17 | FATWA HATI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"MEDINA, kan ya?"

Sebaris pertanyaan itu membuat Medina tersenyum. Ia mengamati foto profil seseorang yang mengiriminya WhatsApp beberapa menit lalu. Terpasang sebuah foto dengan latar belakang panggung cukup mewah. Pada foto itu jelas terlihat bahwa seorang laki-laki tengah memegang mic dengan senyum lebarnya. Jelas-jelas foto itu diambil tanpa sengaja. Tetapi sangat tepat mengambil angle dari objek fotonya.

"Iya. Kak Gaza, ya?" balasnya kemudian. Tapi ngomong-ngomong, darimana Gaza mendapatkan nomornya?

"Yep. Sorry ganggu. Aku mau tanya sesuatu boleh?"

Sejujurnya, Medina sedikit canggung melakukan percakapan online dengan laki-laki. Lebih-lebih itu adalah Gaza. Jarang sekali ia terlibat obrolan pribadi dengan laki-laki.

"Tentang apa ya, Kak?"

"Kemarin aku tanya Dhani tentang anak yatim non panti yang sering diundang oleh LDF untuk acara santunan. Katanya, kamu punya cukup banyak koneksi untuk mengumpulkan beberapa anak yatim. Boleh minta bantuan?"

"Boleh. Gimana, Kak?"

"Kita bisa ketemu? Di La Fadz mungkin? Jam 2 siang ini kalau tidak keberatan?"

Medina berpikir sejenak. Ia menatap jam dinding di depan tempatnya duduk sekarang. Ia baru saja membaca naskah teaternya begitu menerima pesan singkat dari Gaza. Hari ini tidak ada kuliah, jadi sepertinya ia setuju jika harus menemui Gaza di La Fadz. Ia berniat untuk meminjam buku juga.

"Oke. Tapi boleh aku ajak Atik juga?"

"Sip. Ajak aja. Aku tunggu, ya."

☕☕☕

Atik baru saja menerima telepon dari Medina yang ingin mengajaknya ke La Fadz. Saat ini, ia sedang berada di sebuah toko DVD. Kakak perempuannya meminta ia untuk belanja film cartoon dan games anak muslim untuk keponakannya yang masih berusia 4 tahun.

Namun melihat beberapa DVD Korea membuatnya tidak bisa untuk penasaran melihatnya. Awalnya, ia ingin mengabaikannya. Bagaimana pun, sudah satu tahun ini ia berusaha tidak bersentuhan dengan drama Korea favoritnya, atau K-Pop yang menjadikan ia candu dan melupakan segala perbaikan diri.

Tetapi ia terkejut saat seseorang tiba-tiba berdiri di belakang dan memanggil namanya.

"Astaghfirullah! Kamu!" katanya sambil memegangi dadanya. "Kamu mengagetkanku!"

Drew terkekeh dan menangkupkan kedua tangannya meminta maaf. "Sorry. Habis gue lihat lo serius banget sih. Jarang-jarang kan gue lihat seorang ukhti di tempat kayak gini."

Atik mendesis kesal. Tapi sebenarnya lebih ke arah malu. Bagaimana pun, tidak ada orang lain di kampusnya selain Medina dan Rhum yang tahu kalau dia dulunya adalah penggemar fanatik sesuatu yang berhubungan dengan Korea. Tapi sekarang, mungkin Drew akan menertawakannya habis-habisan karena melihat ia berada di deretan DVD Korea dan memergoki ia yang sedang sangat fokus melihat-lihat. Atik agak menyesal dengan pengendalian dirinya yang sedikit kacau begini.

"Hm, sebenarnya... tadi, aku...."

"Apa ini? Love Rain?" tanya Drew, Ia mengambil DVD yang ada di tangan Atik dan mengernyitkan kening begitu melihat lebih detail DVD yang barusan dipegang oleh Atik.

"Drakor yang hits di beberapa tahun lalu, ya?" tukasnya. "Jadi... lo itu?"

"Eh, enggak... enggak. Tadi aku cuma nggak sengaja lihat kok. Ini... aku baru saja beli DVD untuk keponakanku." Atik menunjukan dua DVD yang ia pilih sebelum langkahnya berhenti di rak DVD Korea.

Ia berharap Drew akan percaya pada kebodohannya, tetapi Drew justru tertawa dan nyaris membuat semua pengunjung melihat ke arahnya dengan tatapan aneh.

"Sorry... sorry! Gue nggak bermaksud ngetawain elo. Serius!" katanya, berusaha untuk menghentikan tawanya. Rambut sedikit bergelombangnya ia singkap dengan kedua tangan.

"Gue cuma ngerasa lucu aja. Kenapa lo kayak takut gitu kalau gue tahu lo suka Korea? So what? Semua cewek jaman sekarang suka dengan sesuatu yang berhubungan dengan Korea. Lo ngerti kan maksud gue?" katanya. "Drakor, K-Pop, makanan kayak samyang. Bahkan fashion Indonesia sekarang sudah terkontaminasi dengan Korea. See? Itu wajar. Gue pikir lo nggak perlu malu. Terlepas lo berkerudung panjang kayak sekarang atau enggak."

"Eh?"

Atik kehabisan kata-kata. Ia sudah membuat Drew salah paham.

"Love Rain? Pemain drakor ini membuat gue ngerasa ngaca. Look! Siapa namanya... Jang Geun Suk? Lo ngerasa nggak sih kalau dia itu mirip sama gue?"

Mirip sama gue?

Atik merasa lucu mendengar perkataan Drew. Ia nyaris tertawa terbahak kalau tidak ingat bahwa ia sekarang di tempat umum dan kemungkinan akan menyinggung perasaan Drew. Oleh karena itu, ia memendam tawanya dan memilih membekap mulutnya.

"Lo sendiri? Gimana kalau gue traktir makan Pop Mie di minimarket depan?"

☕☕☕


"Mau ke mana, Mei?"

Medina baru saja keluar dari dapur begitu mendapati Abahnya membuka pintu.

"Abah baru pulang?" tanyanya sembari mencium tangan abah saat laki-laki paruh baya itu mengucap salam dan dijawabnya dengan senyum lebar.

"Mei mau nganter kue pesenannya Bu Mirah yang tinggal di ujung gang. Sekalian mau ketemu temen bareng Atik," tukasnya sembari menunjukan sebuah plastik hitam besar yang ada di tangannya. Ummi adalah seorang penjual kue kering. Meski usahanya hanya rumahan, kue buatan ummi sudah cukup terkenal hingga tak heran beberapa kali ummi sering diminta untuk membuat kue pada acara-acara tertentu.

Medina pikir, ummi akan serius menekuni usaha kue kering hingga membuka toko sendiri. Nyatanya, ummi lebih suka jadi ibu rumah tangga. Membuat kue adalah kerja paruh waktunya. Hal yang sebenarnya disayangkan Medina mengingat umminya punya prospek pembuat kue kering handal.

"Katanya hari ini nggak ada kuliah?" tanya Abah.

"Iya. Medina memang kosong hari ini. Tapi ada temen yang membutuhkan bantuan Medina mengenai yatim non panti. Sepertinya dia berencana untuk membuat acara semacam santunan. Seperti yang dilakukan oleh LDF-nya Medina, bah."

Abah mengangguk-angguk. "Kalau gitu boleh Abah ngobrol sebentar sebelum kamu pergi?"

"Ngobrol tentang apa, bah?"

Medina mengikuti Abah yang berjalan dan duduk di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang banyak hal.  Mau tidak mau ia harus menuruti dan mendengarkan sebentar apa yang ingin Abah katakan. Tidak biasanya Abah menggunakan kalimat ingin ngobrol kepadanya. Biasanya apapun yang ingin Abah ketahui, ia langsung bertanya tanpa meminta waktu terlebih dahulu.

"Gimana kuliah dan organisasimu? Lancar?"

Medina mengernyitkan kening. Tapi ia segera menjawab pertanyaan Abah.

"Alhamdulillah baik, bah. Medina berusaha menjalankan keduanya seimbang mungkin."

Abah tersenyum dan mengangguk. "Alhamdulillah. Abah harap kamu belajar memanajemen waktu dengan baik. Keduanya memang harus seimbang. Jangan jadi aktivis seperti kebanyakan mahasiswa lain. Mengabaikan kuliah demi menjadi aktivis dengan segudang aktivitas yang kurang berfaedah. Kadang, tak sedikit dari mereka yang melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Mengaku muslim tapi semakin tua justru tidak mau mempelajari agamanya. Abah tidak mau kamu jadi seperti mereka."

Medina mengangguk. Ia memang mendapatkan dukungan dari kedua orangtuanya untuk melakukan aktifitasnya sebagai mahasiswa di luar mata kuliah. Mengikuti organisasi mahasiswa atau kegiatan kemasyarakatan lain. Mereka mendukung selama Medina mampu bertanggungjawab terhadap amanah kuliah dan tanggungjawabnya sebagai seorang muslim. Menurut Abah, berorganisasi itu penting sebagai bentuk kontribusi Medina sebagai seorang mahasiswa dan juga untuk mengasah kemampuan komunikasi dan sosialnya. Bagaimana pun, Abah suka kalau anaknya menjadi bagian dari agent of change. Mahasiswa yang melek akan dunia luar.

Menurut Abah, Medina akan belajar banyak dari organisasi. Selain tidak menjadi mahasiswa yang apatis dan bisa bergaul dengan orang lain. Bagi Abah, organisasi mahasiswa penting untuk membentuk kepribadian pemuda yang haus akan pencarian jati diri. Tentu, Abah selalu mengawasi kegiatan yang anak-anaknya lakukan. Bagaimana pun, pada masa menjadi mahasiswa lah, proses pembentukan pemikiran akan luar biasa berkembangnya. Baik pemikiran yang baik maupun yang rusak. Abah paham, karena dulu ia juga seorang aktifis kampus.

Dulu, abangnya Medina juga seorang aktifis. Ia mengikuti berbagai gerakan dan juga aktif di Mapala. Berbeda dengan Medina yang lebih suka organisasi keagamaan dan peduli sosial.

"Ada yang melamarmu pada Abah beberapa minggu lalu," katanya. Kali ini perkataan Abah membuat Medina terkejut.

Melamar? Siapa?

"Sebenarnya sudah ada dua orang yang datang ke rumah."

"Dua orang?" Medina tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Abah dan ummi sama sekali tidak pernah menyinggung ini sebelumnya.

Abah mengangguk.

"Satunya itu teman LDF-mu. Siapa itu... ketuanya. Dha... Dhani, ya?"

Dhani?

"Sayangnya, dia sudah keduluan seseorang. Jadi Abah mengatakan untuk menolaknya sebelum mengatakannya padamu."

"Kok Abah baru bilang sama Mei?"

"Abah berpikir terlalu banyak. Menimbang, apakah kamu sudah siap untuk mendengar ini. Abah lupa, kalau kamu sudah akil baligh. Sangat wajar dan sudah bisa untuk menerima sebuah pinangan. Ah, Abah memang selalu menganggap kamu anak-anak."

Medina terdiam. Ia adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga ini. Tak heran kalau Abah, ummi dan abangnya selalu bersikap dan menganggap bahwa ia masih kecil. Padahal Medina bahkan sudah bisa mengambil keputusan hidupnya dengan baik.

"Pelamar pertama adalah seorang ayah yang mengajukan putranya kepadamu. Abah tidak tahu apakah ini pantas disebut lamaran atau tidak. Tapi, abah percaya pada dia. Dulu waktu kuliah, istrinya adalah adik kelas abah. Salah satu aktifis lembaga dakwah kampus sama sepertimu. Dia juga sempat satu pesantren dengan Abah ketika sekolah dulu. Abah pikir, lamaran teman ayah untuk anaknya itu layak diperhitungkan."

Lagi-lagi Medina terdiam. Ada banyak pertanyaan di kepalanya. Lebih-lebih mengenai apakah ia sudah siap untuk segala yang berurusan tentang pernikahan? Ia bahkan belum lulus kuliah. Masih semester 5. Ada banyak rencana yang disusun di kepalanya. Termasuk rencana untuk melanjutkan studi hingga S3. Ia memang punya semangat yang tinggi tentang studi. Ia bercita-cita untuk menjadi perempuan yang tidak hanya pandai dalam bidang keagamaan. Ia sadar kalau anak-anaknya kelak butuh ibu yang cerdas dalam segala bidang. Maka ia tidak ingin stop hanya di jenjang S1.

Tetapi, apakah menikah justru menghalangi cita-citanya?

Medina tidak ingin menjadi seorang muslimah yang sempit pemikirannya. Baginya, tidak ada karir terbaik bagi seorang muslimah kecuali menjadi seorang ibu rumah tangga. Tetapi, ia ingin membuktikan bahwa pemikiran orang liberal dan sekular mengenai Islam adalah salah. Bahwa bagaimana pun, karir dan kontribusi seorang muslimah dalam bidang apapun patut diperhitungkan. Bahwa, menjadi muslimah yang punya karir dan pendidikan tinggi juga perlu.

"Tapi, apa Medina sudah siap menjalani kehidupan rumah tangga, bah?" tanyanya. Lebih kepada diri sendiri. "Medina belum berpikir sejauh itu."

Abah tersenyum. Ia bisa memahami apa yang dirasakan Medina.

"Tidak apa-apa. Kadang, kamu harus melalui sesuatu dulu agar kamu mau belajar."

Medina diam. Ia berusaha mencerna perkataan Abanya dan kembali berpikir. Iya, dengan adanya kabar ini setidaknya jadi alarm untuk Medina agar ia lebih serius lagi menghadapi masa depannya. Semua orang pasti akan dan ingin menikah. Dan Medina harusnya memikirkan ini sejak lama.

"Abah tidak akan memaksamu untuk menikah, Mei. Kamu bisa saja langsung menolak karena masih ingin melanjutkan studi. Itu sah-sah saja. Abah sepenuhnya membebaskan pilihan. Asal semua itu bisa kamu pertanggungjawabkan," katanya. Kali ini Medina kembali terdiam.

"Coba, tanyakan kepada hatimu sekali lagi, Medina. Kamu sudah dewasa. Sudah mampu menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Abah tahu kalau kamu perempuan yang punya cita-cita tinggi. Kabar ini mungkin membuatmu merasa bahwa pernikahan akan menghambat mimpi-mimpimu. Tapi ingat, kamu seorang muslimah. Setidaknya kamu harus menimbang segala sesuatu itu baik menurut syariat.

Minta fatwa pada hatimu. Pikirkan kembali apa tujuan hidupmu. Abah sepakat apapun keputusanmu asal semua bisa dipertanggungjawabkan. Yang paling penting, minta petunjuk Allah. Menikah itu, bukan soal usia. Menikah juga tidak akan menghambat mimpi-mimpimu. Menikah itu syariat. Bagaimana pun, itu sunnah Rasulullah. Bagi perempuan, itu lebih menjaganya. Intinya, Abah tidak akan memaksamu akan sesuatu. Pikirkan dulu baik-baik. Beritahu Abah kalau kamu sudah memutuskan sesuatu. Kalaupun kamu menolaknya, Abah akan mengerti."

Medina mengangguk. Ia kemudian langsung pamit pada Abah untuk pergi.

Kali ini, pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan.

Apa aku sudah siap?

☕☕☕





Happy reading :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro