Kuncup · 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ran... Ran, hei...."

Ran terus membalik lembar latihan soal dari buku 'Sukses UNAS Tingkat SMP' tanpa menyadari Selin yang sudah memanggilnya beberapa kali.

"Ran!" Kali ini Selin menarik pelan buku latihan soal itu, membuat coretan pensil tercoreng di atas kertas jawaban.

"Eh—maaf." Selin buru-buru melepaskan. "Habis kamu kupanggil-panggil nggak ngerespon..."

Ran meraih penghapus karet dan mulai menggosok coretan itu.

"Ada apa memangnya?" tanya Ran sebelum meniup serpihan karet sisa penghapus.

"Aku mau ngajakin kamu ke kantin dari tadi. Bel istirahat udah bunyi lima menit lalu, loh. Kamunya kenapa fokus banget sih belajarnya? Try out juga masih minggu depan."

Ocehan Selin itu dibalas Ran dengan tatapan datar. Classic, batin Ran, selalu ngentengin masalah pelajaran. Kamu mah enak, Sel, nggak diolemil sama mama sendiri karena nilai quiz di bimbel turun. Nggak kayak aku yang semalem...

"Yuk ah, kantin. Kamu nggak akan kenyang makan soal-soal begini." Selin berkata riang sembari menutup buku latihan soal Ran.

"Emmm..."

"Ayuuuk! Udah ditungguin anak-anak VIP, nih." Selin mendesak.

"Oke." Ran akhirnya bangkit, namun menyempatkan diri memungut buku latihan soal tadi dan sebatang pensil 2B. "Tapi aku bawa ini. Kata Bunda, aku harus mulai biasain belajar kapan aja, di mana aja, dalam kondisi apa aja."

Selin hanya bisa menganga saat melihat Ran berjalan mendahuluinya ke pintu kelas. Ran memeluk buku soal dan melangkah cepat, seakan-akan ingin lekas tiba di kantin untuk kembali mengerjakan.

"Gila... beneran jadi anaknya Tante Ajeng dia," gumam Selin sambil berjalan menyusul langkah cepat sahabatnya.

Di kantin, Ran terus menekuri buku soalnya, sesekali mencoret-coret jawaban pilihan ganda dan menyuap nasi kari makan siangnya.

Selin lebih banyak menghabiskan waktu dengan berbincang bersama geng VIP, sebab sempat beberapa kali dia berusaha mengajak Ran bicara, namun hanya dibalas kata 'hm', 'iya', 'oh', dan 'gitu, ya?' yang bernada datar. Tampak sekali Selin tidak berhasil memecah fokus Ran yang terlampau pekat.

Saat menyuap sendok terakhir dessert-nya, Selin mengerling ke arah Ran, menatap sahabat pertamanya di negara ini dari atas ke bawah seakan meneliti sebuah objek asing di meja mereka. Seketika Selin mendapat ide.

"Eh-eh, chingu-yah..." Selin memanggil teman-teman VIP-nya. "Gimana kalau mulai sekarang kita belajar bareng di rumahku?"

Perkataan Selin itu sukses menarik minat Oliv, ketua geng VIP.‌ Ran pun juga tampak menjeda kegiatannya, mengangkat wajah untuk mendengarkan.

"Wah, ide bagus tuh! Boleh-boleh. Sekalian minggu ini kita juga ada tugas kelompok, ya kan Mon? Car?" Oliv membuat Monic dan Carol mengangguk kompak.

"Nah! Perfecto! Kita mulai nanti sore yuk, gimana? Ran, kamu ikut juga, ya! Kelihatannya kamu lagi semangat banget belajar. Cocok nih!" ujar Selin penuh semangat.

"Boleh, sih..." Ran menggumam tak yakin sebelum kembali menghadap buku soal.

**

Sore itu, lagi-lagi Matt dibuat gondok dengan kegaduhan yang disebabkan oleh tamu-tamu adiknya.

Sudah beberapa minggu ini sekumpulan remaja perempuan menguasai penuh ruang TV kediaman Lafleur-Tan, menggelar karpet tebal dan menggeser sofa layaknya sedang piknik dalam ruangan. Berbagai camilan dan minuman botol bertebaran, juga buku-buku pelajaran yang terbuka tanpa benar-benar dibaca, sebab Selin dan kawan-kawannya selalu sibuk mengobrol dan bercerita seputar idol mereka.

Itu lah sebabnya Matt menghindari ruangan utama lantai bawah rumahnya tersebut. Dia membutuhkan tempat tenang untuk mengerjakan PR yang sudah terbengkalai dan mepet deadline. Sialnya, sinyal Wi-Fi paling kencang di rumah ini adalah di lantai satu. Melihat kondisi sekarang, Matt sempat menimbang untuk menunda mengerjakan tugasnya itu. Masih ada waktu. Seperti nanti malam. Atau besok, di kelas.

Oke, tidak. Menunda lebih lama tidak akan menyelesaikan masalah.

Matt akhirnya memutuskan untuk mencari ruangan lain di rumah ini saja. Tapi sepertinya Dewi Fortuna tidak berpihak pada cowok itu. Saat melangkah ke halaman belakang, dia malah mendapati Ran sedang jongkok di sebelah kolam ikan. Sendirian.

Matt berniat kembali ke kamarnya, tempat yang meskipun sinyal Wi-Fi paling bobrok, namun sudah pasti steril dari kehadiran manusia lain. Namun saat membalik badan, dia mendengar suara aneh dari kolam ikan.

Plung.

Matt menoleh. Tampak di sana Ran megambil sebuah kerikil hias dari sisi jalan setapak taman belakang, dan melemparkannya ke kolam ikan.

Plung.

Lagi. Tampaknya gadis itu tidak sadar sedang diperhatikan oleh pemilik rumah, sebab mata Ran tertuju fokus pada lembar buku soal yang sedang terbuka. Tangan gadis itu meraih kerikil lain, memilin-milinnya seakan dengan begitu pikirannya menjadi lancar, dan ketika sepertinya dia sudah menemukan jawaban...

Plung.

"Heh!" hardik Matt, sontak membuat Ran terperangah.

"K–Kak Matt—"

"Kamu ngapain? Itu kenapa kolamnya kamu lempar-lemparin batu? Nanti kalau ikan koi Papa mati semua, gimana? Mau tanggung jawab kamu?"

Matt maju selangkah, memuat Ran yang panik dan terkejut itu terjatuh dari posisi jongkoknya.

"Maaf, kak, aku nggak ada maksud begitu..."

Matt memeriksa dasar kolam ikan yang sudah ramai dipenuhi bebatuan. Ikan-ikan koi dan ikan emas juga tampak menghindar dari sisi kolam yang sedari tadi diceplungi batu. Entah sudah berapa lama Ran melakukan kegiatan ini, tapi yang jelas hasilnya tampak di situ; kerikil putih itu tampak kontras dengan dasar kolam yang berwarna gelap.

"Maaf," gumam Ran lagi ketika Matt menghadapi gadis itu.

"Ambil." Matt menunjuk ke arah kolam.

"Eh...?"

"Ambil batu-batunya. Keluarin. Ini nanti bisa nyumbat pipa air. Sana, ambil. Tanggung jawab sama hasil tangan kamu sendiri."

Matt masih berdiri tegak, pandangannya lurus dan tegas. Ran yang sudah menciut, menjadi semakin kicut dan dengan pasran menutup buku soalnya. Gadis itu lantas beringsut lebih dekat ke arah kolam.

Tanpa menggulung lengan pendek seragamnya, Ran mulai memasukkan tangan. Ternyata kolam ini lebih dalam dari kelihatannya. Siku Ran sudah tenggelam, namun belum bisa meraih dasar kolam. Ran menarik tangan, melempar pandang ke arah Matt, tampak berharap adanya pengampunan.

"Kenapa berhenti?" tanya Matt.

Ran menunduk dan kembali memasukkan tangannya ke dalam kolam. Kali ini lebih dalam, lebih berani, dan tanpa sadar saja, dagunya hampir mencium permukaan air—bersamaan dengan telapak tangannya yang menyentuh satu batu di dasar kolam.

Ran meraih dan mengeluarkan batu itu. Satu kerikil.‌ Lalu, dia melakukan hal yang sama, lagi. Dan lagi. Beberapa kali.

Saat dilihatnya Ran terus menjalankan kegiatan tanpa ragu-ragu, Matt akhirnya meninggalkan gadis itu ke dalam rumah.

**

"Sel... aku pamit pulang duluan." Ran berucap sembari buru-buru mengemasi barang-barang. Buku paket, latihan soal, buku catatan, dan kotak pensil sudah masuk semua ke dalam tasnya.

"Loh, tumben? Kan masih sore? Biasanya sampai malam kita—"

"Aku duluan." Ran memotong sambil beranjak cepat.

"Ran, tunggu! Itu..." Panggilan Selin sukses membuat langkah Ran tertahan. "Lengan baju kamu kok basah sebelah?" tanya sang nona rumah.

"Nggak papa," jawab Ran sebelum balik badan. Kali ini gadis itu benar-benar pergi.

Selin yang masih berdiri mematung, hanya bisa berbagi tatap dengan sisa tamunya di rumah ini, kepada teman-teman geng VIP yang kompak menggeleng serta mengangkat bahu, dengan air muka yang sama-sama bertanya-tanya.

**

Saat Ran tiba di rumah, lampu teras masih gelap. Sepertinya baik Ayah belum pulang—entah dari kantor Ursa Minor atau dari toko bunga—sementara jadwal Bunda tidak akan selesai dari kampus sebelum jam delapan malam.

Biasanya, Ran pulang dari rumah Selin setelah makan malam di sana, dijemput salah satu dari mereka.

Kali ini, berada di rumah sendiri, Ran benar-benar merasa sepi. Belum lagi saat ini merupakan pergantian siang ke malam hari, waktu surup, membuat Ran buru-buru menyalakan seluruh lampu di rumah ini, mengunci pintu, juga menyalakan TV yang sedang mengumandangkan azan magrib. Gadis itu menaikkan volume suara TV tinggi-tinggi.

Gadis itu percaya, bahwa peralihan dari siang ke petang merupakan waktu di mana garis pemisah antara alam kasar dan halus menjadi tipis. Saat kecil di Jogja, keluarganya selalu melarang Ran keluar rumah di waktu surup ini. Pamali, katanya.

Belakangan Ran juga menemukan istilah senada dari hasil browsing Internet. Selain menyebutkan waktu, orang Barat juga menggunakan istilah 'twilight' atau surup sebagai penggambaran situasi. Twillight, a period or state of obscurity, ambiguity.

Situasi yang abstrak, seperti istilah yang pernah Selin singgung, di bahasa Prancis ada 'entre chien et loup', yang artinya adalah 'waktu antara serigala dan anjing'. Selin menjelaskan, pada pergantian sore ke malam, sinar matahari membuat pandangan kita terbatas, sampai-sampai tidak bisa membedakan mana serigala dan mana anjing. Mana yang nyata dan tidak.

Ran seperti bisa membayangkan—hampir-hampir merasakan—bahwa makhluk-makhluk penghuni tanah lain mulai bermunculan dan mengintip dari sela-sela jendela rumahnya. Ran juga membayangkan bagaimana jika mereka mendapati seorang anak gadis sendirian di dalam rumah. Apakah dia akan menjadi target empuk untuk diganggu?

Berusaha mengenyahkan pikiran aneh itu, Ran menanggalkan seragamnya yang basah setengah dan berganti baju. Gadis itu juga menyempatkan untuk bersuci, mengambil wudu di kamar mandi sembari menunggu di ruang tengah, berharap sang ayah segera pulang supaya mereka bisa salat magrib bersama-sama.

Tapi nyatanya, sampai semburat kemerahan di ufuk Barat tinggal segaris, mobil kumbang Ayah Sakti tak kunjung tampak batang bumpernya.

Akhirnya, Ran buru-buru salat seorang diri di penghujung waktu dengan konsentrasi yang minimalis, ditemani suara televisi yang menyiarkan berbagai iklan acak. Gadis itu pun berdoa, meminta pada Allah untuk dijaga dari mereka, dan semoga orang tuanya lekas pulang ke rumah.

Ayah dan Bunda selalu bilang, bahwa Allah adalah kekuatan mutlak yang maha menguasai. Maka dengan berlindung di bawah kuasa-Nya, Ran akan aman sepanjang hayat. Tentu saja Ran percaya dan mengimani, namun suasana mencekam halaman rimbun rumahnya telah sukses menjadi antitesis ajaran positif tersebut.

Terlebih lagi, biasanya Ran selalu ditemani seseorang yang benar-benar paham akan eksistensi astral itu; Bunda, Bulik, Eyang Uti, bahkan Ayah. Tak pernah Ran harus menghadapi keadaan mencekam seorang diri.

Andai ada Kangmas yang menemani, aku pasti tidak perlu sendirian begini, batin Ran mulai melantur.

Sepotong pemikiran itu membuat ketakutan Ran menjadi surut. Dia percaya, jika arwah saudara kembarnya itu benar masih ada, pasti Kangmas tidak akan membiarkan mereka menjahilinya.

Akhirnya, sembari menunggu, Ran mengeluarkan kelinci abu-abu peliharaannya, Micin, dari dalam kandang dan menggendongnya ke ruang TV. Micin adalah kelinci yang manis dan tidak bar-bar, membuat Ran mudah melanjutkan sesi belajarnya sambil melepas Micin di ruangan itu. 

Sepuluh menit berlalu, dan Ran menyadari bahwa progres yang dilaluinya dalam satu sesi duduk ini jauh lebih banyak ketimbang berjam-jam belajar 'bersama' di rumah Selin. 

Selin dan geng VIP membuat Ran merasa mereka nggak benar-benar belajar. Terlalu banyak bergurau, terlalu berisik dengan menyetel musik-musik K-pop, dan tentunya terlalu efektif membuat konsentrasi Ran pecah belah.

Ran merasa jahat karena memikirkan ini, namun terkadang ia berharap Selin dan teman-temannya sesekali gagal, sebab betapa tidak adilnya dunia ini jika mereka yang belajar secara asal tetap bisa lulus ujian tanpa masalah berarti.

Ran menggelengkan kepala saat menyadari pikirannya kembali jalan-jalan ke hal selain soal. Minggu lalu adalah try out terakhirnya, yang artinya UNAS tinggal menghitung hari. kemarin-kemarin, Ran sudah berusaha semampunya untuk mengajak Selin ke arah kebaikan—belajar dengan serius—namun kini saatnya Ran berjuang untuk dirinya sendiri.

Ran tahu Bunda tidak akan senang jika hanya nilai try out yang bagus, tapi pada ujian benerannya zonk. Ran juga tidak mau memikirkan bagaimana reaksi Bunda kalau itu sampai kejadian. Amit-amit.

Saat Ran akhirnya kembali memfokuskan diri dengan soal-soal, tiba-tiba Ran mendengar suara pintu depan diketuk. Sekali. Dua kali.

Tok-tok...

Benar. Itu suara ketukan pintu kayu yang terdengar begitu nyata di telinga.

Ran perlahan bangkit, memendam rasa ragu dan takutnya seiring langkah demi langkah ia lalui. Pada saat gadis itu tiba di depan pintu, ketukan itu berbunyi kembali.

DOK-DOK-DOK!

Ran tersentak saking kagetnya. Ketukan ini lebih seperti gedoran. Saat Ran hendak kabur dari ruang tamu, suara di balik pintu memanggil namanya.

"Ran..."


À Suivre.
1796 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro