5 | TANTANGAN GHAZI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"GIMANA, girls? Boleh kan?"

Seharusnya, Ghazi tak perlu bertanya. Sebab belum mendapat respon dari ketiga perempuan yang duduk dengan mulut terbuka itu, ia sudah menarik kursi di antara mereka. Tersenyum dengan deretan gigi putihnya yang terlihat sangat ramah. Oh, jangan lupa, kini Atik benar-benar menyepakati pendapatnya tentang Ghazi bahwa laki-laki itu ganteng. Dengan jarak yang cukup dekat, Atik bahkan tak sadar kalau sedari tadi ia menahan diri untuk tidak memuji secara langsung penampilan Ghazi. Ia bahkan tidak sadar tidak berkedip selama Ghazi berada di dekat mereka.

Beberapa menit sempat tidak ada percakapan apapun. Medina yang tampak bisa menguasai diri sebenarnya ingin langsung menanyakan apa maksud Ghazi duduk di sini. Namun urung. Ia benar-benar tidak punya selera untuk berdebat. Apapun masalahnya. Maka ia memilih menundukkan wajah. Mengaduk-aduk jus jeruknya tanpa berencana ingin meminumnya.

Sementara Rhum yang kebingungan beberapa kali melirik Ghazi. Laki-laki itu membuatnya bingung. Awalnya ia mengira bahwa Ghazi mungkin akan memarahi mereka habis-habisan karena bisa jadi Ghazi merasa tidak nyaman menjadi bahan omongan mereka. Tapi melihat ekspresi Ghazi yang beberapa kali tersenyum, bahkan menunjukkan giginya. Ia jadi speechless.

Atik yang tadi cerewet dan memproklamirkan kebencian pada Ghazi seperti terpaku pada ekspresi kagumnya. Beberapa menit berlalu, mulutnya masih membuka. Sampai akhirnya Rhum menjawil lengan Atik.

Ghazi berdehem, menyapu pandangannya kepada Rhum dan Atik. Lalu matanya berakhir pada Medina.

"Medina," panggilnya. "Lo bukan tipe orang yang membicarakan orang lain di belakang kan?"

Medina terkejut. Kali ini mata bulatnya mengarah pada mata Ghazi yang menatapnya. Beberapa detik mata mereka bertemu, seperti sedang meyakinkan sesuatu. Namun Medina tersadar, lalu ia beristighfar.

"Kami bukan lagi ngomongin kamu, kok. Serius!" Atik melambaikan tangan seolah ingin membantu Medina menyangkal pernyataan Ghazi.

Ghazi mengangguk-angguk, alisnya naik. Seperti mengejek. Sepertinya, ia memang datang bukan untuk membuat perhitungan dengan Atik. Tapi dengan Medina.

"Well, Medina. Ayo kita bikin teatrikal teater antara RK dan Rohis jadi makin seru!"

Medina terkejut. Alisnya naik dan matanya menyipit. "Seru gimana maksudnya?"

"Hm," Ghazi menjeda. Ia membuka kacamata hitamnya dan ia letakkan di meja. "Gue rasa ide lo nggak buruk-buruk amat. Cukup kreatif," katanya.

"Lo mau kita pake cerita konflik dua kubu lalu mereka damai atas nama kerukunan dan toleransi kan? Ya... sama kayak konsep Ospek kita tahun ini. Gue rasa pemikiran lo sama Kemal nggak beda jauh."

"Terus?"

"Gue sepakat. Kita angkat konflik antara teater dan rohis. Tapi ada syaratnya."

"Apa?" Medina penasaran.

"Gue mau, lo sama gue yang jadi pemeran utamanya. Deal?"

Medina terkejut. Kedua alisnya nyaris menyatu. Rhum dan Atik juga tak kalah terkejut. Kompak, mereka menganga saking tidak percayanya.

Medina memicingkan mata. Mencoba meraba rencana yang sedang disusun oleh Ghazi.

Teman-temannya di kelas pernah berbicara--lebih tepatnya sering menggosipkan tentang Ghazi di banyak hal. Dari kehidupannya sebagai seorang ketua RK, hobinya hunting foto dan jalan-jalan, kehidupan cintanya, sampai keluarga. Lengkap. Kadang, Medina sampai geleng-geleng kepala karena tidak habis pikir. Bagaimana bisa teman-temannya tahu begitu lengkap tentang Ghazi padahal kalau dipikir-pikir tidak ada koran atau majalah kampus yang memberitakannya. Pun menurut Medina, apa pentingnya berita itu. Toh dikonsumsi untuk dijadikan berita murahan. Medina memang tidak pernah memahami, dan tidak ingin memahami.

Yang ia tangkap dari pembicaraan teman-temannya, kalau benar RK punya segudang prestasi di bawah pimpinan Ghazi.

Konon, beberapa pemain RK pernah ditawari untuk main film atau jadi model iklan di televisi. Sayangnya, hal itu tidak menarik buat Medina. Makanya sampai saat ini, ia tak tahu mana anak RK yang artis mana yang biasa saja. Yang ia tahu, kebanyakan dari anak-anak RK memang menjaga jarak dengan anak rohis--meski tidak semua. Mereka seperti tidak mau dekat-dekat. Bahkan ada yang terang-terangan bilang kalau anak rohis itu bisa membuat mereka down. Membuat mereka merasa kotor seperti setan. Mereka masih berpikiran kalau rohis itu anak-anak emas yang suci, tidak punya dosa. Padahal, berbuat salah dan dosa itu memang fitrahnya manusia. Namun bagi Medina, tergantung sikap masing-masing. Apakah ada usaha untuk memperbaiki atau tidak. Itu letak perbedaannya.

Masalahnya, jangankan dinasehati. Didekati saja anak-anak jenis seperti anak teater sudah bersikap antipati seperti itu. Apalagi melakukan fungsi dakwah kampus.

Memang ini menjadi catatan penting bagi para aktivis dakwah. Saatnya mereka keluar dan menyebar ke segala penjuru untuk menebarkan aroma islam. Setidaknya jika tidak bisa mengajak secara keseluruhan. Mereka tidak antipati dulu. Baru fungsi dakwah sesungguhnya akan lebih mudah dilaksanakan.

Seperti yang Medina lakukan.

Awalnya ia juga ingin menolak ide kolaborasi dari Kemal. Namun Kemal, yang memang dulunya adalah anak rohis, memberi nasehat,

"Mei, sudah saatnya anak-anak rohis membuka pikirannya. Mereka harus bertebaran di seluruh penjuru kampus, baru cita-cita menjadikan kampus madani dan menyebarkan nafas-nafas islami bisa terwujud. Kalau kita berputar-putar hanya mengurusi masalah agenda internal rohis. Kita nggak bisa mengubah persepsi orang yang menilai kita negatif. Jangan salahkan orang-orang yang antipati terhadap rohis kalau aktivis rohis aja tidak mau mendekati dan menjelaskan secara baik-baik kepada mereka. Kamu tahu kan Rasulullah pun ketika berdakwah yang disentuh pertama adalah hatinya. Dengan apa? Dengan akhlak beliau, dengan perhatian beliau, dengan kasih sayang beliau. Kalau kita nggak mau melakukan sesuatu yang beda. Kita nggak boleh mengharap perubahan yang beda."

Maka saat itu, ia juga paham kenapa akhirnya Kemal bersikeras jadi Presbem. Awalnya ia pikir Kemal tipe orang yang gila kekuasaan dan kepoluleran. Tapi sekarang ia paham, saat ingin mengubah sesuatu, kita juga harus melakukan perubahan dua arah. Perubahan pada yang mengatur dan yang diatur. Dalam hal ini berarti antara sistem pembuat kebijakan dan rakyat yang dikenai kebijakan.

Itulah fungsi memahami politik dalam Islam. Kalau kita sebagai muslim tidak mau berpolitik, maka bersiaplah jadi orang yang dipolitiki. Entah oleh pemimpin yang baik atau paling buruk. Semua itu pilihan.

Maka, menghadapi Ghazi juga suatu pilihan. Medina paham, ketika berhadapan dengan Ghazi artinya ia harus siap dengan konsekuensi apapun. Namun inilah yang dipilih Medina. Bagaimanapun, tujuan Medina hanya satu, ingin merubah persepsi orang lain tentang rohis. Bahwa rohis itu tidak kaku, tidak hanya mengurusi tentang pengajian dan agenda masjid. Fungsi rohis lebih luas. Dan Medina ingin membuktikan itu.

Ia menghela napas.

Teman-temannya bilang Ghazi terkenal all out di panggung. Salah satu pemain teater kebanggaan kampus.

Ia akan memerankan segala yang tertulis dalam naskah lakon. Memeluk, mencium, dan hal lainnya.

Mengingat hal itu, Medina jadi merinding sendiri. Ia tidak bisa membayangkan kalau ia harus tampil di depan umum memerankan suatu lakon.

Jangankan memerankan, dia berbicara di depan umum sebagai moderator saja sudah keringetan dan grogi luar biasa. Ini, ia juga ditantang menjadi pemain utama dengan lawan main Ghazi? Apa tidak gila!

"Dan satu lagi. Sebagai bentuk bahwa kolaborasi ini adil. Gue akan ikut andil dalam penulisan naskah lakon. Jadi gue nggak mau hanya terima jadi dari elo doang. Gimana?"

Medina diam. Ia sedang berpikir.

"Eh, gimana-gimana? Kok aku mubeng?" Atik tidak fokus. Jujur saja, kali ini ia agak lemot untuk mencerna apa yang Ghazi katakan.

Apa tadi? Medina dan Ghazi jadi pemain utama? Emang ceritanya mau kayak apa? Mereka kan sama sekali nggak match!

"Tik... Ghazi bilang dia mau ikut andil dalam pembuatan naskah yang seharusnya, berdasarkan kesepakatan kita pas rapat satu jam lalu, teater berlepas tangan tentang naskahnya. Mereka manut-manut aja karena memang nggak punya ide cerita tentang teatrikal kita di acara puncak Ospek. Tapi sekarang Ghazi mengultimatum kalau dia mau ikut andil asal pemain utamanya adalah dia dan Medina, lalu naskahnya juga dia mau nulis. Gitu, lho."

"Wow, pinter!" komentar Ghazi. Ia membentuk huruf O dengan jempol dan jari telunjuknya. Tersenyum amat lebar kepada Rhum.

"Apa?! Kok gituuu sih!"

Rhum geleng-geleng kepala melihat respon Atik.

"Gimana?" Ghazi tidak mempedulikan protes yang dilayangkan Atik. Ia fokus kepada Medina yang sedang berpikir. Gadis itu kesal bukan main. Beberapa kali melempar kalimat panjang yang membuat Rhum ingin membekapnya dengan tangan.

"Memangnya, aku mau jadi pemeran yang kayak gimana? Pada kenyataannya kan cerita antara teater dan rohis sama sekali nggak berhubungan dengan konflik dua manusia. Tapi antar dua klub. Jadi gimana kamu jelasin ini?"

Ghazi tersenyum.

"Well, itulah kenapa gue ada di sini. Sekarang kita tinggal mempermanis cerita ini. Ya, bikin aja kita berdua pacaran."

"APA?!" Ketiga gadis itu kompak. Membuat Ghazi tertawa.

"Aku nggak setuju. Kamu jangan main-main, ya!" Sergah Medina. Ia mulai kesal.

"Oke, oke. Gue cuma bercanda," katanya. "Gue tahu kalau lo adalah cewek yang menganut prinsip kuno nggak pacaran sampai nikah kan!"

"Maaf ya, Ghaz. Prinsip nggak pacaran sebelum menikah itu bukan kuno."

"Whatever lah! Pokoknya gue mau kita di sini berperan jadi sepasang kekasih. Atau apapun lo menyebutnya."

"Suami?" kata Atik reflek.

"Ya, itu juga boleh."

Rhum menyenggol lengan Atik. Menggeleng-geleng. Tidak sepakat dengan respon Atik.

"Aduh, ini makin ngaco! Enggak. Pokoknya aku nggak setuju!" tegas Medina sekali lagi. Baginya, gagasan Ghazi sama sekali tidak masuk akal. Mengada-ada.

Benar, sepertinya Ghazi memang ingin menjebak dia. Ia ingin mempermainkan rohis melalui Medina. Tapi kenapa?

"Tenang, ntar malem gue kerjain naskahnya. Besok lo tinggal bikin lanjutannya. Gue cuma bikinin konsep besarnya aja kok. Oke? Tapi kalau lo nggak setuju, ya sudah... bubar aja! Toh emang dari awal gue udah nggak sepakat kan dengan konsep kolaborasi ini. Saat kalian menolak ya, kami justru senang!"

Medina menghela napas. Ia melihat ke arah dua sahabatnya. Mereka sama-sama speechless. Dan Medina tahu, langkahnya untuk membuktikan sesuatu tidaklah mudah.


☕☕☕

Happy reading :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro