20 | YANG TERSEMBUNYI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

MEDINA memusatkan perhatiannya kepada sesosok laki-laki berjaket hoodie tak jauh dari tempatnya duduk. Ia mencuri lihat, sembari sesekali membaca lembaran yang dijilid berjudul One in Diversity di tangannya.

Pulang dari La Fadz tadi, grup WhatsApp teater persahabatannya dengan RK ramai. Sudah ada 100an chat saat Atik menyuruhnya untuk segera membuka. Karena malas dan ingin cepat-cepat tahu inti dari obrolan grup, Medina hanya membaca chat yang dikirimkan oleh Ghazi.

Ghazi from RK: latihan jam 16.30 tepat! Gue tunggu di aula. Buru!

Medina menghela napas, memandangi Atik sebelum memutuskan untuk mengiyakan himbauan dari Ghazi.

Menemui dua bersaudara Ghazi dan Gaza dalam satu hari ini membuat pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan.

Kenapa Ghazi dan Gaza sangat kontradiksi? Sama sekali tidak memiliki kemiripan keculi gurat wajah mereka yang nyaris sama?

Kenapa, Ghazi maupun Gaza tidak pernah menyebut nama masing-masing--maksud Medina, ia sudah beberapa kali berinteraksi dengan mereka. Harusnya mereka akan paham kalau Medina mengenal keduanya. Setidaknya, kenapa mereka bahkan tidak pernah bertanya tentang, "kenal Ghazi, kan?" atau "Lo kenal Kak Gaza, kan?"

Ini aneh.

Atau, memang begitulah persaudaraan antara dua laki-laki, tidak perlu berbasa-basi ria menanyakan hal-hal tentang kamu-kenal-enggak seperti persaudaraan atau persahabatan perempuan?

Ya, mungkin saja. Medina sebenarnya tidak suka ikut campur. Tetapi, ia sudah terlanjur kepo. Hal yang wajar sekaligus sulit bagi Medina.

Medina buru-buru menundukan kepala begitu matanya bertemu dengan Ghazi. Laki-laki itu sedang ngobrol dengan seorang pria paruh baya dan seorang gadis belia yang jelas-jelas bukan orang Indonesia. Namun uniknya, pria itu justru terlihat seperti seniman Indonesia yang sangat mencintai seni. Hal itu bisa dilihat dari penampilannya. Rambut gondrong dengan blangkon dan baju batik yang dibarengi oleh celana hitam longgar sepertiga kaki.

Berbeda dengan si pria bule, gadis di samping Ghazi yang sesekali terlihat tertawa itu justru berpakaian seperti remaja pada umumnya. Penampilan stylist dan juga lesung pipit yang manis. Medina tidak tahu kalau Ghazi bisa bersikap manis kepada orang lain. Bahkan tidak pernah memasang tampang jutek saat gadis itu mencubit pinggangnya atau menyenggol tubuhnya karena menggodanya. Medina pikir, Ghazi tipe orang yang kaku dan bossy. Sama sekali tidak punya selera humor apalagi punya tampang manis seperti itu. Tetapi, Medina salah. Buktinya, ia bisa tersenyum amat lebar, membuat beberapa anak rambutnya menghalangi wajah manisnya.

Sekali lagi, Ghazi tidak sengaja menatapnya. Membuat Medina buru-buru mengalihkan perhatiannya ke sembarang tempat. Ia tidak tahu kalau saat ini, kening Ghazi mengernyit menatap sikap Medina yang aneh.

Setelah percakapannya dengan pria bule dan gadis remaja itu selesai. Ghazi langsung mengumpulkan perhatian seluruh orang yang ada di aula sembari menepuk dengan keras kedua tangannya. "Well, guys. Bisa kasih gue perhatian. Please, look at me!" seru Ghazi dengan nada perintahnya yang khas.

Semua orang menoleh ke arahnya dan tidak menunggu perintah kedua untuk mendekat. Karena melihat semua mendekat ke arah Ghazi, mau tak mau anggota LDF dan juga Medina ikut mendekat.

"Silakan duduk," katanya. "Kalian pasti udah kenal siapa yang ada di samping gue. Ya, kecuali yang belum kenal. Well, gue bakalan kenalin sebentar lagi. Yang mau gue tekankan adalah alasan kenapa gue ngotot ngajak kalian buat latihan sore ini juga. Selain karena kita nggak punya waktu banyak untuk main-main--karena waktu OSPEK nggak akan lama lagi, gue juga baru dapet jadwal yang cocok buat mendatangkan senior gue ini."

Pria bule itu tertawa, menepuk pundak Ghazi seolah merasa lucu Ghazi memanggilnya senior.

"Ya, beliau ini Jude Himawan dan satunya lagi adalah putrinya, Alia Himawan. Mereka berdua adalah malaikat yang banyak membantu gue dalam banyak hal. Beliau sebenernya adalah seorang seniman dan kurator lukisan. Pemilik berbagai galeri seni yang ada di beberapa kota dengan kemampuan yang nggak bisa diragukan lagi. Selain lukisan, bidang konsennya juga di teater. Beliau penggemar teater tradisional. Sering keliling Indonesia buat menikmati dan belajar bagaimana sebuah teater sukses digelar. Nggak heran kalau, ini," Ghazi menepuk pundak gadis bernama Alia itu dengan sangat bersahabat, "Alia, sahabat sekaligus adik gue, menuruni kemampuan Papanya dalam hal teater. Dia bahkan sudah mendirikan komunitas teater anak jalanan yang penggemarnya nggak bisa dihitung jari."

Alia tampak tertawa mendengar pujian Ghazi.

"So, hari ini kita akan melakukan latihan teater secara profesional. Biar teater kita kali ini bukan hanya sekedar hiburan atau karena menggugurkan kewajiban. Kalau kalian mau apa yang kita sampaikan di cerita teater nanti berhasil, setidaknya berlakulah profesional dalam latihan."

Medina tersenyum, sepakat dengan perkataan Ghazi.

"Setidaknya ada tiga tahapan dalam latihan teater yang akan kita lakukan. Pertama, olah vokal untuk melatih bagaimana menciptakan karakter melalui suara. Kedua, olah raga atau olah tubuh. Ini, bukan olah raga kayak yang ada di mata pelajaran SMA. Olah raga yang gue maksud adalah supaya gerakan kita lebih luwes dalam memerankan setiap karakter di dalam teater. Nah ketiga, olah sukma. Olah sukma bertujuan agar kita mampu mengekspresikan emosi dan perasaan kita saat memerankan suatu karakter. Olah sukma bisa dilakukan melalui meditasi atau hal lain yang nanti akan dijelaskan oleh mereka berdua sebagai pemandu latihan kali ini."

Ghazi terlihat menyapu pandangannya dan tersenyum lebar. Berbeda dari Ghazi yang jutek biasanya, Ghazi yang berdiri di depan itu tampak sangat tenang dan mampu menguasai audiens. Tak heran, kalau Ghazi bisa sesukses itu membawa RK di puncak popularitas di antara unit kegiatan mahasiswa lainnya.

Ia punya karakter yang unik, kepemimpinan yang bisa dibilang oke, dan juga koneksi dengan berbagai seniman yang tidak bisa dibilang sedikit. Bagaimana pun, RK punya banyak alasan kenapa mempertahankan Ghazi.

☕☕☕

Latihan kali ini dibagi menjadi dua kelompok. Menurut Alia, lebih bagus diklasifikasikan sesuai peran masing-masing. Mana tokoh yang akan sering terlibat dialog, dan mana yang memegang peran figuran. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan jenis latihan yang dibutuhkan.

Terdapat kurang lebih 9 orang di masing-masing kelompok. Masing-masing dipegang oleh satu pemandu, yaitu Jude dan Alia.

Dua kelompok itu sepakat untuk melakukan latihan di luar ruangan setelah melaksanakan sholat maghrib. Medina tahu, kalau peran LDF sebagai salah satu unit kegiatan rohani di kampus punya peran penting dalam melakukan dakwah di lini kampus, termasuk mengajukan aturan agar apapun dan kapanpun latihan teater dimulai, ketika waktunya sholat, mereka akan break dan melanjutkannya sehabis sholat. Itu adalah salah satu kesepakatan yang mereka buat bersama-sama.

Menurut Dhani, meskipun mereka tidak mau ikut sholat, misalnya. Itu tidak masalah. Tugas mereka hanya mengajak dan sebisa mungkin turut andil dalam pengambilan keputusan.

"Ide ceritanya oke, plotnya juga keren banget sih. By the way, ini siapa yang bikin?"

Alia mengangkat naskah yang dipegangnya dan menatap sembilan orang yang kali ini akan dipandu untuk latihan dengannya.

Di tengah angin sepoi taman kampus yang cukup luas, Alia membawa kelompok yang akan dipandunya merasakan embusan angin malam yang cukup magis.

Di langit, bintang berjutaan sedang bersinar, menambah suasana apik pada malam itu.

Rhum menyenggol lengan Medina, menyuruhnya mengangkat tangan.

"Coba gue lihaaat--eum, Medina Alyasyfa?" tukasnya setelah dengan matanya yang menyipit ia membaca sampul depan naskah teaternya. Sebenarnya ada nama Ghazi juga di sana, tetapi ia lebih tertarik membaca nama Medina begitu ia tahu kalau ada kalimat anggota LDF Sastra di belakang namanya.

Ekor mata Alia menatap Ghazi. Sebenarnya ia sudah puluhan kali mendengar cerita Ghazi tentang betapa menyebalkannya teater persahabatan ini. Tetapi ia tidak menyangka kalau Ghazi akan berubah pikiran secepat ini.

"Kak Medina itu, yang mana?" tanyanya.

Rhum sekali lagi menyenggol lengan Medina, menyuruh gadis itu mengaku. Tetapi belum sempat ia mengaku, Alia lebih dulu menemukannya. Tersenyum dan mengajaknya bersalaman. Dari ekor matanya, ada senyum jahil yang ditunjukan untuk Ghazi.

☕☕☕

Ghazi sering bercerita perihal masalah pribadinya pada Alia. Bisa dibilang, Alia adalah satu-satunya yang mengetahui seluruh rahasia Ghazi. Dari masalah keluarga, masalah kampus sampai masalah betapa ia sebenarnya ingin keluarganya kembali rukun seperti dulu.

Tetapi, setiap kali mencoba untuk berdamai dengan keadaan, ia seperti mengingat luka masa lalunya. Hatinya selalu menolak dan seolah-olah membentuk tembok tinggi untuk menghalangi semua orang yang membuat ingatan buruk itu datang.

Tidak ada yang tahu kalau di balik sikapnya yang dingin terhadap orang lain, bahkan sikap kasarnya pada Papa dan Gaza. Hampir setiap malam ia selalu menangis sendirian di sudut kamarnya. Kadang pada keadaan tertentu, Ghazi bahkan nekat mau melukai dirinya sendiri. Tetapi setiap kali ingin melakukannya, wajah ummi berkelabat di ingatannya. Membuatnya ketakutan dan mengurungkan sikap buruknya.

Alia menatap Medina dari kejauhan. Gadis itu sedang membereskan perlengkapannya. Bersiap pulang karena latihan hari ini sudah selesai.

"Ghaz, mau gue kasih tahu nggak caranya supaya lo bisa memulai percakapan normal dengan Kakak lo?"

Ghazi mengernyitkan kening. Menghentikan kegiatan bersih-bersihnya. "Maksudnya?"

"Lo inget nggak sih kata-kata Mbak Nadia pekan lalu?"

Mbak Nadia adalah seorang psikiater yang Alia rekomendasikan untuk Ghazi agar ia mau berkonsultasi dan mendapat beberepa nasehat tentang masalahnya. Selama dua bulan ini, memang tidak banyak perubahan yang Ghazi alami. Tapi setidaknya, ia jauh lebih bisa mengontrol emosinya. Meskipun tidak banyak.

"Dia bilang lo harus mencoba mengobrol dengan seseorang membuat lo throwback dengan masa-masa pahit lo. Minimal dengan seseorang yang mengingatkan lo pada masa lalu. Gue rasa, Medina bisa jadi salah satunya."

Satu alis Ghazi terangkat. Ia melihat ke arah di mana pandangan Alia dijatuhkan, Medina.

Perempuan itu tampak tertawa dan mengobrol seru dengan teman-temannya. Ia tahu, Medina orang yang berbeda. Gadis itu bisa sangat mudah beradaptasi dengan orang lain dan sangat terbuka dengan pemikiran orang yang kontras dengannya. Maski begitu gadis itu punya prinsip yang kuat. Hal yang membuat Ghazi teringat dengan karakter Kakaknya--Gaza.

"Kalau lo belum punya keberanian berbicara selayaknya Kakak-Adik dengan Gaza. Coba dengan orang lain yang punya kemiripan dengan dia. Minimal bisa mengingatkan lo sama Gaza. Dan gue rasa, Medina itu memang mengingatkan lo sama Gaza. Right?"

Ghazi diam. Memilih tidak menanggapi pernyataan Alia. Meski begitu, gadis belia itu tahu kalau Ghazi sedang mempertimbangkan perkataannya.

"Come on, Gaz! Lo nggak bisa selamanya membuang waktu untuk menghindari luka lama itu. Mbak Nadia bilang, lo nggak boleh jadi pengecut. Karena pada kasus-kasus trauma kayak lo, kuncinya adalah satu, yaitu pada usaha lo berdamai dengan masa lalu."

☕☕☕









inginnya, La Fadz nggak sampai 30 bab. Dan sepertinya beberapa bab lagi akan selesai.

Ada yg bisa menebak bagaimana endingnya? Apakah akan sama happy ending kayak Teman ke Surga?
Sesungguhnya, sy rindu bikin cerita sad ending lagi huehuee :')

Happy reading :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro