Mekar · 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun ajaran baru ini dimulai dengan kabar yang cukup menggemparkan. Tante Gabi dan Om Vic resmi bercerai!

Ran tidak percaya dengan kenyataan itu, dan lebih tidak percaya lagi dengan respons Celine dan Matt yang terlihat santai.

Demikian, ada hal yang lebih sulit diterima lagi di luar itu semua: Celine akan pindah, ikut papanya tinggal di Bali.

Ini sungguh membuat hari pertama mereka bersekolah terasa sangat ganjil, sebab ternyata gosip perceraian orang tua Matt dan Celine sudah tersebar luas seantero Dhama Sunya.

"Kamu nggak apa-apa, Sel?"

Begitu tanya Ran pada jam istirahat pertama, setelah seharian ini banyak tatapan miring dan bisik-bisik selentingan terdengar sampai ke telinga mereka. Ran khawatir dengan keadaan sahabatnya.

"Nggak papa, kok. Aku punya kamu dan..."

Tak sempat Celine menyelesaikan kalimatnya, segerombolan remaja sudah berhamburan sambil memanggil-manggil namanya. Geng VIP telah tiba.

"Celine, oh my God! Are you okay? Kita habis pulang sekolah jadi hangout ya. Kamu harus seneng-seneng! Mau karaoke nggak? Atau mau nge-mall aja?" Begitu tanya Olivia sang ketua geng.

"Atau kalau terlalu rame, kita bisa chill aja sambil jajan. Pokoknya apapun yang lo mau kita bakal temenin." Monik menimpali, sementara Carol yang berdiri di sisinya mengangguk setuju.

Celine tampak terharu. Setengah berkaca-kaca, dia menggumamkan kata terima kasih sambil merangkul mereka semua. Termasuk Ran.

"Habis ini kita nge-mall aja di PIK, terus jajan ke chinatowm, jalan-jalan liat pantai." Celine menyarankan agenda yang langsung disetujui mereka semua.

Siang itu rasanya cobaan hidup sahabat Ran itu tampak tidak terlalu membebani seperti hari-hari sebelumnya.

Berbeda dengan si bungsu, Matt yang dingin dan berjarak juga mendapatkan perhatian serupa oleh Varda dan teman-teman populernya. Sayangnya, dia lebih merasa nyaman jika ditinggal sendiri tanpa huru-hara Varda.

"Matt, lu beneran nggak bakal pindah kan?" tanya Varda untuk yang kesekian kalinya hari ini. Tampaknya dia sungguh-sungguh ingin memastikan jika keputusan perceraian orang tua Matt tidak akan berdampak pada eksistensi cowok itu di Dharma Sunya.

"Nggak. Gue tetap sama nyokap di Jakarta." Matt menjawab jelas dan lugas, perpaduan antara sabar dan malas.

Varda mengangguk puas. Dia tetap menempel pada Matt sepeninggal mereka dari kantin, juga di jam pelajaran terakhir, hingga waktu pulang. Sepertinya masih ada sesuatu yang ingin Varda sampaikan, tapi ketua OSIS yang hendak turun jabatan ini sengaja menahan.

**

Sore ini matahari cantik sekali. Pantai Indah Kapuk merupakan lokasi yang menurut Ran merupakan tempat yang dicomot dari planet lain.

Tak seperti jalanan di Jakarta pada umumnya, jalanan di PIK rapi berpaving, pohon palem tertanam berbaris, bangunannya bagus-bagus, mirip dengan yang Ran lihat di film-film barat dengan setting lokasi di Malibu atau Miami.

Banyak tempat-tempat belanja, minimarket, dan restoran yang cantik-cantik. Ada juga Chinatown, mal, bahkan pantai dengan deburan ombak dan angin kencang.

Ran sedikit ciut. Bukan karena dia baru pertama kali mengunjungi PIK, bukan pula karena harga-harga makanan di sini yang tak sanggup dia beli—-jika tanpa traktiran Celine dan geng VIP.

Ini semua karena saat pulang nanti, Bunda-lah yang akan menjemput mereka. Bunda-nya Ran. Menjemput dia, juga Celine dan geng VIP.

Matilah dia. Bunda kan galaknya setengah mampus.

"Nggak kerasa udah jam setengah enam aja ya," ucap Celine sambil melahap eskrimnya. Mereka sedang duduk di tepi pantai dekat food street dengan matahari yang mulai tenggelam di sisi kiri.

"Iya. Kenyang bwanget." Carol menanggapi. Ran baru sadar hari ini kalau Carol yang tubuhnya paling ceking adalah anggota VIP yang makannya paling lahap.

"Kita pulang habis ngabisin ini ya," ujar Oliv sambil mengacungkan es krim coklatnya.

"Siap bos!" sahut Celine sambil memberi hormat. Sebagai ketua geng, saran Oliv dihargai layaknya titah atasan.

Rak tak berkutik saat detik berikutnya Oliv bertanya, "Rantika, kamu udah hubungi mamamu kan?"

Glek. "Sudah. Sepuluh menit lalu aku chat. Dia balas katanya lagi otewe."

"Sip." Oliv mengangguk.

Ran menelan ludah lagi sebelum membuang batang es krim rasa matcha yang sudah dihabiskannya.

Waktu berjalan terlalu cepat. Sebelum matahari tuntas tenggelam, Bunda sudah tiba menjemput mereka.

Bunda datang mengemudikan mobil kampus, sebuah Avanza berwarna putih seperti susu. Jarang-jarang Ran bisa menumpang mobil ini, sejarang Bunda punya waktu untuk mengajaknya jalan-jalan. Hari ini semestinya jadi hari keberuntungan.

"Halo," sapa Bunda dengan ramah ketika Ran dan teman-temannya sudah duduk di dalam mobil.

"Hai Tante," balas Celine riang, diikuti koor balasan yang sama oleh geng VIP.

Sembari mobil berjalan, Bunda mengencangkan pendingin udara yang meniup angin sejuk hingga ke belakang, lalu memilih saluran musik radio yang memutar lagu kekinian yang enak didengar.

"Gimana tadi? Seru?" Bunda memulai obrolan sambil melirik kaca rear-view.

Dari keempat remaja yang duduk di kursi tengah dan belakang, hanya Celine yang menyahut antusias. "Puas, Tante!"

Geng VIP kompak tebar senyum formalitas. Ran bisa maklum, mungkin belum nyaman ngobrol sama Bunda yang nggak begitu dikenal mereka.

Ajeng tersenyum. "Puas-puasin ya kalian, jajan sama makan-makan sekarang. Soalnya minggu depan kan kita udah puasa, jadi Ran nggak bisa bebas makan siang-siang begini."

Mereka mengangguk sambil mengiyakan. Ran sendiri sedikit kebingungan. Mana Bunda-ku yang galak itu? Kenapa sekarang jadi baik begini? Peri gaib mana yang merasukinya?

Bunda lanjut bertanya. "Kalian pada puasa?"

Kali ini suara baru terdengar di mobil mereka.

"Cuma Monic aja, Tante," ucap Oliv.

"Oh ya?" Balas Ajeng. "Monic yang mana, nih?" Bunda melirik ke kaca tengah, bertepatan dengan lampu penyebrangan yang menyala, menghentikan mobil mereka.

Monic dari kursi paling belakang mengacungkan tangan. "Aku, Tante. Kita satu geng yang muslim cuma aku sama Ran aja. Ya kan, Ran?"

Ran sedikit terkejut. "Eh... iya." Gadis mengangguk ragu dari kursi depan. Sebenarnya dia juga baru tahu.

Lampu penyebrangan berkedip sebelum mati. Mobil kembali jalan. Kali ini jalur mengarahkan melintasi jembatan gantung, menuju tol yang diapit hutan rawa tembakau tengah kota.

Obrolan mereka pun kembali berlanjut, dan meski Bunda yang sedang dalam mode malaikat, dia tetap menjadi dirinya sendiri ketika mengeluh tipis tentang jadwal kantor dan sekolah yang akan berubah ketika ramadhan tiba.

Bunda bilang saat ini adalah minggu kejepit, di mana tahun ajaran baru dimulai namun jadwal akan segera dirombak. Belum lagi cuti bersama dan libur lebaran di penghujung bulan nanti.

"Baru aja libur udah libur lagi," kata Bunda.

"Kalian rencananya liburan hari raya di mana? Nggak mau ikut Tante sama Ran main-main ke Jogja?" Bunda mengatakan ini sambil mengadu tatap Celine dari kaca tengah.

"Aku mau nyamperin keluargaku yang lagi stay di Sydney, Tante," ucap Oliv.

"Kalau aku sama mama papa rencananya mau ke Jepang," imbuh Carol.

Monic sendiri menjawab, "Kami sekeluarga nggak kemana-mana, Tante. Harus stay soalnya jadi tuan rumah reuni keluarga besar."

"Woooh, kerennya." Bunda Ajeng mengangguk-angguk. "Kalo Celine? Mau ikut ke Jogja, nggak? Hitung-hitung bayar hutang liburan di vila kemarin. Kamu kan belum sempat nikmatin."

"Serius, Tante?! Ya mau lah!"

Celine memekik tak buang tempo. Ran sampai menoleh, mengadu tatap dengan sahabat yang kini matanya sudah berbinar-binar. Celine tersenyum lebar sekali. Ran jadi ketularan senyum juga.

"Jadi aku langsung minta ijin ke Mama aja nih ya, Tante?" ucap Celine dengan semangat yang masih meletup-letup.

Bunda Ajeng mengangguk. "Ya, sekalian ajak abangmu juga ya."

"SIAP!" Celine cekikikan. Tawa kecil yang lagi-lagi tertular sampai bibir Ran.

Ran menoleh ke luar jendela, melontarkan senyumannya pada langit senja yang semerbak merahnya sudah mulai hilang menjadi guratan-guratan cakrawala. Gadis itu bertanya-tanya apakah masih ada sisa waktu magrib saat mereka sampai di rumah nanti.

Gadis berambut keriting itu masih terus memandang ke luar jendela, mengabsen lampu-lampu jalan dan pohon-pohon rindang yang berdiri berjejeran. Bunda telah memilih jalur lengang yang bebas dari kemacetan, sehingga tak banyak kendaraan lain yang menyalip ataupun berjalan bersisian.

Ran bisa mendengar sayup-sayup obrolan di kursi tengah dan belakang. Mereka meminta Bunda untuk menurunkan Oliv di tempat futsal pacarnya, yang arahnya satu jalur di depan.

Bunda menjawab "iya" dan terus menyetir, namun tiba-tiba saja Ran merasakan mobil oleng.

Gadis itu menoleh ke kanan dan mendapati bundanya menggenggam setir begitu erat. Wajahnya memucat, dan dengan satu hantaman Bunda membanting setir ke kiri.

Mobil mereka hampir menabrak trotoar jalan.

"Kenapa kenapa?"
"Eh, ada apa?"
"Tante nggak papa?"

Semua pertanyaan itu lewat saja di telinga Ran. Gadis itu fokus memperhatikan bundanya yang mengelus dada, menata napas, sambil mengucap istigfar berulang kali.

"Barusan... ada yang lewat ya, Bun?"

Ran tak kuasa menahan rasa penasaran bercampur khawatir. Dia tak peduli jika pertanyaan barusan menghasilkan gumaman kebingungan dari kursi belakang.

Bunda menatap Ran sambil mengangguk pelan. Wanita itu sudah kembali menguasai diri.

Dengan tenang, Bunda berdeham lalu menjawab, "Iya, barusan kucing lewat."

Mobil pun kembali jalan.

**

Ran memeluk Micin sambil mengintip sembunyi-sembunyi ke ruang tengah.

Ayah dan Bunda hampir tidak pernah bertengkar. Ran pun tahu, meskipun sekarang nada suara orang tuanya sedang meninggi, mereka tidak sedang bertengkar.

"Terus piye? Kamu nggak papa kan? Anak-anak aman semua?" Ayah Sakti menyuguhkan teh hangat untuk Bunda.

"Aman. Nggak apa-apa. Tadi kita juga sudah numpang solat magrib di rumah temannya Ran," jawab Ajeng.

Itu benar. Tadi Ran dan bundanya menumpang ibadan di rumah Monic.

"Harus e berhenti di masjid aja. Nggak baik ditunda-tunda begitu. Kejadian kan." Sakti menghela napas. "Lagian kenapa sih kamu maksain bawa mobil? Punya kampus pula. Kalau kenapa-kenapa gimana..."

Ajeng menaruh gelas tehnya dengan kasar. "Sampai kapan kamu mau meremehkan aku sih, Mas? Aku yo juga ngeh dan nggak bakal hilang fokus! Buktinya sekarang, semua selamat tho?!"

"Dek..." Sakti meraih tangan Ajeng, menggenggam erat di dekat dada. "Aku cuma khawatir."

Ajeng menghela napas. "Ya, aku juga..."

Lalu pandangannya berlabuh ke luar jendela garasi yang kini berisi dua mobil.

"Semoga nggak ikut sampai rumah."

**

À Suivre.
1536 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro