7 | L A F A D Z

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"AKH, proposal Mentoring Akbar buat pekan depan udah dicek?"

Dhani yang sedang sibuk tilawah di pojokan sekretariat LDF menghentikan bacaannya sejenak. Keningnya mengernyit begitu mendengar pertanyaan Samsul.

"Oh udah jadi? Mana aku nggak lihat. Dari kemarin sampai sekarang belum ada laporan tuh."

"Ah elah! Kemarin Zee udah bilang sama kamu, Dhan. Ente aja yang nggak fokus. Tuh di atas etalase. Dari kemarin aku udah ngingetin suruh lihat, sampai sekarang nggak dilihat-lihat. Kenape sih. Akhir-akhir ini ane perhatiin jadi oleng mulu. Ada masalah?"

Dhani tersenyum. Ia menaruh mushafnya ke dalam tas. Menggeser posisi duduknya ke arah Samsul.

"Enggak."

"Bohong dosa, Dhan. Cerita aja. Mumpung nggak ada orang. Kata Fajar di kos juga kamu sukanya di kamar aja. Kenapa? Kita sobat kan?"

Dhani tersenyum. Masih menimbang apakah ia akan menceritakan apa yang menjadi polemik hatinya.

"Ya, sebenernya sih emang aku lagi ada masalah."

"Nah! Apa-apa? Ah pake rahasia-rahasiaan. Kita udah temenan dari kapan tahun coba. Dari SD kita bareng-bareng, Dhan."

Dhani tersenyum lagi. Tangannya menyentuh hidungnya yang tidak gatal. "Sebenernya, Sam. Ini amniyah. Tapi mungkin aku harus cerita."

"Insya Allah, aku bisa jaga rahasia, Dhan."

"Masalah Medina."

"Medina? Maksudnya masalah yang mana? Yang kolaborasi itu?"

"Bukan! Ini bukan tentang Medina dan urusan kampus. Ini urusan pribadi."

"Pribadi?"

Dhani mengangguk. "Jadi, satu minggu yang lalu aku ke rumah Medina. Niatnya mau silaturrahim sekalian kenalan sama keluarganya."

"KAMU NGELAMAR MEDINA?!"

"Sssttt! Dengerin dulu!"

Samsul menutup mulutnya. Karena terlalu terkejut, ia kelepasan mengeraskan suaranya.

"Ya rencananya sih begitu."

"Terus-terus?"

"Ya begitu."

"Aduuuh. Ya begitu bagaimana sih, Dhan. Kalau cerita itu jangan setengah-setengah. Menyiksa yang mendengar saja!"

Dhani terkekeh mendengar respon Samsul.

"Begini Sam. Ada etika baik dari para ulama dahulu, bahkan Rasulullah sendiri yang menyuruh agar kita merahasiakan lamaran dan mengumumkan pernikahan. Jadi..."

"Astaghfirullah, Dhan! Kamu niat mau cerita nggak sih!"

Dhani tertawa melihat ekspresi Samsul yang marah. Di tengah kegalauan hatinya, melihat ekspresi sahabatnya yang penasaran setengah mati seperti ini ternyata menyenangkan.

"Iya. Iya! Afwan."

Samsul diam. Ia sudah terlanjur marah. Dhani menghela napas. Ingin melanjutkan ceritanya.

"Sayangnya aku keduluan orang lain, Sam."

Samsul yang tadinya beringsut dengan ekspresi kesalnya kini menatap wajah Dhani dengan ekspresi penuh tanda tanya.

"Keduluan? Masa, Dhan? Keduluan siapa?"

Dhani menggeleng. "Aku tidak tahu, Sam. Abahnya Medina tidak memberitahu apapun. Insialnya ataupun ciri-cirinya. Yang pasti beliau hanya mengatakan bahwa aku telah keduluan dengan seseorang. Katanya, ada seorang teman Abah Medina yang melamar untuk anaknya. Tapi sampai saat di mana aku melamar Medina, ia belum memberi jawaban pasti. Entah apakah Medina perlu waktu yang terlalu lama karena dia juga memikirkan studinya atau bagaimana, aku kurang paham."

Samsul mengangguk-angguk. "Yah, sangat disayangkan. Pasangan paling shalih dan shalihah di LDF tidak jadi berjodoh."

Dhani menggeleng-gelengkan kepala.

"Jadi ini yang membuat kamu galau dan patah hati berhari-hari ya, Dhan?"

"Ya nggak juga Sam. Aku hanya ingin lebih sering menyendiri saja. Bermuhasabah."

Samsul tersenyum. Ia tidak percaya dengan alibi sahabatnya itu. Selama dia mengenal Dhani, tak pernah sahabatnya itu segalau ini. Bahkan untuk urusan yang besar sekalipun.

"Ya udah, Dhan! Yang sabar. Insya Allah perempuan cantik dan shalihah banyak. Ada Atik, ada Fateh, ada Yuni. Teman-teman kita di An Nisaa juga banyak yang mau sama kamu. Kalau jodoh nggak akan kemana. Lagi pula, Medina kan belum tentu menerima laki-laki yang melamarnya itu. Iya kan? Jadi masih ada kesempatan. Tenaaang! Kalau perlu aku yang akan carikan. Toh kamu kan belum wisuda. Jadi yang sabar. Allah kan ngasih jodoh di waktu yang tepat. Di momen yang tepat. Insya Allah ini yang terbaik. Jangan sedih-sedih. Oke!"

Dhani terkekeh. Ia mengangguk-angguk saja.

"Tapi, Sam. Kok dari sederetan nama yang kamu sebut tadi, Rhum nggak masuk? Padahal dia itu masuk kriteriaku juga lho."

Wajah Samsul seketika memerah. Ia menggaruk tengkuk lehernya. "Anu... kalau yang itu..."

"Apa lebih baik aku lamar Rhum saja? Kelihatannya dia sudah cukup siap. Lagipula ibu bapaku menyerahkan sepenuhnya pilihan calon istri padaku, Sam. Jadi tidak ada yang keberatan."

"Kamu tega benar sama aku, Dhan."

"Lho memang kenapa?"

"Kamu kan tahu aku ada rasa sama dia sejak dulu."

Dhani tertawa. Ia kembali mengambil mushafnya. Berencana untuk bertilawah kembali. Melihat ekspresi Samsul begitu cukup untuk menjadi hiburan baginya.

"Iya. Iya! Makanya buruan dilamar. Perempuan itu butuh kepastian Sam. Bukan hanya rayuan gombal. Lagian nunggu apalagi sih?"

"Nunggu lulus dan mapan dulu, Dhan. Kan aku nggak seberani kamu."

"Memangnya syarat nikah sudah berubah Sam? Ada harus lulus dan mapan dulu?"

"Heh! Ya enggak. Ah... sudahlah. Kok aku jadi kesel ngobrol sama kamu. Udah sana ngaji saja. Aku mau main Mobile Legends!"

"Jangan main mulu Sam. Lulus dan mapan tidak bisa ditempuh dengan cara seperti itu," kata Dhani bercanda.

"Nggak taulah, Dhan!"

Dhani tertawa begitu melihat Samsul memanyunkan bibirnya karena kesal.

☕☕☕

"Jo! Kopi kayak biasa satu ya! Antarkan ke atas," teriak Ilyas kepada Jo, sang barista. Ia baru saja pulang dari belanja untuk kebutuhan produksi La Fadz.

"Kang Dir dan Raja, tolong bantu bang Tyo di depan ya. Nanti tolong cek seperti biasa kondisi barangnya. Taruh barang di tempat yang sesuai. Ada beberapa barang yang perlu ditangani secara cepat seperti sayuran. Jadi tolong diperhatikan."

"Siap, Mas!"

"Oh ya, Ja. Gaza mana? Di atas? Kok nggak kelihatan?"

Raja yang baru akan melangkah menoleh, "Oh, Mas Gaza di masjid sebelah. Biasa. Sholat dhuha dan ketemu sama Ustadz Hanafi."

Ilyas ber-Oh ria. Tadinya ia ingin melaporkan beberapa hal terkait bahan dasar La Fadz yang kosong dan ingin merekomendasikan menu baru untuk menu non kopi kepada Gaza. Tapi karena Gaza tidak ada di tempat, ia memilih akan istirahat saja di lantai 3, yang memang didesain seperti ruangan keluarga dan rapat. Di lantai 3 juga terdapat dua kamar yang sering ditempati oleh Gaza dan Ilyas. Namun sebelum Ilyas istirahat dan memejamkan matanya sebentar, ia juga ingin mengecek keadaan perpustakaan di lantai 2. Meski ia bukan tipe kutu buku seperti Gaza, sebagai orang yang memiliki separuh saham di La Fadz, ia juga punya kewajiban untuk mengecek seluruh kegiatan La Fadz.

Dulu awalnya La Fadz hanya perpustakaan kecil yang dikelola Gaza. Ilyas sering datang karena Gaza merupakan adik tingkatnya yang cukup dekat dengannya sewaktu di pesantren dulu. Gaza lah yang sering menjadi tameng Ilyas yang malas-malasan di pesantren. Dulu ia bercita-cita ingin mendirikan sebuah kafe dan restoran tongkrongan anak muda. Dan ide itu muncul tatkala bertemu dan sering berdiskusi dengan Gaza di perpustakaan La Fadz.

Gaza sendiri setuju karena memang cita-citanya adalah ingin membuat perpustakaan antimainstream yang disukai anak muda. Di tahun 2015 jadilah La Fadz Cafe & Library tongkrongan asik dan mendidik untuk anak muda. Pasalnya, selain memadukan konsep kafe, semi restoran dan perpustakaan, La Fadz juga memberi peraturan yang cukup Islami di tempatnya. Seperti tidak boleh mengunjungi La Fadz kalau hanya berdua (bagi yang bukan mahram), tidak boleh pakai pakaian ketat (harus sopan), dan tidak boleh berkata kasar serta harus menerapkan akhlak yang baik kepada semua orang. Termasuk pegawai.

Sebagai penarik perhatian para kostumer, Gaza juga memberi ide supaya setiap satu minggu sekali diadakan hari diskon untuk member, harga terjangkau untuk yang menunjukan kartu pelajar atau mahasiswa, dan setiap bulannya ada santunan anak yatim dengan mengajak kostumer untuk berdonasi buku atau makanan yang dibutuhkan anak-anak. Selain itu, setiap tiga bulan sekali La Fadz selalu membuka open donation untuk disumbangkan ke Palestina sebagai bentuk kepedulian terhadap saudara muslim yang dijajah oleh Israel.

Konsep ini menarik perhatian banyak halayak. Satu tahun berdirinya La Fadz, pemerintah kota bahkan memutuskan untuk mendonasikan buku-buku yang bermanfaat bagi pelajar dan mahasiswa secara gratis hampir setiap bulannya. Belum lagi website dan social media La Fadz yang selalu up to date memberikan sajian informasi kegiatan La Fadz dan informasi lain seperti beasiswa dan lowongan pekerjaan. Jadi tak heran jika La Fadz selalu digandrungi banyak anak muda dan masyarakat umum.

☕☕☕

Ilyas menyusuri tiap rak besar yang disusun sedemikian rupa sampai tak begitu terlihat seperti perpustakaan pada umumnya.

Rak yang dibuat berbentuk kopi dan cangkir yang menuangkan air itu tampak lucu karena dipadukan dengan sofa-sofa besar berwarna-warni yang empuk dan nyaman. Di samping kiri terdapat diding kaca tebal yang sengaja dihiasi oleh tumpahan air yang menimbulkan kesan seperti air hujan yang menetes. Membuat kesan elegan perpustakan semakin terasa nyaman dan menyenangkan. Meskipun tidak masuk kategori sangat luas, Ilyas rasa perpustakaan La Fadz adalah yang terbesar dan terlengkap yang pernah ia temui.

Ia kemudian menemui Darris, laki-laki Kalimantan yang bekerja membantu Gaza menjawab pertanyaan pengunjung tentang buku. Dia adalah pustakawan kedua yang Ilyas kenal selain Gaza yang sangat mencintai buku. Ilayas sendiri bingung, kenapa kedua orang teman kerjanya itu tidak botak karena setiap hari bersinggungan dengan buku. Bahkan kalau boleh sedikit lebay, Ilyas berani menebak kalau Darris rela tinggal di dalam perpustakaan La Fadz selamanya.

"Assalamu'alaikum, Ris? Gimana perpustakaan rame?"

"Eh, Bang Ilyas. Waalaikumussalam warahmatullah. Alhamdulillah. Rame kayak biasa. Lihat deh, kursinya nggak ada yang kosong," katanya sembari menggerakkan kepalanya.

Ilyas mengangguk-angguk.

"Kamu pusing, Ris?"

"Pusing kenapa, Bang?"

"Ya ngelayanin banyak pertanyaan ini itu tentang isi buku. Tahu sendiri buku banyak gini."

"Enggak lah, Bang. Malah senang aku. Kalau bisa perpustakaan ini buka 24 jam. Senang sekali melihat orang-orang membaca. Sesuatu yang terlihat seksi. Coba kalau seluruh masyarakat Indonesia suka membaca, Bang. Bayangkan betapa hebatnya masa depan Indonesia."

Ilyas tertawa melihat Darris yang begitu semangat, sampai memperagakan dengan tangan segala.

"Iya juga ya, Ris. Coba kalau anak mudanya kayak kamu semua. Pasti Indonesia punya masa depan cerah seperti Eropa dan Amerika."

"Tapi ada yang lebih penting dari membaca buku, Bang."

"Apa, Ris?"

"Membaca Al-Qur'an dan mengamalkan isinya."

"Masya Allah. Luar biasa! Bangga aku punya adik sepertimu." Ilyas menepuk bahu Darris berulang-ulang. Membuat Darris berbangga diri.

"Eh, Astaghfirullah. Jangan puji aku, Bang!"

"Lho kenapa?"

"Nanti aku jadi takabur. Berdosa lah aku!"

Ilyas seketika tertawa terbahak-bahak. Membuat seisi ruangan menoleh kepadanya.

"Ssst, jangan keras-keras tertawanya. Ingat, ini perpustakaan!" kata Darris mengecilkan suaranya.

Ilyas menangkupkan kedua telapak tangannya meminta maaf.

"Permisi." Sebuah suara menginterupsi percakapan Ilyas dan Darris.

"Maaf mau tanya, apa kalian berdua mengenal Kak Gaza?"

Kedua orang itu terpaku seketika. Ada ribuan pertanyaan tentang gadis berkerudung biru muda yang ada di depan mereka.

☕☕☕





Hallo, selamat lebaran yaa. Mohon maaf lahir batin. Semoga kita jadi lebih baik lagi selepas ramadhan.

Btw, siapa di sini yang merasa liburan lebarannya gak tenang karena belom UAS?😢😌😭

Samaaa!







☕☕☕

Happy reading :)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro