Kuncup · 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


A/N : maaf banget aku ngilang lama. setelah positif kopid, aku juga positif writblock dan demotivasi berkepanjangan. 

oke aku udah kebanyakan alasan. i'm back, dan makasih banget buat yang kemarin udah nagihin update cerita ini :' 

silakan tagih terus, gedor DM-ku biar rajin nulis lagi, dan keluarkanlah kebarbaran ketikan kalian wahai watijen!

diriku memang harus dikasarin kayaknya >:'(

**

"Maaf..." Beberapa kali kata itu terulang dari mulut gugup Ran.

Senior menawan di hadapannya malah tersenyum. "Nggak papa, kok. Santai aja."

Suara renyah Varda membuat Ran sedikit merinding. Selain karismatik, mikro ekspresi dari sang primadona sekolah juga memberikan efek yang sedikit... mengintimidasi.

"Namamu Rantika, ya?" lanjut Varda.

"Eh... iya, Kak." Ran menunduk untuk menyadari sematan nama panjangnya di bordiran dada seragam.

"Kamu bestie-nya Celine, kan? Adiknya Matteo?"

"Betul, Kak." Oh, benar. Ran ingat kalau Varda ini juga sekelas dengan Matt.

"Kok nggak bareng dia?" tanya Varda.

"Em—siapa?" bingung Ran.

"Ya bestie kamu lah, si Celine."

"Oooh... nggak dulu, Kak."

"Hmmm, gitu." Mata Varda kemudian memindai Ran yang merunduk. memungut buku paketnya yang terjatuh. "Matematika, ya? Oh iya, kamu sekarang kelas tiga kan? Apa kamu kesulitan belajar, Rantika?"

Pertanyaan Varda membuat Ran merasa sedikit rikuh. Sambil menunduk, gadis berambut ikal itu mengangkat bahu sambil menjawab, "saya sedang berusaha kok, Kak."

Kini tawa renyah Varda terdengar.

"Hahahah. Santai aja lagi, aku cuma nanya. Eh iya, aku sering loh mentorin adik-adik di rumah, mau MTK atau bahasa Inggris, kita libas semua! Kamu kalau stuck pas belajar, bilang aku aja deh. Nanti pasti aku bantu."

Tawaran itu membuat Ran berpikir ulang. Mengapa bisa ada manusia sekomplit Varda? Cantik, populer, memiliki kuasa, ditambah pintar pula. Belajar di bawah bimbingan sayap Varda akan menjadi kehormatan untuk Ran. Tapi...

"Makasih atas tawarannya ya, Kak." Ran menjawab dengan rancu, sebab jujur, dirinya merasa tidak cukup pantas untuk dirangkul oleh cewek titisan Medusa itu.

"Ya udah kalau gitu," ucap Varda sambil memberi jalan, tanda Ran sudah bebas menuntaskan tujuannya ke kamar mandi.

"Saya duluan, Kak," pamit Ran sebelum menghilang di balik pintu toilet.

**

Minggu demi minggu berlalu, tak terasa Ujian Nasional yang menentukan kelulusan sudah terpampang di depan mata.

Semenjak kejadian kerikil kolam ikan tempo hari, Ran tidak pernah lagi bertandang ke rumah keluarga Lafleur-Tan, terlepas Selin yang sudah mengajaknya beberapa kali—yang tentu saja, selalu berbuah penolakan.

Ini membuat pertemuan mereka jadi terbatas di tempat les dan sekolah saja, di mana setiap bersitatap dengan Selin, Ran mulai sukses membangun tembok secara perlahan, membuat interaksi mereka semakin tipis dan senggang.

Beberapa kali juga Ran berpapasan dengan Kak Varda di sekolah, entah di kantin atau perpustakaan, tapi yang jelas setelah pertemuan pertama mereka di depan toilet perempuan kala itu, sikap Kak Varda terhadap Ran menjadi semakin baik dan ramah.

Ran curiga Kak Varda hanya merasa kasihan padanya, sebab dari seluruh banyaknya siswa di Dharma Sunya, tampaknya hanya Ran saja yang berjalan ke mana-mana sebatang kara. Mungkin jabatan ketua OSIS yang diemban Kak Varda membuatnya harus merangkul siswa-siswa yang bermasalah. Mungkin dari kacamata senior itu, Ran tampak bermasalah.

Entahlah, terlalu banyak kemungkinan yang tak pernah berani Ran tanyakan langsung pada seniornya itu. Lagi pula, Ran juga tidak terlalu ingin dikasihani, pun dia tidak merasa sedang dalam masalah.

Satu-satunya masalah yang menjadi fokus hidupnya adalah Ujian Nasional. Oke, kembali ke UNAS lagi.

Siang ini merupakan siang yang sangat penting, sebab hari ini adalah hari pertama UNAS dilaksanakan, dimulai pukul 13.30. Ran sudah siap dengan seragam lengkap sejak tengah hari. Bunda juga memasak makan siang istimewa, dadar jagung dan sayur asam, ditambah nasi yang hangatnya terasa jatuh di perut kosong Ran.

Sebuah awal yang menyenangkan dari sebuah hari yang penting.

Saat Ran tiba di sekolah, dia langsung menuju bangku yang sudah diatur. Selin tampaknya mengisi ruangan yang sama dengannya, terlepas dari jumlah bangkunya dikurangi dan jaraknya ditambah. Selin mengucapkan 'hey, siang', Ran membalas 'iya', dan mereka tak bertukar kata lagi sampai bel masuk berbunyi, tanda Ujian Nasional dimulai.

Rasanya sensasi berdebar saat mengerjakan soal terbayar lunas dengan napas lega ketika kertas pilihan ganda itu dikumpulkan. Dalam dua hari UNAS yang singkat dan krusial, Ran sudah terbiasa dengan ritme tersebut. Dua ujian mata pelajaran setiap hari, ternyata cukup singkat jika dijalani.

Di luar didugaan, berbalik dengan masa-masa persiapan saat Bunda menekankan Ran untuk belajar, hari-hari ini Bunda malah lebih sering membesarkan hati Ran dan melontarkan kalimat dukungan. menu makan siang yang dimasak Bunda jauh lebih megah dari biasanya, dan omelan Bunda terhenti lenyap entah ke mana. Jujur saja, Ran suka sekali Bunda yang seperti ini.

"Bunda itu memperhatikan usaha kamu selama ini lho, Ran," ucap Ayah dari balik kemudi setir saat mengantarkan Ran. Hari ini adalah hari ketiga sekaligus terakhir Ujian Nasional.

"Gimana, Yah?" Sang anak tidak begitu memperhatikan.

"Ya Bunda sadar kalau selama ini kamu sudah ngoyo (kerja keras), jadinya sekarang dikasih reward habis-habisan. Kerasa, kan?"

Ran nyengir sekilas. "Iya, kerasa. Bunda jadi baik banget."

Kini giliran Sakti yang terbahak. "Memangnya selama ini Bunda nggak baik, apa? Dasar kamu ini."

"Yaaa baik, sih. Cuma, coba aja kalau Bunda baiknya sebegini terus, seterusnya."

"Yo kamu tho yang harus baik terus ke Bunda, rajin belajar kayak gini seterusnya. Pasti Bunda juga jadi baik terus ke kamu. Gimana? Masuk akal tho?"

"Iyaya." Ran tertawa.

Mobil yang dikemudikan Sakti menepi di depan pelataran Dharma Sunya. Sebelum anak gadis semata wayang meninggalkan kursi depan, sang ayah memanggil, "Ran..."

"Dalem (iya), Yah?"

"Selin kenapa udah jarang bareng sama kita lagi ya, belakangan ini? Kalian nggak berantem, kan?" tanya Sakti.

Ran cepat-cepat menggeleng. "Engga, kok."

Sang ayah mengangguk-angguk. "Baguslah kalau begitu. Kalian harus baik-baik lho ya, masih ingat kan hadiah kelulusan dari Bunda sama Tante Gabi nanti?"

Tangan Ran yang sudah siap meraih kenop pintu mobil mendadak berhenti. "Itu yang... liburan ke vila itu kan, Yah?" tanya gadis itu.

"Betul! Nah, jadi kalau ada masalah sama Selin, kamu selesaikan sebelum itu, ya Nduk ya?"

Ran membeku sedetik. Kenapa mendadak ayahnya bisa sepeka ini?

"Supaya kalian bisa enjoy dan haha-hihi seperti dulu lagi," lanjut Sakti sambil mencubit pipi putrinya.

Ran mengangguk dan memaksakan senyum. "Ya udah. Aku duluan ya, Yah. Doakan lancar ujian terakhir ini."

"Amin, selalu." Sakti melepas anak gadisnya dengan senyum tulus.

**

Soal-soal ujian Bahasa Inggris dilahap Ran dengan lancar, meskipun setengah melamun. Waktu tersisa lumayan panjang, bel masih akan berbunyi pukul setengah empat nanti, namun Ran sudah membalik kertas soal miliknya 45 menit sebelum waktu habis.

Ran selalu merasa rikuh jika harus menjadi orang pertama yang mengumpulkan kertas jawaban. Maka seperti kebiasaannya selama ini, dia menunggu sampai siapapun teman di kelasnya untuk mendahului ke depan.

Tak disangka, baru beberapa menit melamun, satu sosok di sampingnya berdiri. Selin.

Bungsu Lafleur-Tan itu tak pernah ragu untuk menjadi yang nomor satu. Dan saat ini, Selin pun melakukan itu. Biasanya, dulu, Selin akan menoleh sekilas ke arah Ran dan memberikan beberapa detik kontak mata yang seakan-akan berkata 'Kamu udah selesai juga, kan? Kumpulin, yuk'.

Namun, kali ini Selin terus berjalan. Sudah seperti itu sejak kemarin. Sejak Selin memberi gestur serupa, namun Ran malah membuang muka.

Mendadak terngiang ucapan Ayah saat mengantar tadi. Apakah sekarang saat yang tepat untuk Ran mengeratkan kembali persahabatannya dengan Selin? Toh ini hari ujian terakhir. Juga, mereka akan liburan bersama. Kenapa pula Ran harus berlama-lama menjadi orang asing bagi sahabatnya sendiri?

Dengan niat yang bulat, akhirnya Ran memberanikan diri. Gadis ikal itu bangkit dan mengumpulkan lembar jawaban, sesaat setelah Selin hilang di balik pintu kelas. Pasti Selin belum jauh.

Ran melangkah untuk menyusul, sambil meramu kira-kira kalimat apa yang cocok untuk dilontarkan sebagai gencatan senjata. Apakah itu 'Sel, kamu udah selesai?', atau 'Sel, soalnya susah nggak?', atau 'Selin, ke kantin bareng yuk?'.

Ah, sepertinya apapun yang Ran katakan akan bersambut baik. Gadis itu hapal betul perangai sahabatnya, yang pasti menerima keramahan dengan balasan hangat dua kali lipat.

Ketika Ran melihat sosok Selin di depan kelasnya, refleks gadis itu memanggil, "Sel—"

Namun langkah Ran segera terhenti. Gadis itu bungkam.

Di hadapan Selin, sudah berkumpul geng VIP yang menyambut hangat. Mereka memulai percakapan dan tertawa bersama, berjalan ke kantin.

Mendadak Ran bertanya-tanya akan keputusannya lagi; apakah tidak lebih baik jika semuanya dibiarkan begini saja?

À Suivre.
1231 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro