30 | ONE IN DIVERSITY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"SUTA, itu posisinya masih miring dikit deh. Benerin lagi!" Drew berteriak dari bawah panggung, memastikan properti yang dipasang berada pada garis yang tepat.

Dalam teater persahabatan antara RK dan LDF Sastra, ia memang kebagian jadi koordinator sie dekorasi dan panggung. Jadi semua urusan properti dan design panggung ia dan timnya yang mengerjakan. Sementara penata latar musik beralih ke Nae. Seringkali tugas dalam pementasan selalu berubah bergantung situasi. Kata Ghazi, semua harus pernah berada di sie yang berbeda di setiap acara agar bisa merasakan pengalaman dan mendapat ilmu yang berbeda. Lagipula itu bagus untuk membangun komunikasi dan kerjasama antar tim.

Seperti Nae yang di struktural RK seharusnya menjabat sebagai tim humas dan dokumentasi sekarang harus bertanya banyak hal tentang musik latar yang cocok kepada tim penata musik latar. Begitupun sebaliknya. Itulah cara Ghazi memaksimalkan para anggotanya.

"Gini udah belom?" tanya Suta, berteriak kepada Drew.

"Ke kanan dikit lagi! Iya... pelan aja! Oke sip!" Drew mengajukan jempolnya, seolah berkata great job! pada Suta yang sedang memasang hiasan pada background panggung bersama puluhan mahasiswa lain.

Pementasan teater akan ditampilkan pada acara puncak inagurasi ospek sesuai jadwal yang mereka terima. Yaitu pukul 9 malam.

Kamal memang sudah merancang sedemikian rupa agar ospek kali ini tidak sampai hanya membuang-buang budget untuk mendatangkan band saja. Menurutnya, ospek kali ini harus memaksimalkan banyak elemen UKM yang punya potensi bagus agar mau tampil. Seperti teater. Menurutnya, teater RK cukup potensial sehingga sangat disayangkan kalau hanya tampil saat pengenalan UKM kampus saja. Begitu juga dengan UKM Kebudayaan. Tari daerah adalah salah satu penampilan yang akan disuguhkan di acara pembukaan inagurasi nanti, sebelum teater persahabatan antara RK dan LDF tampil.

Jadi ide Kamal kali ini bisa dibilang cemerlang. Makanya bisa mendapat dukungan dan sambutan yang baik dari pihak akademisi serta para media massa yang berebut untuk menjadi media partner.

Kampus mereka memang kampus plural. Terdiri dari banyak mahasiswa dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Untuk itulah meskipun konsep utama adalah Kamal yang mengajukan, tetapi ia juga tidak mau menutup diri untuk menerima masukan dari teman-teman BEM lainnya. Oleh karena itu, sebagai penutup acara nanti akan ada penampilan dari HIVI—band beraliran musik pop yang akan menemani acara inagurasi sekaligus memeriahkan acara penutupan ospek tahun ini.

Kamal sadar bahwa untuk mengubah sistem maka ia harus masuk ke dalam sistem. Dan untuk mengubah sistem, ia tak harus memaksakan segalanya yang menurutnya bagus. Ia juga harus mempertimbangkan kondisi. Bagaimanapun, dakwah itu seperti air, ia harus sesuai dengan wadahnya. Meskipun ia sadar masih banyak kekurangan, setidaknya ia turut andil dalam mengubah sistem agar jauh lebih baik.

Setidaknya perubahan kecil di acara ospek bisa menjadi langkah awal. Ia ingin mengubah pemikiran masyarakat kampus tentang perbedaan yang menjadi gap di tengah mereka. Seharusnya tagline berbeda-beda tetapi tetap satu jua milik Indonesia bukan isapan jempol belaka. Ia harus termaktub juga dalam segala kegiatan bersosial kita. Kampus adalah miniatur negara, maka perubahan kecil pada lini kampus bisa menjadi sesuatu yang harapannya bisa menjadi inspirasi ke depannya.

Bukankah, menyatukan yang berbeda itu lebih baik daripada kita mengaku sudah baik namun menjadikan beda sebagai gap besar dalam memihak seseorang? Maka, inilah yang menjadi misinya; ia ingin dengan tema Dalam Bingkai Kebhinekaan, masyarakat kampus tahu kalau berbeda pandangan dan pilihan pendapat tidak jadi masalah untuk hidup rukun. Asal keduanya mau saling bertoleransi dan menghargai prinsip masing-masing.

Untuk panggung acara inagurasi sendiri menggunakan aula terbesar kampus—balairung utama yang sudah biasa digunakan untuk acara-acara kampus dan mampu menampung hingga ribuan orang.

Pagi-pagi semua orang sudah sibuk memastikan banyak hal yang akan menjadi amunisinya untuk tampil malam nanti. Begitu juga dengan RK, LDF Sastra, dan UKM Kebudayaan. Mereka bekerjasama dalam mempercantik panggung karena memang akan digunakan oleh tiga elemen UKM itu.

Tak heran kalau balairung seharian itu ramai berbagai anggota UKM. Tidak memedulikan riuh mahasiswa baru yang sedang berkegiatan di lapangan utama kampus dengan arahan BEM universitas setelah serah terima kegiatan ospek dari masing-masing fakultas.

Ghazi dan Medina sebagai koordinator pemain teater sedang mengarahkan teman-temannya untuk mengulas kembali naskah teater yang akan mereka mainkan nanti malam.

Tak ada percakapan serius yang Medina ajukan pada Ghazi atas percakapannya dengan Mas Wisnu kemarin. Ghazi pun tidak pernah membahas atau tanya terkait kejelasan lamaran kakaknya kepada Medina, meskipun dia ingin tahu.

☕☕☕

Seluruh isi balairung tiba-tiba saja heboh ketika melihat Nae datang dengan dramatis, berlari-lari dari pintu ke depan panggung. Hari ini ia telat. Hal yang jarang terjadi mengingat ia sering dijuluki Miss Perfect untuk segala urusan termasuk waktu.

Tetapi kali ini ia memang tampak berbeda.

"What the... Nae, ini beneran lo?" Seperti biasa, Drew adalah orang pertama yang akan berkomentar tentang segalanya yang berkaitan dengan Nae.

Nae yang napasnya tersenggal-senggal menatap Drew dengan mata menyipit. "Apaan sih. Ya iyalah, masa iya hantu."

"Tapi seriusan, sejak kapan lo... pakai kerudung?"

"Sejak hari ini, Drew. Udah deh, mana tim gue? Kok nggak kelihatan?"

Drew masih tidak percaya akan penglihatannya sehingga ia menjawab pertanyaan Nae dengan hanya menunjuki arah bahwa tim penata musik latar berada di samping panggung sebelah kiri; sedang sibuk mengecek sound system, tetapi matanya tak bisa lepas dari Nae. Sejujurnya, Nae tampak berbeda. Ia terlihat lebih cantik.

Nae tidak peduli dengan tatapan yang mengarah kepadanya. Ia hanya tersenyum lebar dan menyapa mereka seperti biasa. Sementara Medina tampak tersenyum ketika gadis itu melambaikan tangan ke arahnya, sama sekali tidak terkejut saat melihat Nae mengenakan kerudung.

"Masya Allah, lihat nggak... Nae ternyata cantik banget ya kalau pakai kerudung gitu," kata Atik, menyenggol lengan Medina dan Rhum.

Rhum mengangguk setuju. Sejujurnya, ia juga sama terkejutnya dengan yang lain.

"Iya. Kok Nae tiba-tiba pakai kerudung?"

"Nggak tiba-tiba, kok," tukas Medina. Membalas kebingungan dua sahabatnya. Sebenarnya ia sudah tahu kalau Nae memang memiliki ketertarikan untuk berkerudung jauh sebelum yang orang lain ketahui.

"Kamu udah tahu Mei sebelumnya?" Rhum mengangkat sebelah alisnya. Penasaran. Sementara Medina tersenyum sembari mengangguk-anggukan kepala.

Tentu saja ia tahu. Dua hari lalu, ia dikejutkan oleh kedatangan Nae saat ia akan pulang setelah menelepon Mbak Rana untuk meminta bantuan.

Penampilan Nae berantakan. Wajahnya sembab karena menangis. Rupanya ia baru saja menerima telepon dari seorang petugas rumah sakit yang memberitahu bahwa Ayah dan adiknya kecelakaan.

Katanya, ia baru saja mengecek musik latar ketika menerima telepon itu. Ia shock, kebingungan. Karena tidak ada satu orangpun di sana. Semua sudah pulang, satu-satunya yang ia temui adalah Medina yang sedang sibuk dengan ponselnya di parkiran. Dia butuh teman. Setidaknya ia butuh seseorang yang bisa menenangkan dan mengantarnya ke rumah sakit agar ia tak semakin shock jika nanti mendapati kedua keluarganya mengalami hal-hal yang tak diinginkannya.

"Kita cari taksi, yuk," ajak Medina setelah memeluk dan mencoba menenangkan Nae yang panik.

Meski selama perjalanan Nae lebih diam karena sedang berusaha menormalkan kembali tangisannya, Medina tahu kalau Nae sedang menyembunyikan kesedihannya dan menahan agar tangisannya tidak pecah lagi. Tetapi saat tiba di rumah sakit dan mendapati Papa dan adiknya dilarikan ke unit gawat darurat, ia kembali histeris.

Sambil memeluk Medina dan tangisan yang menggema Nae berkata, "Gue belum ngelakuin banyak hal baik sama bokap dan adek gue, Mei. Gue bahkan jarang di rumah buat nemenin Fio main. Gue sering ngebantah perkataan Papa untuk hal-hal kecil yang Papa minta. Gue belum siap kalau seandainya kedua orang yang gue sayangi sampai ninggalin gue sekarang. Ya Allaaah!"

Medina sendiri tidak tahu harus melakukan apa, ia hanya bisa ikut menangis—meski ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Ia hanya bisa menenangkan Nae dengan mengusap punggungnya. "Sabar, Nae. Kita berdoa supaya semua baik-baik saja, ya?"

Nae tetap menangis. Ia mengoceh banyak hal tentang penyesalannya. "Gue bahkan sering marahin Fio ketika dia minta gue untuk nggak keluyuran terus," tukasnya. Nae melepaskan pelukannya, mengusap air mata dengan punggungnya lalu menatap Medina dengan tatapan sendu, "gue bahkan sering mengabaikan keinginan Papa yang pengen gue pakai kerudung," sambungnya.

Ya Allah.

"Mei, apa ini teguran dari Allah karena gue udah tahu hukumnya menutup aurat tapi sampai sekarang gue bahkan menyangkal segalanya hanya supaya gue bisa menundanya terus-terusan? Padahal orang-orang di sekitar gue udah beberapa kali menasehati bahkan meminta gue untuk menyegerakannya."

Medina diam, ia senang ketika Nae mulai dekat dengannya setelah kejadian di panti beberapa minggu lalu. Nae memang sering mengungkapkan betapa Papanya ingin agar dia berjilbab, tetapi ia selalu mengatakan nanti kalau sudah siap. Ia bahkan sering berdalih ketika Medina menjawab pertanyaannya tentang hukum menutup aurat bagi perempuan. "Tapi gue belum siap, Mei," ujarnya kala itu.

Dengan mata sembab dan memerah, jemari Nae meremas lengan Medina. "Mei, apa Allah bakal menerima permohonan maaf gue kalau gue berubah?"

"Masya Allah!" Medina mengangguk cepat-cepat, segera memeluk Nae kembali. Tentu saja, Allah itu Maha Pemaaf. Ketika seorang hamba berjalan mendekati-Nya, Allah akan mendekat dengan berlari kepadanya. Maka kalau tidak sekarang kita mengambil signal dari Allah untuk segera bertaubat dari segala kesalahan masa lalu, kapan lagi?

"Tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan yang baik, Nae. Sebelum kiamat tiba, semua dosa seorang hamba akan diampuni oleh Allah asal kita mau berusaha taat pada-Nya."

Nae kembali memeluk Medina dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu sudah banyak kesalahan yang ia lakukan. Tetapi, tidak ada salahnya kan berusaha memperbaikinya bahkan ketika semua terlihat begitu terlambat?

☕☕☕

Tidak ada yang menyangka kalau teater persahabatan antara RK dan LDF Sastra akan mendapat sambutan yang luar biasa dari penonton.

Banyak di antara mereka bahkan sampai melakukan standing applause ketika teater ditutup dengan narasi apik oleh Ghazi dan Medina—sang pemeran utama.

"Berbeda itu bukan sebuah masalah. Tetapi sebuah tantangan hidup agar kita bisa memaknai arti sebuah kata toleransi di antara kita."

Awalnya, Medina memang meminta agar alurnya berbeda saja dengan alur novel karya Gaza. Namun demi menampilkan sisi lain yang lebih epic, Medina sepakat untuk menambahkan sedikit kisah cinta Shuwan dan Sulaiman dalam versi yang berbeda. Meskipun dalam hal ini, mereka bertukar peran. Tetapi dengan catatan, Medina tidak mau kisah cintanya menjadi alur utama.

Puncak acara inagurasi berlangsung meriah. Tentu saja, yang menjadi sorotan adalah teater unik yang mengandung pesan moral tentang persatuan menjadi favorit. Para pemain bahkan tak henti-hentinya menerima ucapan selamat dan ajakan berfoto bersama usai mereka tampil.

Medina sendiri memilih untuk menjauh, pergi dari kerumunan untuk menghindari beberapa mahasiswa baru yang meminta untuk bertemu dan berfoto bersama. Bukannya ia tidak mau, hanya saja ia tidak bisa melayani semua permintaan terlebih sebagian dari mereka adalah laki-laki.

"Mei!" panggilan seseorang menghentikan langkah Medina yang terburu-buru melalui lorong yang menghubungkan balairung ke parkiran. Tadi ia sudah menelpon Bang Hasan untuk menjemputnya setelah pamit dengan Atik dan Rhum untuk duluan. Peraturan Abah jelas, ia tak boleh berada di luar rumah lebih dari jam 10. Tetapi karena malam ini pengecualian, ia harus mau diantar jemput oleh abangnya karena sekarang hampir tengah malam.

Medina menggerutu, ia sudah memakai long jacket berwarna dark blue yang kebesaran untuk menutupi tubuhnya. Harusnya ia tak begitu dikenali, kecuali oleh seseorang yang mengenalnya dengan baik.

Tetapi, ternyata yang memanggilnya adalah seseorang yang memang mengenalnya dengan baik. Ghazi.

Wajah Medina seketika pucat. Matanya berkeliaran ke sekelilingnya. Tidak terlalu sepi memang, karena dia sudah keluar dari lorong dan kini berada di belakang gedung balairung menuju tempat parkir. Tetapi mengingat saat ini HIVI sedang tampil, semua orang yang ada di sekitarnya pasti lebih fokus untuk segera merapat ke dalam ruangan.

"Sorry, gue terpaksa ngikutin setelah nggak menemukan lo dimanapun," tukasnya.

"Ada apa?"

Sejujurnya, Medina tidak siap untuk bertemu dengan Ghazi setelah pertemuannya yang terakhir kali bersama Mbak Rana dan Mas Wisnu. Iya. Kemarin sore, satu hari setelah Medina meminta bantuan kepada Mbak Rana, akhirnya Ghazi mau bertemu dengannya untuk membahas masalah serius—tentang kemana seharusnya perasaannya akan diarahkan. Medina paham, pembicaraan kemarin telah banyak membuat Ghazi kecewa. Apalagi, Medina memilih untuk tidak mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.

"Aku akan berusaha mengikhlaskan, Mbak. Terkadang hal yang kita cintai, memang tidak harus kita miliki, kan?"

Ghazi kecewa. Meski melalui Mas Wisnu ia mengatakan agar Ghazi melakukan hal yang sama dengan Medina atas perasaan yang seharusnya tak mereka miliki, tapi jujur saja Medina tidak tahu bagaimana respon Ghazi selanjutnya. Yang ia tahu, keputusannya untuk meminta mengikhlaskannya membuat Ghazi sedikit berbeda dengannya.

"Buku lo ketinggalan," katanya. Mendengar itu, Medina menghela napasnya. Ia sudah berpikiran macam-macam. Ia pikir Ghazi akan melakukan hal yang tidak masuk akal.

Ghazi menyerahkan sebuah buku berjudul All About Jews. Medina baru ingat kalau tadi buku itu ia taruh di meja rias sesaat sebelum mereka tampil.

"Thank you."

"Nope. Harusnya gue yang bilang gitu."

"Hah?"

"Terimakasih, sudah menjadi guru terbaik yang hadir saat gue menganggap bahwa hidup ini bullshit. Thanks. And... see you."

Medina menerima bukunya dengan pikiran yang kalut. Ia tidak bisa mendeteksi bagaimana perasaannya saat ini. Yang ia tahu, ia sudah mulai mengikhlaskan perasaannya pada Ghazi—yang lucunya tumbuh begitu saja seiring banyak hal tentang Ghazi yang ia tahu. Tetapi mendengar Ghazi mengucap see you saja membuat hatinya tiba-tiba sedih.

Kalau ada yang bertanya kapan tepatnya Medina menyukai Ghazi?

Mungkin ia akan menjawab setelah ia mengetahui banyak fakta tentang kebaikannya yang disembunyikan melalui bunda Aisyah—pengasuh Panti Lentera. Iya, setelah mengenal panti itu sebenarnya diam-diam Medina sering mengunjunginya minimal seminggu sekali. Tentu saja, hal itu karena ada yang ingin sitemuinya; Arsen. Anak yatim yang setiap hari dibawakan Medina makanan itu harus mendapatkan tempat tinggal yang layak. Setidaknya jauh dari perangai Ayah tirinya yang sering menyiksanya.

Maka saat mendapat ijin dari bunda Aisyah untuk tinggal, Arsen ia bawa ke sana. Dan dari sanalah semua fakta tentang Ghazi dan Gaza terungkap. Medina juga tidak tahu mengapa ia justru lebih menyukai Ghazi. Mungkin karena membayangkan bagaimana kehidupan Ghazi dulu. Terkadang hal-hal menyakitkan tentang orang lain begitu mudah membuat hatinya tersentuh. Entah mengapa, dari sanalah ia mulai memahami dan berusaha memaklumi sikap Ghazi yang sekarang ini.

Tetapi waktu sedang tidak berpihak kepadanya. Saat punggung Ghazi menghilang kembali ke lorong, tetes air mata Medina jatuh. Meski lirih, ia pun berkata, "Sampai jumpa."

☕☕☕

karena sy menulis bab ini terlalu panjang (lagi-lagi), maka sy terpaksa membaginya menjadi 2 bagian.

akan diupdate nanti di malam ahad, insya Allah.

Happy reading!
komentar dan masukannya selalu sy tunggu dengan senang hati :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro