Kunir.

Tasya yang telah berniat melipat mukena kembali memakainya, "Oke, sini Qur'annya."

Kunir mengangsurkan Al-Qur'an yang telah terbuka di juz 27, "Ini. Tapi langsung mulai surat Al-Qomar aja, ya."

Tasya mengangguk, "Iye, serah lu. Kagak paham juga gua juz 27 awalnye surat apaan."

Kunir terkekeh sejenak, kemudian mulai membaca taawuz dengan khusyuk, dilanjut dengan hafalan surah Al-Qomar. Tasya ikut menyimak dengan khusyuk dan sesekali membenarkan bacaan Kunir yang keliru.

"Inna hadza la huwa haqqul yaqiin. Fasabbih bismirabbikal 'adzim. Shadaqallahul 'aliyyul 'adzim." Kunir menutup hafalannya di akhir surah Al-Waqiah, kemudian mengusapkan kedua telapak tangan di wajah.

Tasya menatap Kunir, "Eh, belom akhir juz 27 nih."

"Ndakpapa, kamu udah keliatan ngantuk," kekeh Kunir.

Tasya tertawa sembari mengembalikan mushaf Kunir, "Padahal gua belom ngantuk aslinya, tapi denger suara lu yang merdu mendayu-dayu kenape jadi ngantuk, ye?"

"Mata kamu ditiupin tepung sama si Wasnan, sih." Kunir meletakkan Al-Qur'an di atas meja sembari tertawa.

"Ha? Wasnan siape? Tepung ape?" Tasya melipat mukena sembari menatap Kunir.

"Wasnan, Tas, nama salah satu setan," sahut Kunir santai.

Tasya seketika memegang erat lengan Kunir, "Gilak lu ye, Nir. Kagak usah nakut-nakutin gua kek. Lagian mana ada setan muncul jam segini?"

"Udah tahu kalau setan ndak mungkin muncul jam segini, kan? Terus kenapa takut?" Kunir terbahak menatap raut tegang Tasya. "Lepasin, Tas, kenceng banget kamu megangnya. Sakit ih," lanjutnya sembari melepas paksa pegangan tangan teman kostnya itu.

Tasya melepaskan pegangannya sembari bersungut-sungut, "Sukurin! Abisnya lu nakut-nakutin gua."

"Dulu, pas di pesantren aku pernah ngaji kitab namanya Maroqil Ubudiyah, karyanya Syaikh Nawawi Al-Bantani. Ustadku jelasin dari kitab itu, katanya setan itu ada nama dan tugasnya masing-masing, Tas. Kayak malaikat gitu. Jibril punya tugas sendiri, Mikail, Isrofil, Izrail, dan semuanya juga punya tugas yang beda-beda. Nah, setan yang punya tugas buat bikin orang ngantuk pas lagi belajar, ngaji, atau melakukan hal-hal baik, itu namanya setan Wasnan. Ada juga setan yang tugasnya bikin orang seneng belanja barang-barang ndak penting dan jatuhnya pemborosan, namanya setan Zalanbur. Dan, banyak lagi," jelas Kunir panjang lebar.

"Egilak! Jadi selama ini gua diikutin setan mulu, ye. Udah tiap belajar ngantuk, boros jugak hidup gua," sahut Tasya.

"Nah loh, kamu temenan ama setan berarti," ejek Kunir.

"Lah temen gua elu. Lu setannya berarti," balas Tasya.

"Ih ngeselin," sungut Kunir.

"Sorry sorry," Tasya tertawa melihat wajah sebal temannya, "eh tapi ini serius. Gua bener-bener ngerasa tambah pinter sejak kenal lu, Nir. Otak lu kapasitasnya berapa giga sih? Kenape masih muat aja diisi banyak ilmu?"

"Aku semenjak kenal kamu ngerasa tambah gendutan, Tas. Tangan kamu terbuat dari apa sih? Kenapa semua masakan yang dihasilin enak?" balas Kunir sembari tertawa.

Tasya memukul pelan lengan Kunir, "Malah ngelawak lu. Eh tuh hape lu kedip-kedip."

Kunir menoleh, ponselnya terlihat bergetar di atas meja. Ia baru ingat jika belum sempat mengaktifkan mode dering sejak pulang kuliah sore tadi. Ia mengambil barang itu, kemudian tersenyum semringah membaca nama yang terpampang di layar.

"Waalaikumsalam, Kang," ucapnya usai menggeser gambar telepon warna hijau.

"Kang Khalid?" tanya Tasya pelan. Kunir mengangguk.

"Lagi apa, Nduk? Aku ganggu ndak?"

"Habis lalaran juz 27 sama Tasya. Ndak ganggu kok, aku lagi santai." Kunir memasang headset di telinga, kemudian merebahkan tubuh di atas kasur.

"Lancar lalarannya?"

"Alhamdulillah. Ada salah-salah sedikit sih, hehe."

Ndakpapa, manusiawi itu. Yang penting tiap hari jangan males lalaran. Eman kalau sampek hilang hafalannya," nasihat Khalid.

"Iya, Kang. "

"Tak tes, ya,” tantang Khalid. Ia kemudian membaca sebuah ayat Al-Qur’an dengan tartil, ‘bismillahirrahmanirrahim, 'indahaa jannatul ma'waa.

Kunir menarik napas pelan, kemudian melanjutkan bacaan Khalid, "Idz yaghsyas shidrota maa yaghsyaa. Maa zaaghol bashoru wa maa thaghaa. Laqod....

Cukup, Nduk. Surat apa itu?” Khalid menyela bacaan Kunir dengan pertanyaan.

“An-Najm ayat 15-18, Kang,” jawab Kunir.

Iya, bener. Mau gantian ndak?” tawar Khalid.

“Mau dong,” sahut Kunir antusias, kemudian segera melantunkan sebuah ayat, “lahuu mulkussamaawati wal ardh, yuhyii wa yumiit, wa huawa ‘alaa kulli syai’in qadiir.

Huwal awaalu wal akhiru wa dzohiru wa bathin, wa huwa bikulli syai’in ‘aliim. Surat Al-Hadid ayat 2-3,” sambung Khalid.

“Mantap. Sampeyan emang top!” puji Kunir.

"Halah, sampeyan juga sama," kekeh Khalid, "Eh, tempat e sampeyan sama Depok deket yo, Nduk? Terus berangkat ke tempat lombanya kapan?"

"Jauh aslinya, Kang. Tapi kalau dibandingin Susukan-Depok ya deketan tempatku," Kunir tertawa sejenak, "kata pihak kampus sih berangkat sore sebelum hari pembukaan acara. Sampeyan sama rombongan pesantren berangkat kapan?"

"Sehari sebelum acara juga insyaa Allah, tapi ya paginya."

"Yang dampingin para santri siapa, Kang?"

"Ning Kana sama Mbak Risa. Soalnya yang diberangkatin kan santri putri, jadi pendampingnya ya perempuan semua."

"Wah, seneng sampeyan sepanjang jalan didampingi cewek-cewek," goda Kunir. Ada perasaan cemburu yang tiba-tiba muncul di dadanya. Namun, ia sadar bukan siapa-siapa, jadilah ia mengalihkan rasa dengan sebuah canda.

"Aku ngajak Yusuf, Nduk, tak suruh gantian nyetir kalau capek. Jadi ya ndak sama perempuan semua. Aku ya merinding kalo di kelilingi empat perempuan. Kamu ndak usah cemburu gitu," kekeh Khalid.

"Ih pede, siapa juga yang cemburu," sahut Kunir cuek, padahal ia tengah mengembuskan napas lega. Khalid tertawa.

"Nduk," panggilnya.

"Iya, Kang?" balas Kunir.

"Besok pas di Depok ketemu, ya," ajak Khalid pelan.

"Enaknya ketemu apa ndak yo, Kang?" goda Kunir.

"Ya ketemu, udah 2,5 tahun kita ndak ketemu loh, Nduk. Sampeyan apa ndak kangen sama aku?" Khalid balik menggoda.

"Halah, kangen itu makanan apa to, Kang?" kekeh Kunir. Ia bercanda untuk mengalihkan obrolan tentang kata 'kangen'. Ia memang memiliki rasa pada Khalid. Namun, entah mengapa ia selalu merasa tak siap setiap lelaki itu mulai membahas hal-hal yang menjurus pada perasaan.

Khalid tertawa menanggapi candaan Kunir, "Itu loh, kubis dicampur wortel, dikasih tepung, terus digoreng."

"Bakwan dong itu," sahut Kunir sembari ikut tertawa.

"Hahaha, wis wis, karepmu. Sana sampeyan lanjut kegiatan. Pokoknya ketemu beneran loh ya, Nduk," ucap Khalid memastikan.

"Iya insyaa Allah, Kang."

"Jangan insyaa Allah-insyaa Allah aja, diniati beneran biar jadi ketemu."

Kunir tertawa, entah mengapa ia senang mendengar nada paksaan Khalid, "Iya, Kang, iya. Tak niati dari hati yang paling dalam. Semoga Allah meridhoi."

"Nah, gitu dong. Wis ya, tak matikan telponnya. Sampeyan semangat kuliahnya. Assalamualaikum."

"Iya, sampeyan juga. Waalaikumsalam."

Kunir tersenyum sembari mengakhiri panggilan. Mendadak, ia ingin agar waktu lomba dipercepat dan ia segera bertemu dengan sang pujaan, sebab mereka telah tak saling sua sekitar 2,5 tahunan.

****

Selamat membaca dengan penuh cintaaa...

Btw, Naya ngetik ini di dalem mobil loh, hehe. Jadi, tadi ditulis di Sidoarjo, terus baru dapet dikit berhenti, keburu pulang. Terus kulanjut lagi nulis dari Lamongan sampek sekarang di Rembang. Fyi, ini first time Naya ngetik di perjalanan. Merangkai kata sambil lihat pemandangan jalan, dan menikmati goncangan-goncangan mobil yang gak karuan. Mantappp pokoknya, haha.

Jangan lupa,
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💛.

Rembang, 07 Maret 2021
Disunting di Semarang, 19 Maret 2021


Naya Zayyin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro