Kuncup · 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matt bisa mendengar suara langkah kaki dan degup jantungnya sendiri saat menyusuri lorong. Semua kamar tidur vila ini terletak di lantai dua, sehingga Matt bisa mencapai kamar Celine dalam hitungan detik saja.

"Sudah, ini sudah lewat. Kamu sudah nggak apa-apa..."

Terdengar suara menenangkan Ajeng dari dalam kamar. Matt menghentikan langkah tepat di balik pintu yang setengah terbuka.

"Memang harus berpisah sama ibu kamu, tapi nggak apa-apa. Kamu seharusnya sudah nggak di sini lagi. Mau kan, ke tempat yang lebih baik?"

Ajeng membujuk Celine yang sedang dirangkulnya. Celine mengangguk, masih sedikit sesenggukan. Mata Celine sepenuhnya terpejam.

Lantas Ajeng membelai pelipis Celine, perlahan-lahan menempatkan jemarinya di kening remaja itu.

"Lihat itu yang terang? Nah, ikuti saja itu..." Ajeng berbisik di dekat telinga Celine, membuat tangis remaja itu sedikit mereda dan kepalanya lagi-lagi mengangguk.

Perlahan tapi pasti, tangis Celine hilang sepenuhnya. Isaknya turun tempo menjadi napas biasa, bersamaan dengan Ajeng yang menurunkan adik kecil Matt itu ke atas ranjang. Si bungsu tampak tidur dengan damai sekarang.

"Lho, Matt?"

Teguran Om Sakti membuat Matt terperanjat. Ditambah lagi, suami Tante Ajeng itu menarik daun pintu terbuka sepenuhnya. Matt tertangkap basah.

"Eh, Om..." Cowok itu membuka mulut, tapi tidak ada kata-kata yang terpikir untuk diucapnya.

"Kebangun, ya? Sorry kalau kita berisik, ini adik kamu ngigau karena demam. Takut kenapa-napa." Sakti menjelaskan tanpa Matt minta.

"Oh," gumam Matt sambil melirik Tante Ajeng. Di luar dugaan, ternyata Ajeng juga sedang memperhatikannya.

"Sekarang sudah nggak apa-apa, kok." Ajeng berkata lurus pada Matt, membuat cowok itu mengangguk dengan kaku.

"O-oke."

"Kamu balik tidur lagi, sana." Sakti menepuk bahu Matt, mengisyaratkan bahwa urusan mereka sudah selesai. Sulung itu diusir dengan halus.

Setengah hati Matt mengangguk, dan sebelum dia berbalik, dia menyempatkan diri bertanya.

"Mama sama Papa kemana ya, Om, Tante? Mereka belum pulang?"

Ajeng dan Sakti bertukar pandang sejenak.

"Belum. Udah, nggak usah dipikirkan, kamu lanjut tidur aja."

Sial. Kali ini Ajeng yang mengusirnya. Akhirnya Matt undur diri dari depan kamar adiknya dengan perasaan yang masih mengganjal.

Pertama, peristiwa dalam mimpinya itu—kalau bisa disebut mimpi—tampaknya benar-benar terjadi.

Kedua, Tante Ajeng dan keluarganya memegang jawaban atas semua ini, tapi mereka seperti... menyembunyikan? Menutup-nutupi?

Ah, sial. Yang jelas, Matt tidak akan tinggal diam. Tidak jika ini berkaitan dengan adiknya.

Maka dengan itu, Matt mengendap dan berusaha tidak menimbulkan suara, lalu membelokkan langkahnya menuju tangga ke lantai bawah. Ke dapur.

Setibanya di sana, Matt mengamati sekitar. Tempat ini terasa lebih mencekam dari ingatannya, bahkan tanpa suara-suara bocah hantu yang memanggil-manggil sekalipun.

Dengan hati-hati ia mengambil mangkuk dan sendok, menaruh mangkuknya di atas meja dan menuang sereal ke dalamnya, sementara sendok tadi digenggam oleh Matt kuat-kuat, layaknya sedang mengepal belati.

"Kakak, tolongin ibu saya..."

Ingatan bocah hantu itu membuat Matt menahan napas. Cowok itu lalu menunduk, memeriksa bawah meja makan.

Nihil.

Lagi, tak ada apa-apa di tempat yang sempat ditunjuk bocah hantu itu.

Matt menghela napas. Dia masih belum menyerah. Kali ini cowok itu bersimpuh dan melongokkan separuh badannya di bawah meja, mencoba merasakan apapun yang bisa dirasakan.

Tak ada suara apa pun, atau bau aneh yang menguar di luar batas kewajaran. Matt semakin merunduk masuk ke bawah meja, kali ini merasakan lututnya menyentuh lantai. Duk.

Eh?

Matt menyadari sesuatu. Lantai porselen di bawah karpet dapur ini tidak seharusnya menimbulkan suara 'duk' saat diadu lutut seperti tadi.

Segera, Matt tiarap, lalu mengetuk permukaan lantai di berbagai titik. Dalam beberapa detik saja, Matt bisa menyimpulkan bahwa satu bagian lantai di bawah sana terbuat dari porselen, sementara bagian lainnya adalah kayu.

Oke, berarti tinggal geser meja makan, terus tarik karpet dan—

"Can liao la (sudah cukup)," bisik sebuah suara tua yang tiba-tiba menderu di telinga Matt.

Tanpa peringatan, dalam sepersekian detik Matt mengedipkan mata, seketika pikiran bawah sadarnya memvisualisasikan wujud kakek tua berpakaian hitam dengan janggut dan rambut keperakan serta tubuh kurus. Matt pernah melihat kaken ini sebelumnya; leluhur penjaga keluarga Tan yang disebut I'ie Jia sebagai Kong lao la.

Belum sempat memproses ini semua, Matt kembali dikejutkan dengan suara familier yang tiba-tiba mengudara.

"Matteo? C'est toi (kau kah itu)? Sedang apa kamu di situ?"

Jedug!

Matt bangkit sambil mengusap belakang kepalanya yang terantuk bagian bawah meja. Sembari meringis, ia memperhatikan sosok mama dan papanya yang baru saja masuk dari ruang tamu.

"Nggak ada, aku cuma ambil sendok jatuh," ucap Matt sambil memperlihatkan apa yang digenggamnya. "Mama baru pulang? Kenapa sampai malem banget?"

Gabriella menggeleng frustasi. Tampak sekali gurat kelelahan dari matanya yang runcing.

"Nggak tau, deh. Kita tadi nyasar lumayan lama, mobil rasanya cuma muter-muter terus di jalan."

Matt merespons dengan gumaman asal, diam-diam memperhatikan bagaimana papanya yang juga terlihat lelah, menaruh kunci mobil sembarangan dan langsung beranjak ke lantai dua.

"Adik kamu gimana, Matt?" tanya Gabriella sambil berjalan mendekat dan melewati Matt, meraih gelas untuk meneguk air putih.

"Ada di kamarnya, dijagain sama Tante Ajeng."

Gabriella mengangguk setelah meneguk minumnya. "Baguslah. Tadi Mama cuma dapat Paracetamol untuk demamnya, tapi biar lebih pasti, besok mau langsung kita bawa ke dokter aja dia."

Kini giliran Matt yang mengangguk. Dia memperhatikan mamanya mencuci gelas dengan kilat dan bersiap untuk naik juga.

"Tidurlah, Matt, kalau selesai makannya. Oh iya, itu mangkuk sereal jangan lupa dicuci kalau sudah selesai," pesan Gabriella sebelum meninggalkan putranya.

**

Keesokan paginya, Ran dan Selin bercengkrama di ruang tengah setelah sarapan. Kondisi Selin membaik dengan cepat, dan mengetahui penyebab drop sahabatnya itu, Ran sama sekali tidak terkejut.

Sayangnya, Bunda meminta Ran untuk merahasiakan hal tersebut.

"Tahan dulu saja, Nduk. Masih belum pulih benar temanmu ini, masih lemas. Kasihan kalau dia tau kemarin ketempelan sampai kesurupan gitu. Kita kan nggak tau responnya akan bagaimana? Iya kalau percaya, kalau tidak? Wis, nanti biar Bunda yang coba bicara sama mamanya Selin dulu."

Ran menghela napas sambil memperhatikan sahabatnya yang sedang fokus menonton Ponyo. Selin masih tampak sedikit pucat, namun sudah jauh lebih 'hidup' dari kemarin. Kini Selin sudah bisa makan dengan normal, bercanda, dan tertawa.

"Sel..."

"Hm?"

Ran menggigit bibirnya, berusaha menahan pertanyaan-pertanyaan yang sedari kemarin menggedor pikiran.

"Nggak jadi, deh." Ran urung dan mengubur mukanya di bantal sofa.

Selin menoleh sekilas, tidak tampak curiga. Sudah biasa Rantika menahan opininya, malu-malu dan ragu bercampur jadi satu.

"Mmmm... Ran, kamu tau nggak," ujar Selin memulai obrolan. "Semalem mimpiku aneh banget, lho! Masa aku mimpi ngeliat orang yang udah mati."

Mendengar itu, Ran menegakkan duduknya. "Oh ya? Gimana??"

Selin tersenyum melihat reaksi sahabatnya. Dia memang tau persis tombol mana yang harus ditekan untuk memancing minat Ran.

"Jadi, aku mimpinya sepotong-sepotong sih, cuma nyambung terus gitu."

Ran memangkas jarak ke hadapan Selin, tampak siap mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

"Aku ngeliat ada anak kecil, cowok, nah dia itu nangis sambil pelukan sama ibunya. Tapi wajah si ibu ini nggak keliatan jelas, karena... emmm..."

"Kenapa?" tuntut Ran.

"Kepalanya nggak ada." Selin menggumam ragu. Sepertinya membahas hal ini membangkitkan sedikit kilasan di mimpinya yang sudah hampir dilupakannya.

"Ke-kepala ibunya??" gagap Ran.

Selin perlahan mengangguk. Detik berikutnya diisi dengan keheningan. Ran tampak berpikir dan menyimpulkan, sementara Selin menggelengkan kepala berusaha melupakan bayang-bayang imajinasi samar yang menyeramkan.

"Yah, kamu demam tinggi banget sampai bisa mimpi aneh begitu. Katanya mimpi orang demam emang aneh-aneh, Sel." Ran menutup komentarnya dengan tawa garing.

"Iya, ya?" Selin setuju, lalu ikut tertawa.

Tanpa mereka sadari, kakak sulung Selin sedang memperhatikan dari ruang makan. Matt adalah orang terakhir yang ikut sarapan, juga yang terakhir selesai.

Selain dia, Gabriella, Ran dan Selin, penghuni lain vila ini tidak ikut sarapan bersama. Matt tau papanya masih mendengkur di dalam kamar, sementara Om Sakti dan Tante Ajeng menghilang entah ke mana. Pintu kamar mereka pun tertutup rapat.

Pagi Matt dipenuhi dengan perasaan was-was yang belum terbayar tuntas. Begitu banyak pertanyaan dan kejanggalan yang masih mengawang di kepalanya. Satu hal yang ia rencanakan untuk mengejar jawaban adalah kegiatan yang paling tidak disukainya: konfrontasi.

Matt menarik napas untuk meredakan degupan jantungnya. Ini pertama kali dia akan mencari Tante Ajeng sejak mereka kenal empat tahun lalu. Matt lebih sering mengobrol dengan Om Sakti atau Ran—jika gumaman tak acuh bisa dianggap 'mengobrol'.

Apakah lebih baik Matt bertanya pada Om Sakti saja? Atau, stick to plan A, langsung tembak Tante Ajeng yang jelas-jelas memegang kunci jawabannya?

Matt menimbang-nimbang strateginya sambil bangkit, samar-samar mendengar percakapan dari arah teras depan ruang tamu. Suara mamanya.

"Aduh, sekali lagi terima kasih ya, Mang. Maaf sekali kita harus refund sehari, emergency soalnya. Celine harus segera dibawa ke rumah sakit, terus juga Bu Ajeng harus jemput saudaranya yang dari Jogja." Suara Gabriella tembus dari celah jendela.

"Muhun (baik) Ibu, tidak apa-apa. Saya juga mengerti kalau kondisi genting mah, mana enak liburannya." Mang Tatang sang penjaga vila membalas dengan kalem.

Matt mengerutkan kening sementara benaknya menyimpulkan; mereka jadi pulang hari ini? Dari jadwal yang seharusnya besok? Oke, ini semakin aneh saja.

Cowok itu melanjutkan langkah ke arah ruang tengah. Tak butuh usaha berarti untuk menarik perhatian dua gadis remaja yang sedang menonton TV itu. Berada satu ruangan dengan mereka saja, Matt pasti dihadiahi pertanyaan oleh si kepo Celine.

"Cari siapa, Oppa?" Kan.

"Ran, bundamu mana?" Matt langsung menuju Ran tanpa mengacuhkan adiknya, membuat Celine memanyunkan bibir.

Ran memiringkan kepala sebelum menjawab. "Di... kamarnya, mungkin. Kenapa?"

"Oh. Enggak." Matt menggeleng, lantas lanjut berjalan.

Matt tidak tahu saja, bahwa Ran menautkan alis dan bersitatap dengan Celine. Mereka setuju bahwa perilaku si sulung itu lumayan aneh.

**

Matt mengetuk pelan pintu kamar yang tertutup rapat. Rasanya, keberaniannya tersedot kala detik demi detik berlalu, dan tak ada respons dari dalam ruangan tertutup itu.

Matt hendak mengetuk lagi, tapi dia urung karena mendengar suara kunci yang diputar. Tak sampai lima detik, pintu terbuka. Jackpot. Ajeng berdiri di hadapannya.

"Matt?" Ajeng tampak tidak terlalu kaget. Alih-alih, Matt yang kini merasa tenggorokannya sesak, sebab tak ada kalimat utuh yang dipersiapkannya sebagai jawaban.

"Anu, Tante..."

"Ya?"

"Saya mau tanya sesuatu."

Ajeng tampak menghela napas, lalu membuka pintu lebih lebar. "Masuk. Tante juga mau tanya sesuatu ke kamu," gumam Ajeng setengah berbisik.

Ternyata di dalam kamar terdapat Om Sakti yang sedang mengepak koper mereka.

"Mas, itu si Ran wis kamu suruh packing, belum?" ujar Ajeng kepada suaminya.

"Oh iya. Aduh, anak itu kalau ndak diingetno ya mesti lali (pasti lupa)..." Sakti menghentikan gerakannya dan menggelengkankan kepala, gemas.

"Ya sudah sana sekalian bantuin, biar ini aku yang lanjut." Ajeng langsung mengambil alih baju di tangan suaminya.

Om Sakt lantas bangkit dan melihat Matt di ambang pintu. "Eh, Matteo. Ada apa, nih?"

"Dia mau ngambil foundation Gabi sing tak pinjem, Mas," sela Ajeng sebelum Matt sempat menjawab.

Sakti menggumamkan kata 'oalah' sebelum akhirnya benar-benar pergi dari ruangan ini.

Dari drama singkat barusan, Matt langsung menyimpulkan bahwa dia bukan satu-satunya pihak yang terkena prank rahasia-rahasiaan ala Tante Ajeng.

"Jadi, Matt..." Ajeng memulai sambil duduk bersimpuh dan melipat baju ke dalam koper.

Matt yang sungkan jika duduk di ranjang, memilih untuk bersila di dekat wanita itu.

"Sejak kapan kamu bisa astral projection?"

Pertanyaan Ajeng membuat Matt termenung. Jadi itu namanya?

"Kayaknya... sejak saya tiba di Indonesia, Tante. pas upacara cheng beng empat tahun lalu."

Ajeng mengerutkan kening. "Coba ceritakan dari awal."

Matt meragu. Pasalnya, dia menyambangi wanita ini untuk mendapatkan jawaban atas kejadian semalam, bukannya malah melimpahkan aib terbesar selama 17 tahun hidupnya itu.

Namun, Ajeng masih menunggu dengan tatapan menuntut. Matt pun menghela napas. Mungkin ini yang dinamakan bargain, saling bertukar jawaban.

Akhirnya, keluarlah kalimat demi kalimat dari mulut sulung keluarga Lafleur-Tan itu, mulai dari penampakan monyet Wukong, I'ie Jia dan kertas hu-nya, dan Kong lao la yang disebut-sebut sebagai penjaga. Ajeng memperhatikan sepenuhnya tanpa menyela.

Puncaknya, Matt menceritakan penemuannya di lantai dapur semalam, dan itu memberinya kesempatan untuk balik melempar bom atom pada Ajeng.

"Sebenarnya apa yang terjadi di vila ini sih, Tante?"

Ajeng menarik napas pelan.

"Kamu tau, Matt, papanya Ran sempat tanya-tanya ke Mang Tatang sebelum kita ke sini. Meskipun tadinya si Mamang enggan cerita, tapi akhirnya keluar juga. Katanya, delapan tahun lalu itu vila ini berpindah tangan, ganti pemilik."

Matt mengerutkan kening. Apa hubungannya ini semua dengan bocah hantu yang mengganggu mereka?

Demikian, Matt tetap menyimak.

"Vila ini sempat dibongkar, direnov sebelum disewakan, soalnya dulunya ini bukan vila, tapi gedung biasa. Keliatan kan, tembok antara dapur sama ruang tengah itu baru?"

"Iya, Tante, terus?"

"Terus, karena renovasi dapur itu ngebongkar-pasang lantai juga, mereka nemuin hal-hal janggal."

"Maksudnya?"

"Gangguan."

Ajeng menatap Matt lurus-lurus, sepenuhnya yakin anak itu pasti mengerti apa yang dia maksud.

Wanita itu melanjutkan, "Teror, lewat mimpi, hawa, sampai paling ekstrem menyangkut benda fisik. Alat-alat tukang yang jatuh, berpindah, atau hilang. Bahkan sampai sekarang dipasangi lantai pun, keramiknya sering pecah tiba-tiba. Kamu tau kenapa?"

Matt memutar otaknya. "Karena... tanah di dapur tempat ibu sama anak itu dikubur," tebak cowok itu.

Ajeng mengangguk pasti.

"Loh, t-terus gimana Tante? Jangan bilang—"

"Nggak. Tentu saja nggak nekat langsung numpuk lantai. Mereka ngeruk tanahnya, kok. Dan benar ada, tulang-belulang manusia, anak-anak sama wanita dewasa. Cuman, anehnya... tengkorak si ibu ini nggak ada, Matt. Nggak dikubur di satu tempat."

Matt bisa merasakan bulu kuduknya merinding. "Nggak ada?" ulang cowok itu.

"Nggak ketemu," jawab Ajeng. Wanita itu menghela napas. "Sengaja, kayaknya. Kamu lihat sendiri kan, kata kamu pas di mimpi, ada golok yang... yah..." Ajeng tak sanggup melanjutkan.

Matt memijit pelipisnya yang mulai pening. "Tapi kenapa, Tante?"

Ajeng menghela napas. "Awalnya Tante udah curiga, sih. Kamu tau nggak, Matt, di Indo pernah ada kejadian miri-mirip salem witch trials tahun 80-an."

"Maksudnya... ibunya si anak ini tuh penyihir?"

"Dukun santet," koreksi Ajeng. "Dan kamu tau, pas kemarin si adek-nya ngobrol, dia konfirmasi kalau kecurigaan Tante memang benar. 'Ibu sering bikin orang sakit', katanya."

Matt membuka mulut, lalu buru-buru menutupnya. Lilitan pertanyaan di benaknya mulai terurai satu per satu.

"Terus, kenapa si anak itu minta tolong terus, Tante? Kenapa harus ke Celine juga?"

Ajeng tampak menimbang-nimbang sembari melipat satu baju lagi, seakan-akan mengulur waktu untuk mengatur kalimatnya agar mudah dimengerti.

"Jadi, si adek itu masih nyangkut di sini, soalnya dia yang meninggal duluan sebelum si ibu. Hal terakhir yang dia ingat ya momen-momen helpless-nya itu, gimana dia pengen dia dan ibunya selamat."

"Oke, tapi kenapa harus Celine yang kena?!" Matt mulai emosi.

"Adikmu lahir tanggal lima Oktober, kan?"

"Iya, terus?'

"Ya kemarin itu pas weton-nya si Celine, jadinya badan dia 'kosong' dan mudah keisi. Intinya kebetulan aja, wrong place in the wrong time."

Matt sama sekali tidak mengerti penjelasan Ajeng. Badan apa? Weton apa?

Tapi sebelum Matt sempat mengajukan pertanyaan lagi, terdengar suara pintu kamar yang terbuka.

"Ngeyel (keras kepala) si Ran itu, masih mau nonton filem, terus katanya packing-nya nanti aja," cerocos Sakti sambil melangkah masuk ke dalam ruangan.

Ajeng dengan sigap menyodorkan sebotol alas bedak cair yang entah sejak kapan digasaknya dari atas nakas, menyerahkan botol kosmetik itu pada Matt.

"Oalah, ya wis," respons Ajeng selewat. Lalu wanita itu beralih pada remaja di hadapannya. "Matt, titip sampaikan ke mamamu juga ya, kita berangkat jam sembilan."

Mengerti dengan usiran halus itu, Matt pun mengangguk.

Cowok itu lantas keluar dari kamar orang tua Ran dengan sebotol foundation dalam genggaman, juga pening di kepala sebab pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya terjawab tuntas, kini malah beranak menjadi tanya yang semakin banyak lagi.

Bagaimana Tante Ajeng bisa tau ini semua?

Siapa dia sebenarnya?

 

À Suivre.
2369 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro