Bibit · 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hu (符) dapat diumpamakan (sebagai) suatu kekuatan magis yang terpinjam, dan membentuk lambang. (修道寶鑑 hal. 183)

**

"Yang kamu lihat kapan hari di wisma kita itu kayaknya si Wukong deh, Matt...." William berbisik di dekat telinga Matteo, membuat sepupunya itu menoleh dengan muka bingung.

Mereka sedang menunggu di sebuah ruang dengan tembok bercat merah. Dupa dan lukisan bertuliskan aksara Hanzi terpajang pada dindingnya. Lonceng fengling yang tergantung di langit-langit pintu masuk bergemerincing pelan tertiup angin.

Orang tua Matt, Gabriella dan Victor, tampak sedang berbicara serius dengan wanita muda bersetelan gaun qipao semata kaki.

Sudah beberapa hari belakangan ini William membujuk A Kou-nya, mama Matt, agar membawa sepupunya itu berobat ke paranormal. Dan berhari-hari sejak kejadian di hari upacara Cheng Beng itu juga, Gabriella menolak. Bibi dari William itu juga meminta keponakannya untuk merahasiakan ini. Jika ada anggota keluarga Tan yang bertanya, Gabriella selalu menyuguhkan jawaban yang bersinggungan dengan 'demam' anaknya.

Awalnya, mama Matt itu berpendapat bahwa semua yang dilihat oleh anak sulungnya merupakan halusinasi belaka. Namun, pertahanan Gabriella runtuh saat anaknya sendiri yang memohon padanya, 'Dicoba dulu aja, Mama... please. Aku sudah capek melihat hantu monyet, wanita jelek, dan makhluk berbulu di sekitar wisma ini. Aku ingin ini semua berhenti'.

Nada frustasi dan lelah dari suara serak Mattéo kala itu membuat watak keras Gabriella goyah seketika. Sang mama menjawab, 'Ya... baiklah. Tidak ada salahnya kita coba cara William'.

Maka, di sinilah mereka sekarang, rumah praktik seorang cenayang tersohor di Surabaya, yang biasa dipanggil I'ie (bibi) Jia.

Kini, Matt menoleh pada sepupunya itu. William baru saja menyebutkan salah satu makhluk yang paling sering dilihat Matt di wisma keluarga Tan, si kera jadi-jadian.

"Wukong?" ulang Matt ke arah Willy.

William mengangguk. "Dari nama siluman monyet yang ada di tivi itu, muridnya Biksu Tong."

Matt menggeleng tanda tak mengerti.

"Kamu nggak tau filmnya? Kera Sakti?"

Lagi-lagi, Matt menggeleng.

"Seekor kera, terpuruk terpenjara dalam gua, di gunung tinggi sunyi tempat hukuman para dewa... nggak tau?" William berucap cepat seakan mengingat hafalan lirik lagu rap.

Matt tersenyum, lalu menggeleng untuk ketiga kali.

"Bertindak sesuka hati, loncat kesana kesini, hiraukan semua masalah di muka bumi ini... eh, beneran nggak tau, ya?" William menghentikan rap-nya saat melihat wajah sang sepupu yang tak kunjung tercerahkan itu.

"Yah, intinya, dulu... dulu banget waktu aku masih krucil, masih jadi anak sulung karena belum ada Wendy dan Weslie, aku inget sering liat manusia monyet juga di pohon mangga wisma A Ma." Willy memulai ceritanya.

"Kata Mami, tiap kami berkunjung ke wisma A Ma, aku selalu asyik ngomong sendiri di sekitar pohon mangga itu. Dan tiap ditanya, aku selalu jawab 'lagi main sama Wukong'. Seingatku dulu, memang sosoknya itu mirip banget sama Kera Sakti yang di tivi, dan kebetulan juga itu film favoritku pas kecil dulu. Jadi pantes lah aku kesenengan." William nyengir kuda.

"Terus, sejak kapan kamu nggak ngeliat dia lagi, Koh?" tanya Matt tak sabaran.

"Mmmm... sejak mau masuk SD? Umur tujuh tahun, mungkin? Yah, intinya, aku kira itu tuh imajinasiku pas kecil aja. Cuma pas tahu kamu bisa liat makhluk yang sama, ya... otomatis aku jadi 'klik', gitu."

Matt menggeleng tak puas. "Kenapa Koko bisa liat ya, pas kecil itu?"

William mengangkat bahu. "Kata orang-orang, wajar kalau anak kecil bisa lihat yang begituan. Matanya masih peka."

Matt merenung, memberikan beberapa jenak sebelum sepupunya berkata lagi.

"A Kong pernah bilang, Wukong itu penjaga wisma keluarga kita. Pos dia memang di pohon mangga situ, dan dia nggak dibolehin masuk ke dalam wisma, jadi kita nggak perlu takut." William melanjutkan.

"Jadi dia nggak jahat?" simpul Matt.

Willy mengangguk. "Nggak, tuh. Kalau emang jahat, mungkin aku udah diculik pas kecil dulu. Lagian kamu juga lihat toh, kemarin-kemarin gimana? Dia jahatin kamu nggak?"

Matt menatap sepupunya sekilas. "Kan dia sahabat kecilmu, Koh, sementara saya baru ketemu sekarang ini."

"Hahahaha!" William tertawa pelan. "Bisa ngebanyol juga toh kamu."

"Tapi serius, Koh." Matt menghela napas. "Kenapa tiba-tiba saya jadi bisa lihat dia, sih?"

Seiring pandangan William yang melayang pada orang tua Matt dan perempuan bergaun qipao tadi, ia pun berkata, "Kalau itu, bukan porsiku untuk ngejawab. Tuh."

Perhatian Matt terpecah oleh mamanya yang berjalan ke arah mereka.

"Mattéo, ayo," panggil Gabriella.

**

Dalam ruang praktik itu, paru-paru Matt disesaki asap dupa yang dibakar di atas meja. Kalau bukan terdorong rasa putus asa akan apa yang terjadi pada dirinya, boro-boro Mattéo sudi duduk berlama-lama di sini, menghadapi wanita paruh baya yang bersila di hadapan mereka; I'ie Jia.

"Langsung saja ya, 'Ie, anak saya ini kenapa sebenarnya?" Nada bicara Gabriella terdengar sopan, namun tetap to the point. Tampak sekali mama Mattéo itu merasa tidak nyaman dan ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini.

Cenayang dengan gincu merah hati itu memejamkan mata, menghirup napas, dan mengembus pelan. Nada bicara I'ie Jia tenang dan tertata.

"Ana'mu itu... sedang ditempeli, Me."

"Apa??"

"Hmmm... bukan sembarangan. Ini... roh leluhurmu. Sepuh. Kong lao la (kakek tua)."

I'ie Jia menatap Mattéo lurus-lurus, seolah bisa menembus dua manik hazel sulung Lafleur itu, tepat ke sosok di belakangnya.

"Kenapa bisa ditempel begitu, 'Ie? Apa maunya? Gimana cara melepaskannya? Saya ingin anak saya kembali normal seperti dulu."

I'ie Jia menggeleng. "Jangan," ucapnya pendek.

"Loh, kenapa??" refleks Gabriella.

"Gini lho, Me... biasanya, roh leluhur datang untuk melindungi anak cucunya dari sesuatu yang kuat dan berbahaya. Seperti firasat, mereka akan terpanggil jika ada ancaman."

Baik Gabriella maupun Matt bungkam mendengar itu. Berbahaya? Ancaman? Pikiran ibu-beranak itu seakan penuh dengan dua kata tersebut.

"Kamu habis dari tempat jauh... dan akan pindah ke tempat jauh lagi, ya, Me?"

Pertanyaan dari I'ie Jia membuat Gabriella terperangah. "I-iya, 'Ie...," jawabnya.

I'ie Jia lantas menatap Gabriella sekilas, lalu beralih pada Matt. Mata cenayang yang dipulas dengan riasan tebal itu menyipit, awas. Tampanya gerak-gerik Matt yang putus asa, juga Gabriella yang tampak frustasi, sukses membuat cenayang itu menimbang-nimbang sesuatu.

"Hmmm, tunggu sebentar."

I'ie Jia menggeser duduknya, mengambil sesuatu di laci, lalu memunggungi Matt dan Gabriella untuk menghadap sebuah altar. Beberapa detik kemudian, terdengar lantunan mantra dalam dialek Hokkien lama yang keluar dari bibir cenayang itu, begitu asing di telinga Matt dan Gabriella.

Selang beberapa jenak, rapalan mantra I'ie Jia usai. Hening. I'ie Jia tampak memberi hormat dengan khidmat, lalu berbalik untuk menyerahkan selembar kertas berwarna kuning dengan aksara Hanzi kuno tertulis di atasnya, pun lengkap dengan cap stempel berwarna merah.

"Ini, simpan di dalam dompet. Kamu butuh setidaknya pegangan aura positif agar makhluk-makhluk yang negatif menjauh. Terang untuk gelap, Yang untuk Ying." I'ie Jia menyodorkan benda tersebut pada Matt. Itu adalah sebuah azimat, kertas Hu yang digunakan untuk mengusir roh jahat.

Saat Matt memperhatikan kertas kuning itu, I'ie Jia kembali berpesan.

"Kong lao la biarkan saja ikut kamu. Tapi ingat, hati-hati. Mendapat perlindungan leluhur bukan berarti kalian bisa mengentengkan kehadiran iblis yang mengincar. Saya merasakan sesuatu yang gelap... kuat... dan jahat di tempat baru kalian nanti."

**

Malam harinya, saat sebagian besar keluarga Tan sudah terlelap dalam wisma, Mattéo berniat mengambil minum di dapur saat mendapati mamanya terduduk lemas di ruang makan. Wanita itu tampak melamun.

"Mama?" tanya Matt. Tak ada respons.

"Ma... Qu'est-ce qui ne va pas (ada apa)?" Mattéo menggenggam tangan mamanya, membuat Gabriella terperanjat.

"Oh, Mattéo... kenapa belum tidur?" Gabriella memaksakan senyum.

Matt menggeleng. "Aku hanya haus."

"Mmmm," gumam Gabriella, tak fokus.

Anak lelaki sulung itu mendadak merasakan aura aneh. Ada yang tidak beres di ruangan ini. Seketika, minatnya untuk mengambil minum di dapur urung, sebab Matt melihat sesuatu yang bertengger di atas lemari piring.

"Mama... sebaiknya jangan di sini. Ada hantu di atas lemari itu, wujudnya perempuan bermuka jelek. Mama pindah ke kamarku saja, ya? Kertas dari Bibi Cenayang tadi ternyata lumayan efektif. Aku tidak keberatan jika...."

"Mattéo," potong Gabriella sebelum menghela napas. "Ça suffit (sudah cukup), jangan bahas hantu-hantu lagi. Tadi siang Mama sudah mengalah dan mengantarmu ke tempat cenayang itu. Sekarang apa lagi?"

"...." Matt bungkam.

"Mama mohon, Mattéo... jangan tambah beban keluarga kita dengan omong kosongmu itu. Kendalikan dirimu, dan jangan seret orang lain ke dalam imajinasimu. Mulai sekarang, Mama tidak mau lagi mendengar apapun mengenai hantu, setan, atau apapun itu. Garde-le pour toi (simpan untukmu sendiri). Mengerti?"

Dengan mulut yang masih terkunci, juga emosi yang ditekan sepenuh hati, Mattéo Lafleur-Tan mengangguk.

**

Sebulan berlalu semenjak upacara Cheng Beng, keluarga inti Lafleur-Tan kini menempati rumah warisan Gua Ma atas nama Gabriella di daerah Tebet, bagian Selatan Jakarta.

Di dalam kamarnya, Matt mengutak-atik ponsel.

[Hal-hal yang harus dihindari: keluar rumah saat pergantian hari (sore ke malam), tempat-tempat rimbun dan sepi, pipis di sembarang tempat]

SMS yang dikirim William itu sudah Matt copy-paste pada catatan ponselnya. Info dari sepupunya itu terlalu penting untuk dibiarkan terhapus otomatis saat memori pesan gawainya penuh.

Selain kertas Hu dari I'ie Jia, bentuk bantuan yang Matt dapatkan adalah sepupunya itu. William dengan senang hati menjadi mengajari Matt apa-apa saja yang berkaitan dengan persetanan di bumi pertiwi ini.

Seringnya, Matt merasa jengkel sebab seberapapun dia coba menghindar, pasti ada saja makhluk aneh dengan berbagai bentuk dan rupa yang lolos terlihat matanya. Entah di sudut halaman, di pinggir jalan, atau di balik kloset kamar mandi. Terkejut, ngeri, dan berujung kesal, itulah yang Matt rasakan saban hari.

"Kamu sih, keluar malem-malem! Mereka itu aktifnya pas malem, lho, Matt," ujar William dalam sebuah sambungan telepon.

"Wah, itu karena kamu matiin lampu kamar mandi sih, Matt. Nyalakan terus aja lampunya. Mereka paling suka tempat basah dan kotor," jabar William di lain kesempatan.

"Hmmm... di mana-mana memang selalu ada. Kamu juga sih, jarang ibadah. Eh, sori, kamu kan emang nggak pernah diajarin ibadah, ya?"

Oke, Matt benar-benar dongkol. Setiap apapun yang dia lakukan, selalu saja dinilai salah dan berakibat bentrokan dengan makhluk astral. Selalu ada pembenaran yang memojokkan dirinya. Pembenaran yang tidak masuk akal.

Itulah sebabnya, saat gadis kecil berambut keriting yang bermain ke rumahnya itu bertanya, "Kamu... suka, di sini?"

Matt meluapkan kekesalannya dengan pahit. "Nggak. Negara kalian ini terlalu percaya dengan takhayul dan omong kosong."

Baru saat mata bulat gadis itu membesar karena kaget, Matt menyadari kesalahannya. Kata maaf jelas tak mungkin keluar dari mulut Matt; ego dan gengsi telah membungkam bibirnya.

Terlambat juga untuk berharap bahwa dia tidak akan bertemu gadis berambut keriting itu lagi. Celiné dan dia tampak sudah akrab dan menjalin pertemanan kuat.

Sial.

Awal hidup baru yang benar-benar buruk bagi Matteo Lafleur-Tan.


À Suivre.
1665 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro