Syukur Menghapus Kufur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Is, aku deg-degan banget." Kunir menggenggam erat tangan Isna.

"Sama, Nir. Tangan gue udah dingin banget, nih," sahut Isna.

"Bismillah diberi yang terbaik ya, Is." Kunir masih belum melepaskan genggamannya.

Isna mengangguk, "Amiinn."

Hari ini adalah hari penutupan seluruh rangkaian acara lomba MTQ, sekaligus pengumuman juara. Seluruh peserta baik yang telah gugur di babak pertama dan babak penyisihan, maupun yang masih maju di babak final diwajibkan untuk mengikutinya.

"Baik, tibalah di saat yang kita tunggu-tunggu, yaitu pengumuman juara lomba. Kami mohon bagi nama-nama yang disebut, bisa naik ke atas panggung. Langsung saja, cabang lomba pertama... "

Isna semakin mengeratkan genggaman begitu MC mulai membacakan nama-nama para juara. MTQ tingkat nasional kali ini memiliki beberapa cabang lomba. Yang pertama tentu saja MTQ atau Musabaqoh Tilawatil Qur'an, kemudian MHQ atau Musabaqoh Hifdzil Qur'an, MFQ atau Musabaqoh Fahmil Qur'an, musabaqoh karya tulis ilmiyah kandungan ayat Al-Qur'an, dan lomba debat ilmiyah tentang kandungan ayat Al-Qur'an dalam bahasa Arab dan Inggris.

Setiap provinsi memberangkatkan 10 delegasi pada masing-masing lomba. Kunir dan Isna masuk dalam kontingen DKI Jakarta, mewakili cabang lomba MTQ dan MHQ putri kategori 30 juz. Sebenarnya dipilih sebagai perwakilan delegasi saja sudah cukup membanggakan. Namun, pulang dengan membawa juara tentulah harapan seluruh peserta.

"Juara tiga cabang lomba MTQ putra, Irfan Ramadhan kontingen Jawa Tengah. Juara tiga cabang lomba MTQ putri, Nuriyatul Isnaini kontingen DKI Jakarta."

"Ya Allah, gue masuk tiga besar, Nir. Gak nyangka," pekik Isna dengan mata berkaca-kaca.

Kunir seketika memeluk temannya, "Selamat, Is, barakallah. Aku bangga ih. Belum apa-apa nama kamu udah disebut."

"Selamat Isna, sana maju." Doktor Zulfa menatap Isna bangga.

"Saya ke panggung dulu, Bu, Nir," pamit Isna.

Kunir dan Doktor Zulfa serempak mengangguk.

MC terus membacakan para juara dari berbagai cabang lomba dan kategori. Kunir masih mendengarkannya dengan khidmat. Namun, begitu sang MC sampai di pembacaan pemenang cabang lomba MHQ kategori 30 juz, jantungnya seketika berdegup kencang.

"Juara tiga cabang lomba MHQ putra kategori 30 juz, Hamdan Yuwafi kontingen Kalimantan Timur. Juara tiga cabang lomba MHQ putri kategori 30 juz, Khalila Bahiya kontingen Jawa Timur."

Kunir mengembuskan napas lega sekaligus khawatir. Namanya tak ada di sana.

"Juara dua cabang lomba MHQ putra kategori 30 juz, Ahmad Muwafiq kontingen Jawa Barat. Juara dua cabang lomba MHQ putri kategori 30 juz, Kuni Raghiba Shafiyyah kontingen DKI Jakarta."

Kunir mematung. Seperti ada sesuatu yang mencelus dari dadanya. Telinganya mendadak tuli pada hiruk-pikuk acara. Ia seketika terserap dalam dunianya sendiri.

"Kunir, masyaa Allah. Kamu juara dua, selamat." Doktor Zulfa memeluk kunir dengan bangga. Namun, gadis itu tak berreaksi apa pun.

"Nir," panggil Doktor Zulfa sembari mengguncang tubuh Kunir, "halooo."

Kunir terperanjat, "Eh iya, Bu."

"Sana naik ke panggung. Kamu hebat. Barakallah." Doktor Zulfa mengusap lembut lengan Kunir.

"Ah iya, terima kasih, Bu." Kunir memamerkan senyum terpaksa, kemudian berjalan menuju panggung.

Di atas panggung, Isna menyalaminya dan mengucapkan selamat dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu terharu sebab perwakilan dari kampusnya sama-sama pulang membawa juara. Kunir lagi-lagi memamerkan senyum terpaksa.

Selanjutnya, prosesi pembagian hadiah dan penutupan acara berlangsung begitu saja. Kunir sama sekali tak menikmatinya. Orang-orang menatapnya bangga, namun ia terlihat biasa. Hatinya sedang tak baik-baik saja.

*****

"Hape lo berisik banget dari tadi, Nir," tegur Isna.

Kunir yang tengah menatap ke luar jendela mobil menoleh, "Notif chat itu, biarin aja. Lagi males buka hape. Pusing kalau di mobil hapean, Is."

Sebenarnya bukan itu alasannya. Kunir enggan membuka ponsel sebab ia tahu jika pasti itu chat dari teman-temannya yang mengucapkan selamat. Ia sedang tak ingin menerima ucapan selamat dari siapa pun. Ia sedang tak ingin memamerkan senyum terpaksa untuk banyak orang. Ia hanya ingin segera sampai di Jakarta, merebahkan tubuh di ranjang, dan menangis sepuasnya. Ia bahkan berharap jika Tasya tengah tak ada di kost, agar air matanya tak terlihat oleh siapa pun.

"Tidur aja kalau pusing, Nir," saran Doktor Zulfa.

Kunir tersenyum, kemudian mengangguk. Ia memejamkan mata, berusaha untuk tidur agak pikirannya tak sibuk berkeliaran ke mana-mana.

Sepertinya baru beberapa menit terlelap, Kunir merasa tubuhnya digoyang-goyangkan.

"Bangun, Nir, udah sampek."

Kunir mengerjapkan mata. Ternyata Isna yang membangunkannya. Mobil mereka telah berada di pelataran kampus. Kunir mengucek matanya sebentar, kemudian membuka pintu mobil. Isna dan Doktor Zulfa telah mengambil barang di bagasi mobil. Kunir segera menyusul, menurunkan barang-barangnya.

"Nir,"

Kunir menoleh, pakdhenya berdiri dengan senyum terkembang di pintu masuk kampus.

"Loh, Pakdhe? Jemput aku?" tanya Kunir kaget.

Thoha mengangguk, "Iya dong. Mana barang-barang kamu?"

"Ini, Pakdhe, sama yang itu tasnya." Kunir menunjuk ranselnya yang tertutup barang Isna.

Thoha segera menurunkan barang-barang milik keponakannya, dan memindahkan ke bagasi mobilnya.

"Saya duluan ya, Bu, Is." Kunir menatap Doktor Zulfa dan Isna bergantian.

"Oh, mau langsung aja? Ya udah, hati-hati ya, Nir. Sekali lagi selamat," sahut Doktor Zulfa.

"Iya, ati-ati di jalan lo, Nir," sambung Isna.

Kunir hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian segera berjalan menuju mobil pakdhenya.

"Ini pialanya kamu pegang aja, ya. Kalau ditaruh di bagasi takut jatuh terus rusak." Thoha menyodorkan piala pada Kunir.

Kunir menggeleng, "Biar di bagasi aja ndakpapa, Pakdhe. Rusak ya udah, biarin."

Thoha mengernyitkan dahi, "Loh kenapa? Jangan gitu dong."

"Aku masuk ke mobil dulu ya, Pakdhe." Kunir mengalihkan pembicaraan dengan pamit ke dalam mobil.

Thoha menggeleng pelan, kemudian meletakkan piala ke bagasi dengan hati-hati. Ia segera menyusul Kunir ke dalam mobil.

"Semua orang bangga sama kamu. Semua orang mengucapkan selamat, mengucapkan barakallah. Semoga Allah memberi berkah. Mereka mendoakan kamu. Kamu harusnya senang dan mengaminkan, bukan malah menampilkan wajah murung kayak gini," ucap Thoha lembut.

Kunir yang sejak masih di Depok telah menahan air mata, menangkupkan tangan ke wajah. Seketika, tangisnya pecah. Ia tergugu hebat di dalam mobil.

Thoha mengusap lembut kepala keponakannya. Ia tak berbicara apa-apa, cukup membiarkan Kunir menuntaskan dukanya.

"Hiks, aku ndak ... berhasil ... bawa piala ... juara satu, Pakdhe, hiks." Kunir terbata-bata mencurahkan isi hati.

"Bapak ... pasti kecewa ... sama aku. Bapak pasti semakin ... meremehkan aku, Pakdhe."

Kunir mengusap air matanya, "Besok-besok, pasti Bapak ... ndak ngijinin aku ... buat ikut lomba lagi. Bapak pasti bilang ... kalau aku ... malu-maluin."

"Aku bersyukur bisa dapet juara dua, tapi itu sama aja kayak aku ndak menang. Sama aja kayak aku ndak dapet juara, Pakdhe. Apa aku harus bohong ke Bapak, bilang kalau aku juara satu. Bapak udah lihat tayangan di youtube apa belum ya, Pakdhe?"

Thoha menarik tangan Kunir yang menutupi wajah, kemudian menatap keponakannya itu dengan senyum menenangkan. "Kamu sudah hebat. Semua orang bangga dan pengen ada di posisi kamu. Disyukuri dulu apa yang ada. Ingat janji Allah, Nir. La in syakartum la azidannakum. Kalau kamu bersyukur, Allah akan menambah nikmat-Nya. Sabar yang subur akan menumbuhkan syukur sampai kamu gak sempat mengenal kufur."

"Nah, sekarang coba kamu bacakan surah Al-Baqarah ayat 216," lanjutnya.

Kunir mengangguk, kemudian membacakan surah yang diminta Thoha dengan terbata-bata. Isaknya masih tersisa.

"Bagus, sekarang coba diartikan," pinta Thoha lagi.

"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui," ucap Kunir.

"Nah kan, semua hal yang ada di bumi ini sudah ditentukan dengan sebaik-baiknya sama Allah. Pasti ada hikmahnya, Nir, pasti! Percaya sama Pakdhe." Thoha kembali mengusap kepala Kunir, "udah dihapus itu air matanya. Wis gedhe kok nangisan."

Kunir tersenyum masam, kemudian menghapus air matanya.

"Nanti kalau Bapak telpon aku harus bilang apa, Pakdhe?"

"Ya bilang sejujurnya. Kalau perlu sekalian kirimin link youtube acara penutupan tadi. Biar bapak sama bunemu lihat, betapa membanggakannya kamu, bisa mengalahkan ratusan peserta lomba. Bapakmu itu sayang sama kamu, bangga. Cuma ditutup-tutupi aja. Biar kamu gak lalai, gak gampang puas, dan terus berjuang menjadi yang lebih baik," hibur Thoha.

"Pakdhe ndak usah baik-baikin adeknya gitu. Ndak mempan ke aku. Aku tuh udah paham Bapak gimana orangnya," cibir Kunir.

Thoha tertawa, "Kamu hidup sama bapakmu baru dapat berapa tahun? Lebih lama Pakdhe, loh."

"Iya deh iya, aku kalah sama yang lebih tua," kekeh Kunir sembari mengusap air matanya yang tiba-tiba kembali menetes.

"Kamu ngatain Pakdhe tua?" Thoha menatap keponakannya dengan wajah garang yang dibuat-buat.

"La kalau masih muda ya jadi temen kuliahku, Pakdhe." Kunir tertawa, "udah wajahnya ndak usah digalak-galakin gitu, ndak pantes. Yang pantes punya wajah galak cuma Bapak."

"Nah gitu, ketawa. Abis menang lomba kok cemberut. Nanti dikira temen-temen hadiahnya masih ditahan sama panitia," goda Thoha.

Kunir kembali tertawa. Ia bersyukur memiliki Pakdhe Thoha. Lelaki yang cerdas, karismatik, berwajah teduh, dan selalu menenangkan. Entah apa yang membuat pakdhe dan bapaknya begitu berbeda, padahal mereka terlahir dari rahim yang sama. Terkadang, Kunir berkhayal, mengapa ia tak menjadi anak pakdhenya saja?

*****

Aslinya udah pengen update sejak beberapa hari yang lalu. Qadarullah, dua hari agak gak enak body. Kalian baik-baik, ya. Jaga kesehatan.

Selamat membaca dengan penuh cinta. Jangan lupa, tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar, ya.

Semarang, 05 April 2021

Naya Zayyin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro