15 | C H O I C E

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

MENJELANG jam makan siang, La Fadz dipenuhi oleh orang-orang yang tak sabar untuk dilayani. Meja-meja yang bertebaran di sebuah ruangan yang luas itu tampak penuh semua. Bahkan ada yang memaksa membawa makanan ke ruang perpustakaan, yang tentu saja dilarang oleh petugas.

Melihat hal itu, Ilyas yang sedari tadi bersender di pojok ruangan bersama Gaza yang sedang sibuk membaca buku, tersenyum senang. Dari sini ia bisa memantau seluruh kegiatan karyawan dan pelanggannya dengan jelas.

"Kayaknya kita emang udah saatnya buka cabang deh, Gaz. Lihat nggak sih La Fadz sebegini sempitnya kalau lagi rame begini?"

Gaza mengangkat kepala sekilas. Ia tersenyum. "Iya sih. Udah saatnya La Fadz melebarkan sayapnya."

"Aku yakin banyak investor yang akan tertarik. Apalagi laporan keuangan kita tertata begitu rapi. Sama kayak yang dulu kita lakukan, kita pasti dapet investor yang bagus."

Gaza mengangguk. Ia ingat rumus berbinis bagi orang yang tak punya banyak modal seperti dia dan Ilyas, buat laporan keuangan yang bagus dengan konsep bisnis yang unik. Dijamin, pasti ada investor yang akan tertarik. Hal itulah yang selama ini diterapkan oleh mereka berdua dalam mengelola dan mengembangkan La Fadz cafe & library. Gaza memang sejak dulu berbakat dalam bisnis. Tak heran jika ia pernah memperoleh beasiswa dan predikat cumlaud dikantonginya saat wisuda.

Merintis bisnis dengan Ilyas dari nol merupakan hal yang menyenangkan baginya. Ia juga tidak menyangka kalau La Fadz yang dulunya hanyalah sebuah kontrakan kecil yang berisi buku-buku akan sedemikian maju dengan konsep semi kafe seperti sekarang ini. Ide Ilyas memang tidak diragukan lagi. Otak kreatifnya yang sebenarnya memang sudah terlihat sejak dulu. Sejak ia di pesantren. Sayangnya, laki-laki itu justru merasa terkurung dan terjebak. Sehingga mudah untuk berontak dan memilih menyerah dengan studinya. Namun, Gaza masih bersyukur. Meski Ilyas begitu anti dan menghindar dari pendidikan pesantren, setidaknya ia tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak-tidak. Gaza sudah cukup ngeri membayangkan orang-orang di dekatnya terjebak hal-hal semacam itu.

"Kalau gitu, nanti aku dan Raja aja yang survei lokasi yang cocok untuk cabang La Fadz yang baru," tukas Ilyas, memutus lamunan Gaza.

Gaza buru-buru mengangguk. Matanya ia edarkan sekali lagi ke seluruh ruangan.Membenarkan ide Ilyas untuk membuka cabang La Fadz mengingat pengunjung dan member resminya juga sudah beberapa kali request kepadanya agar La Fadz membuka cabang baru.

"Oh iya, Gaz. Tadi Papamu ke sini."

"Oh ya? Kok tumben Papa nggak nelpon dulu?"

Ilyas mengedikkan bahu. "Aku nggak tahu. Tadi sih aku minta untuk nungguin kamu. Tapi udah ditunggu satu jam lebih kamu nggak dateng."

"Kok antum nggak nelpon aku, Yas?"

"Coba deh lihat ponselmu. Hidup apa enggak? Udah puluhan kali aku nelpon."

Gaza buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia mengembuskan napas kasar saat mengetahui bahwa ponselnya memang mati total.

"Innalillah... sorry, aku kelupaan ngecharger pas kuliah tadi."

Ilyas menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengambil secangkir kopi. Lalu duduk kembali pada kursi tinggi depan meja bar yang berada di samping Gaza.

"Kamu sih cuek banget sama ponselmu. Nggak tahu apa itu benda udah kayak istri kedua. Harus selalu dirawat dan disentuh."

Gaza tertawa. Perumpamaan Ilyas terlalu fulgar.

"Papa bilang sesuatu?"

"Hm, enggak. Om Yusuf cuma bilang kalau kamu harus segera pulang. Sepertinya ada hal penting yang doi pingin bilang ke kamu, Gaz. Nggak biasanya kan Om Yusuf sampai ke sini cuma buat ketemu sama kamu?"

Gaza mengangguk kecil. Ia jadi penasaran dengan apa yang ingin Papanya sampaikan. Benar kata Ilyas. Papa bisa dikatakan tidak pernah ke La Fadz hanya karena untuk bertemu dengan Gaza. Biasanya, sepenting apapun, Papa selalu minta Gaza untuk ke kantornya. Atau mereka akan janjian di tempat lain. Itu pun biasanya saat Gaza sudah menyelesaikan segala kegiatannya. Kalau Papa sampai ke La Fadz dan menyuruh Gaza pulang, ini pasti kepentingan yang genting.

Tanpa berpikir lebih lama lagi, Gaza mengambil jaket jeans-nya. Pamit kepada Ilyas dan melajukan mobilnya ke rumah.

☕☕☕


Vespa tosca milik Ghazi sudah terparkir di halaman rumah ketika Gaza keluar dari mobil SUV-nya. Ia buru-buru ke dalam, karena cukup terkejut dengan keadaan ini. Ghazi ada di rumah? Itu artinya, kedatangan Papa ke La Fadz memang benar-benar penting. Karena artinya, selain ingin bertemu dengannya, Papa juga meminta Ghazi untuk bertemu. Ini pertama kalinya ada pertemuan keluarga.

Mendadak, Gaza menyesal karena sedari tadi tidak mengecek ponselnya.

"Akhirnya kamu datang," teriak Papa begitu melihat Gaza yang datang dengan berlari kecil. Senyum Papa begitu sumringah. Menandakan bahwa berita yang akan disampaikan Papa bukan sesuatu yang buruk. Setidaknya, Gaza berharap begitu.

Di seberang sofa tempat Papa berdiri, Ghazi menenggelamkan kepalanya. Rambut gondrong yang diikat acak itu tampak sedikit menutup wajahnya. Ia sedang fokus bermain games. Seperti biasa. Gaza tersenyum, bersyukur setidaknya Ghazi mau satu ruangan dengan Papa tanpa melakukan protes berlebihan.

"Papa tadi ke La Fadz?"

Papa mengangguk.

"Maafkan Gaza, ya? Ponsel Gaza mati jadi nggak tahu kalau Papa mau ketemu sampai datang ke kafe segala."

Papa tersenyum, menepuk pundak tegak Gaza. Senyuman di wajah senjanya itu tampak begitu hangat. Meski gurat kelelahan terlihat jelas, Gaza begitu lega karena Papa tampak sangat sehat hari ini.

"Nggak apa-apa. Ayo duduk di samping adikmu. Dia sudah menunggu lama."

Gaza mengangguk. Ia segera menuruti permintaan Papa.

"Halo, sersan Ghazi? Apa kabar?" Gaza tersenyum lebar sembari mengangkat tangan kanannya seperti sedang hormat. Dulu, Ghazi senang sekali dipanggil sersan. Ia suka dengan segala hal tentang militer. Dulu setiap kali Gaza pulang dari liburan pesantren, Ghazi akan semangat sekali bercerita tentang militer kepada Gaza. Ia bahkan meminta Ghazi untuk memanggilnya sersan. Karena panggilan itu terdengar sangat keren bagi Ghazi. Tapi setelah kuliah, Ghazi mengejutkannya karena lebih memilih Fakultas Sastra.

Mendengar panggilan itu, Ghazi memutar bola matanya ke arah Gaza. Ekspresinya datar, nyaris dingin. Tetapi, hanya beberapa detik. Detik kemudian, Ghazi kembali sibuk dengan layar ponselnya. Membuat senyum Gaza memudar seketika.

"Papa mau bilang sesuatu yang penting." Papa membuka percakapan ketika Gaza sudah mulai fokus dan memilih biasa saja dengan sikap adiknya yang kurang bersahabat.

"Ini ada kaitannya dengan keinginan Papa yang sepertinya sudah pernah Papa sampaikan kepada kalian beberapa minggu lalu," kata Papa menjeda, tersenyum mengamati kedua anaknya yang duduk di hadapannya. Dalam hati, ada rasa bangga kepada pertumbuhan kedua putranya yang terasa begitu cepat. Ia sadar bahwa keharmonisan dan canda tawa pada keluarganya sudah menguap semenjak mendiang istrinya pergi. Sejak kejadian 14 tahun lalu.

Tetapi, setidaknya hal itu tidak membuat keluarganya bercerai berai. Ia masih bisa melihat kedua putranya tumbuh dengan baik. Dengan kemampuan dan kelebihannya masing-masing. Sejatinya, ia tidak pernah menyama-nyamakan kedua puteranya. Ia berharap putranya hidup dengan apa yang diinginkannya. Meskipun dalam hal tertentu, ia sudah turut ikut campur. Bagaimana pun, begitulah naluri seorang orangtua. Ia hanya ingin memastikan bahwa anak-anaknya hidup dengan baik.

"Sekitar lima minggu lalu, Papa bertemu dengan sahabat Papa. Beliau merupakan Kakak tingkat ummi kalian sewaktu kuliah dulu. Beliau memiliki seorang puteri yang insya Allah shalihah. Papa berharap salah satu dari kalian mau mengenalnya. Papa sudah menyampaikan lamaran untuk salah satu dari kalian."

Gaza ingin bertanya sesuatu, tetapi ia urungkan. Ia masih ingin menunggu perkataan Papanya berlanjut. Meski pertanyaan-pertanyaan di kepalanya terus-terusan meminta untuk dikeluarkan. Termasuk terkait kenapa Papa seburu-buru ini mengambil langkah untuk melamarkan seseorang?

Namun, Papa justru diam untuk beberapa menit. Membuat Gaza semakin penasaran.

"Saya rasa pembicaraan ini bukan untuk saya. Iya, kan?" tukas Ghazi, memecah keheningan.

"Pa, kenapa nggak ganti redaksinya dengan... anak-anak, Papa akan menikahkan Gaza dengan seseorang. Papa sudah melamarkannya untuk Gaza," kata Ghazi. "Selesai, kan? Saya pasti setuju. Tenang aja. Saya nggak sepenting itu untuk diajak diskusi beginian."

"Ghaz!"

Ghazi menatap kakaknya--Gaza yang tampak keberatan dengan perkataan Ghazi.

Tetapi, Papa justru tersenyum. Ia sudah terbiasa dengan sikap Ghazi yang kurang menghormatinya. Sangat bertolak belakang dengan Gaza yang sopan.

"Tidak. Mulai sekarang Papa tidak lagi menggunakan redaksi itu, Ghazi. Kamu juga punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan gadis shalihah seperti ummi," tukasnya. "Jadi Papa pikir tidak ada salahnya jika kalian berdua Papa ajak untuk berdiskusi. Papa pikir, Papa berhak mendengar siapa dari diri kalian yang mau menikah terlebih dahulu. Dan, jangan khawatir. Papa juga memberi kesempatan untuk kalian yang ingin mengambil tawaran dari Papa ini untuk saling mengenal terlebih dahulu dengan gadis yang Papa pilihkan."

"Yang pasti Ghazi tidak setuju. Ini bukan zaman dulu. Saya rasa, saya berhak menentukan kapan dan dengan siapa saya akan menikah."

"Tapi, Ghaz..."

"Pa, nggak semua kehidupan anak harus berada di bawah aturan orangtua. Bisa nggak Papa rubah kebiasaan buruk itu?"

"Ghaz!"

"GAZA! Bisa nggak sih lo juga jadi orang yang nggak terlalu lurus begini? Ini bukan zaman Siti Nurbaya. Bukan sinetron! Stop jadi pecundangnya Papa."

"GHAZI CUKUP!" bentak Gaza. Ia paling tidak suka kalau Ghazi sudah berontak dan bersikap tidak sopan dengan Papa. Ia tahu seberapa besar kekecewaannya kepadanya dan Papa, tapi bukan sikap seperti ini yang Gaza harapkan. "Tolong berhenti membenci kami hanya karena masa lalu kita yang kurang baik."

Ghazi terdiam. Papa yang melihat kedua anaknya beradu mulut hanya bisa memberontak dalam hati. Di hatinya terdalam, ada rasa sakit yang terus-terusan menyerangnya. Ia... tidak pernah mengharapkan keluarganya jadi seperti ini.

"Oke!" Ghazi berdiri. Ia menatap kedua keluarganya. "Putuskan semua sendirian. Tan-pa Gha-zi!" katanya. "Ghazi udah nggak peduli lagi."

Ia mengambil jaket hoodie yang ada di samping kanannya. "Ghazi pergi. Assalamu'alaikum!"

Papa memejamkan mata. Sementara Gaza menghempaskan tubuhnya pada sofa.

☕☕☕





Seberapa nyebelin Ghazi ini?😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro