11. BAYANGAN MASA LALU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Spesial part buat kisah Jimi, Rendi, dan Gina :)

enjoy reading guys...

.

11. BAYANGAN MASA LALU

Setelah malam pementasan berakhir, tepatnya pukul 01.15 pagi, Jimi segera melihat keberadaan adiknya dengan menaiki motor ninjanya. Dia melajukan motor membelah jalanan sepi setelah pulang mengikuti balapan liar yang selalu menjadi permainannya setiap malam.

Jimi memarkirkan motornya setelah sampai di parkiran sekolah, dilihatnya beberapa anggota Osis masih berjaga setelah acara besar-besaran itu digelar begitu megah. Ia berjalan berencana mencari kelas adiknya, namun perjalanannya terhenti saat ia melihat Gina bersama Rendi tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Matanya masih menyiratkan rasa rindu juga benci yang bercampur aduk saat ia mengingat kembali kisah persahabatannya saat mereka masih SMP. Aroma rokok mulai menyengat indra penciuman Rendi dan Gina saat berhadapan dengan Jimi yang berpenampilan casual dan urakan.

Jimi mengeluarkan tatapan penuh kebencian saat berpapasan dengan Rendi. Sorot mata yang menunjukkan permusuhan yang dibalas Rendi dengan tatapan rasa bersalah dan penuh penyesalan. Sebaliknya dengan Gina, gadis itu menatap Jimi tidak suka.

"Aduh, hebat banget pasangan absurd ini. Berduaan malem-malem. Mojok? Ah.. gue jadi inget kejadian si berengsek itu." Jimi melempar tatapan sengit pada mereka berdua. Senyuman miring mulai tersungging di bibirnya.

Rendi berusaha tidak terpancing dengan perkataan pedas Jimi yang membuatnya kembali teringat kejadian tiga tahun lalu. Dimana ia menyimpan semua rahasia Jimi yang mulai tertarik dengan Gina saat mereka bertiga masih menjadi tiga sahabat sejati.

Dimulai pertemuannya dengan Gina saat MOPD, Jimi langsung merasakan rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Pertemuan mereka menjadikan mereka semakin dekat. Sampai akhirnya datanglah Rendi dalam kehidupan mereka sebagai murid baru pindahan Bali saat kelas sepuluh.

"Kalian janji kan gak bakalan ninggalin gue?" Gina tersenyum menatap kedua lelaki di hadapannya, "Ayolah, kita kan udah sahabatan dari kelas satu. Sekarang mau kelas tiga loh! Kita pasti beda sekolah."

Yang dilakukan Jimi hanya menatap Gina kagum. Ia mulai merencanakan bagaimana caranya ia bisa mengungkapkan semua perasaannya pada Gina. Jimi melirik ke arah Rendi yang tersenyum tulus pada Gina. Dan dari awal juga, Jimi sudah memperingati Rendi untuk tidak menyukai perempuan yang sama. Harap-harap cemas Jimi tidak menginginkan hal itu terjadi.

"Gue janji, gue gak bakal ninggalin lo sendirian. Jim? Jimi?"

"Gue gak janji gak bakal ninggalin lo. Tapi gue janji gak bakalan hapus nama lo di hati gue." Jimi menatap Gina penuh kepastian. Siulan dari Rendi membuat Gina menatapnya heran.

"Start terus sob, wikwiw!"

Gina masih saja melayangkan tatapan tidak mengerti maksud mereka berdua. Bukannya semburat merah di pipi Gina yang terlihat, Jimi menemukan titik terang dibalik manik mata Gina. Sesuatu yang yang membuatnya merasakan perih yang berdesir di hatinya.

Gina menyukai Rendi. Gina miliknya mencintai sahabatnya. Gina berharap Rendi lah yang menyukainya.

Bukan!

Bukan Jimi yang berusaha meluluhkan hatinya. Bukan Jimi yang berusaha meminta bantuan Rendi untuk memberi saran mendekatinya. Bukan Jimi yang selama ini selalu menjadi sandarannya jika bercerita banyak hal tentang Rendi. Bukan Jimi yang selalu setia menyayanginya. Bukan Jimi yang setulus hati mencintainya.

"Maksud lo apa Jim? Gue sama sekali gak ngerti. Maaf okey!" Gina menjawabnya dengan tanda damai. Tersenyum layaknya pada kebanyakan orang. Senyuman untuk teman. Bukan untuk seseorang yang spesial. Namun bagi Jimi, gadis itu sangat spesial untuknya. Kehadirannya membuat atmosfir hatinya kembali hidup.

Mendengarnya Jimi tersenyum, enggan berkomentar.

Rendi menyikut lengan Jimi, "Besok kan malam perpisahan. Kita ke rumah pohon yuk! Jangan lupa bawa jaket. Lo juga Gin, sukanya dipinjemin jaket sama Jimi. Gue nya kapan Jim?"

"Najong lo!" sahut Jimi dan Gina bersamaan.

Tepat di malam perpisahan, ketiga sahabat itu sudah menepati janjinya untuk mengunjungi tempat paling berharga bagi mereka. Rumah pohon di dekat sekolah yang mereka bangun saat masih kelas delapan. Semuanya merupakan ide brilian Rendi. Rendi yang saat itu bercita-cita ingin menjadi arsitek mulai merancang rumah pohon tersebut dengan teliti. Kini mereka bertiga tengah menyantap mie pedas dalam cup. Wajah mereka memerah seiring rasa pedas mie yang membuat mereka kepanasan.

Jimi tersenyum saat melihat wajah Gina yang mulai memerah, lucu pikirnya. Tatapannya beralih pada Rendi yang notabene tidak menyukai makanan pedas. Rendi menyeruput mie dengan sedikit mengeluarkan air mata karena saking pedasnya mie tersebut. Jimi tidak tega, ia beranjak dari duduknya hendak turun dari rumah pohon tersebut

"Gue beli air dulu ya! Lo-lo berdua harus abisin tuh mie! Awas aja kalau gak abis. Gue cium lo semua!"

"Najong lo!" sahut Rendi dan Gina bersamaan, sedetik kemudian tawa mereka mulai berderai.

Jimi terkekeh mendengarnya, ia melanjutkan perjalanannya untuk membeli minuman di warung dekat sekolah.

Saat ia berusaha menaiki rumah pohon dengan membawa beberapa kantong plastik berisi minuman, ia tidak sengaja mendengar percakapan hangat antara kedua sahabatnya yang sama sekali tidak menyadari kedatangannya di belakang mereka.

"Ren! Lo itu lucu banget sih! Jadi pengen nabok pipi lo deh!" ujar Gina berusaha menoyor kepala Rendi. Rendi masih tertawa berusaha menghindari tangan Gina.

"Gue gak lucu. Tapi gue ganteng!" sahut Rendi menyisir rambutnya percaya diri.

Tawa Rendi berhenti saat melihat Gina menatapnya dalam. Sampai akhirnya Rendi mulai merasakan detakan jantungnya yang berdegup kencang. Hati Rendi mulai berkhianat. Seharusnya ia tidak merasakan hal yang sama seperti Jimi. Rendi mulai mendekati Gina dengan hati-hati, logikanya kini kalah dengan hatinya.

"Ren, gu-gue-"

"Gue suka sama lo Gin.. gue cinta sama lo.."

Remuklah hati Jimi saat mendengar pernyataan Rendi pada gadis yang ia cintai. Tangannya mulai mengepal geram, namun tubuhnya mulai melemas. Hebat sekali Rendi mengkhianati persahabatannya dengan mudah. Barusaja siang tadi Jimi menceritakan rencananya untuk menembak Gina pada lelaki itu. Emosi seketika mulai menyeruak mengalahkan logika Jimi tentang kebaikan Rendi selama ini.

"Waw! Sungguh drama sampah yang menyakitkan. Ternyata, serigala berbulu domba lebih banyak berkeliaran di halaman rumah ya! Kenapa kalian gak ciuman aja sekalian? Sukseslah kalian mematahkan hati seseorang yang berada di belakang layar."

Jimi bertepuk tangan keras, menyadarkan mereka dengan tersenyum miris. Rendi benar-benar menyesali perbuatannya. Walau bagaimana pun, bom waktu sudah meledak. Rendi tidak dapat lagi berbohong dengan perasaannya pada Gina.

"Jimi! Ini gak seperti yang lo liat! Rendi cuma-"

"Cuma menyatakan perasaanya dengan jujur? Di belakang gue? Atau di depan gue? Oke fine. Gue udah tau Gin, dari awal lo gak pernah tahu perasaan gue. Yang gue tahu, lo bahagia dekat sama gue cuma sebagai sahabat. Gak lebih. Dan lebih menyakitkannya lagi, gue udah suka sama lo, berusaha mengetuk pintu hati lo, berusaha mendapat secuil aja balasan dari lo, tapi hasilnya nol besar. Malah lo sama sekali gak sadar, udah keberapa kalinya lo matahin hati gue? Dan lo masih aja suka sama yang buat lo kagum, bukannya hargain perasaan gue yang berusaha dapetin hati lo." Jimi memotong penjelasan Gina. Tatapan penuh rasa kecewa yang mengalir dari relung hatinya yang retak secara sempurna.

"Jim, gue bener-bener minta maaf. Gue tahu gue salah. Please, lo jangan marah sama Gina. Semuanya murni kesalahan gue. Gue juga gak tahu, perasaan aneh itu datang secara tiba-tiba. Gue-"

"Dan lo? Lo kenapa gak bilang dari dulu kalau lo itu suka sama Gina! Gue gak ngerti sama pola pikir lo yang otak Jerman itu. Logika lo emang bermain cantik, tapi hati lo bener-bener licik!" Jimi kembali memotong penjelasan Rendi. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. Tangannya sudah gatal ingin memukul wajah Rendi dengan brutal.

Tapi tatapan Gina membuatnya luluh. Gina berusaha meredakan emosi Jimi dengan menggenggam kedua tangannya. Berusaha untuk menjelaskan apa yang seharusnya Jimi mengerti. Dalam suasana seperti ini, rasa bijaksana memanglah sulit untuk sekedar berkata-kata. Gina melirik ke arah Rendi untuk tidak terpancing emosi jika Jimi semakin berbicara yang tidak-tidak pada mereka.

"Jimi, kalau lo sayang sama gue, dan kalo lo cinta sama gue, sekarang gue minta, lo dengerin dulu penjelasan dari Rendi. Gue tahu, lo marah sama gue, silahkan. Sama Rendi, silahkan. Tapi maaf, gue gak bisa jatuh cinta sama lo. Gue gak bisa bohongin perasaan gue sendiri. Gue minta maaf kalau misalnya semua usaha lo buat gerakin hati gue itu sia-sia. Maaf gue gak pernah balas perasaan lo. Tapi gue mohon, kita tetap masih bersahabat lagi. Gue gak mau, hanya karena masalah sampah seperti cinta, persahabatan kita hancur gitu aja."

"Persetan sama yang namanya sahabat! Sekali tukang tikung ya tukang tikung. Musuh dalam selimut gak akan pernah berubah! Sekalinya sahabat, ya jadi bangsat juga! Ternyata, sahabat jadi cinta itu emang gampang ya! Segampang sahabat jadi bangsat! Gue kecewa!"

Jimi membantingkan kantung plastik berisi minuman yang dibelinya dengan sadis di hadapan kedua sahabatnya itu. Ia pergi menuruni tangga hendak pergi meninggalkan mereka. Gina yang mulai menangis berusaha menahan lengan Jimi.

"Jimi, please, gue minta maaf. Gue sayang sama lo, Rendi juga sayang sama lo. Please.. maafin kita Jim, lo jangan ninggalin kita."

"Lo gak inget ini malam perpisahan? Sama kayak hubungan kita, ancur. Perpisahan yang paling tragis. Dan lo, jangan harap gue bakal deket lagi sama si berengsek itu." Jimi menghentakan tangan Gina dengan keras.

"Jim! Gue gak mau persahabatan kita jadi korban ke-egoisan lo! Gue minta maaf Jim! Gue gak mau kehilangan lo." Rendi berteriak saat Jimi berjalan menuju jalanan berusaha menghiraukan panggilan mereka.

"Kalau lo terus-terusan marah, oke! Fine! Gue bakal menjauh dari kehidupan lo! Gue bakal benci sama lo! Gue gak mau kenal lagi sama lo! Gue.. hiks.. gue kecewa sama lo.." teriakan Gina seperti badai petir di hati Jimi. Suara Gina yang bergetar mulai berganti menjadi tangisan yang terdengar pilu seiring ia menatap punggung Jimi yang kian menjauh meninggalkannya.

"Maafin gue, Gin. Seharusnya gue gak bicara soal perasaan laknat gue itu. Seharusnya gue buang jauh-jauh perasaan suka gue ke elo itu. Gue bener-bener minta maaf, Gin, gue minta maaf.." Rendi berjalan ke arah Gina yang terduduk lemas di tepi tangga, menariknya ke pelukan hangatnya. Mereka berdua mulai menangis menyesali perbuatan yang membuat persahabatan mereka hancur secara tiba-tiba, tanpa aba-aba. Sungguh kebetulan yang sangat tragis menimpa ketiga sahabat itu.

"Jim, lo jangan asal nuduh kalau belum ada bukti. Dari dulu lo emang gak pernah berubah ya, menyimpulkan seenak jidat apa yang lo liat." jawab Gina ketus, berusaha menghindari tatapan mata Jimi yang jelas-jelas menatapnya lekat.

"Gue mau ke wakasek kesiswaan. Bukan seperti yang lo bilang." tambah Rendi menatap Jimi terang-terangan.

"Oh, gue gak nanya. Rama mana?"

Sungguh jawaban yang sangat menyebalkan. Jimi mulai menanyakan keberadaan Rama untuk sekedar mengantarnya pada adik perempuannya. Rendi menghela napas panjang, berusaha menghilangkan rasa bersalah saat berhadapan dengan Jimi.

"Rama ada di lapang. Gue duluan sob!"

Rendi lupa, kata "Sob!" memang sensitif bagi persahabatan mereka dulu. Gina sempat melirik ke arah Jimi yang masih tertegun tanpa sebab. Sedetik kemudian Jimi tersenyum sinis menatap Rendi dan Gina bergiliran.

"Sorry, gue lupa sama masa lalu. Thanks!"

Begitu sakit rasanya saat Rendi dan Gina mendengar jawaban Jimi yang menusuk. Mereka berusaha memaklumi sikap Jimi yang tega melupakan masa-masa indah persahabatan mereka yang sulit untuk bersatu kembali.

Jimi melenggang pergi meninggalkan sisa aroman rokok yang menempel di tubuhnya. Rendi menggeleng menatap Gina, "Lo jangan sampai kepancing ya. Gue akan tetep berada di samping lo."

Gina tersenyum miris, "Gue tahu. Makasih."

Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan menuju ruang wakasek kesiswaan.

***

Kedatangan Jimi bersama Rama ke tempat Jane membuat semua siswi yang melihatnya silih bertanya-tanya. Ada hubungan apa Jimi dengan salah satu teman di antara mereka itu. Pandangan matanya menelusuri setiap kelas tempat menginap bagi anak perempuan. Jane yang secara kebetulan masih belum tidur mendapat teriakan dari Jimi di pintu kelas.

"Jane! Sini!" Panggil Jimi dengan mendapat teriakan histeris dan bisikan kaum hawa dari teman sekelas Jane terhadap hubungan mereka.

Rama hanya tersenyum saat beberapa siswi di antara mereka silih memanggilnya hanya untuk sekedar menyapa. Jane berjalan ke arah Jimi, berusaha menghilangkan rasa risih saat mereka bertiga menjadi pusat perhatian anak perempuan di sana.

"Baru pulang balapan? Menang?" Jane memeluk Jimi dengan erat. Berusaha menenangkan dirinya di dalam dekapan hangat kakaknya. Sontak semua fans fanatik Jimi merasa iri bukan kepalang. Rama di sampingnya hanya terkekeh melihat semua tingkah laku anak perempuan yang terlalu terobsesi pada Jimi.

"Menang lah! Gue ke sini khawatir sama lo. Lo kan orangnya rada-rada lemot. Jadi gue takut lo diculik mahluk di sini." Jimi mengusap lembut rambut adiknya.

Jane meregangkan pelukannya, menatap Jimi jengkel. "Gue gak lemot ya, Bang!"

Jimi terkekeh, "Gue balik ya! Kalau ada apa-apa telepon gue. Gunanya hape tuh buat komunikasi, bukannya di simpen di tas mulu. Gue susah mau nanya keadaan lo."

Jane ikut terkekeh saat kakaknya mengetahui sifatnya selalu menyimpan ponsel di dalam tas. Jane melirik ke arah Rama yang sedari tadi berharap bisa mengobrol banyak dengan Jane. Namun sekarang rasa canggung mulai membentengi mereka. Rama berusaha mengubur dalam-dalam perasaannya terhadap gadis di hadapannya. Membuang semua rasa yang selalu bergetar saat bertatap muka dengannya.

Jane mendelik pada Jimi, "Kak Rama ngapain anter dia, buang-buang waktu. Biarin aja dia kesasar nyari kelas adeknya."

"Pulang ke rumah, gue cium lo abis-abisan!" Jimi menggeram gemas saat mendengar pernyataan menyebalkan dari adiknya. Jane meleletkan lidah melihat raut wajah Jimi yang berlipat-lipat kesal.

"Kalau kamu ada masalah, bilang gue aja ya." Rama berusaha menengahi perdebatan kedua kakak beradik di sampingnya, yang tentu saja menjadi pusat perhatian kaum hawa di ruangan tersebut.

Jimi melirik jam di pergelangan tangan, menarik Jane kembali ke pelukannya. "Gue sayang sama lo. Lo jangan khawatir ya! Gue gak bakal pulang. Mamih pergi ke Bandung buat ketemu rekan bisnis restorannya tadi. Jangan lupa, baca doa okey!"

"Aku gak apa-apa kok, Bang Jimi jangan khawatir."

"Ehem! Jangan lama-lama ya kak, gue masih ada kerjaan." Rama berceloteh keras di samping Jimi. Tawa kakak beradik itu berderai, membuat Rama semakin kesal.

"Ya udah, gue balik. Bye!" Jimi mengerlingkan matanya ke seluruh anak perempuan di sana. Teriakan histeris juga kor kemenangan mulai menggema saat Jimi dan Rama beranjak pergi dari ruangan tersebut.

Jane kembali ke tempat tidurnya dengan lemas, sesekali menghembuskan napas berat mengingat kejadian saat di toilet bersama Rey. Ia tak habis pikir, mengapa ia sampai terbawa buaian juga cumbuan lelaki itu. Untuk kali pertamanya ia merasakan gairah yang terpancing hanya karena sebuah tatapan juga dorongan mata yang membuat hasratnya menyelimuti pikiran jernihnya. Benar-benar malam yang meresahkan baginya.

"Jane, tadi Kakak lo tadi bilang apa?" Tanya Zenita sembari berbalik badan menghadap ke arahnya.

Jane hanya menggeleng pelan. "Dia cuma khawatir kalau gue sampai gak balik ke kelas, takut diculik katanya." jawab Jane sedikit mengerucutkan bibirnya, terlebih ia mengkhawatirkan kakaknya jika terus-terusan mengikuti balapan liar.

"Mungkin ada benarnya juga, toh tadi kan acara besar-besaran, ratusan orang ada di lapangan, wajar aja sih Kakak lo khawatir, ya udah tidur gih!" Jane hanya mengangguk pelan, pikirannya semakin kalut saat ia berusaha memejamkan kedua matanya hendak tidur. Berusaha menghilangkan semua ingatan tentang kejadian memalukan di toilet tersebut.

***

Larutnya malam membawa kesunyian dalam setiap detik berputarnya waktu. Semilir angin malam yang dingin menusuk kulit membuat semua orang di sekolah tersebut terlelap dalam tidur.

Terkecuali bagi Rey. Dia masih menatap ribuan cahaya bintang dengan sinar bulan purnama yang sangat cantik. Sesekali meneguk vodka, berusaha menghilangkan rasa sakit hatinya saat mengingat jawaban Jane yang terdengar kontradiktif dari hatinya. Sesekali ia menggeram kasar, mengacak rambutnya frustrasi seiring kejadian itu kembali terbayang di pikirannya.

"Gue ini kenapa sih! Bisa-bisanya gue terobsesi sama tuh cewek! Udah tahu dia itu suka sama Kakak gue sendiri. Anjir! Ini jantung kenapa lagi, ah!" Rey menepuk-nepuk dada sebelah kirinya, berusaha menetralisir detakan jantungnya saat mengingat kembali beberapa moment bersama Jane.

Rey menghisap rokoknya perlahan, menghembuskannya dengan santai dan penuh perasaan. Kepulan asap rokok semakin berbaur dengan udara di sekitarnya. Hingga terdengar derapan suara sepatu tengah menghampirinya. Rey masih dalam posisinya, tidak merasa takut karena tertangkap basah merokok juga meminum minuman keras.

"Rey, mau sampai kapan lo duduk di sini? Cepet tidur, gue gak mau lo sakit."

Suara Rendi terdengar tegas saat mendapati adiknya tengah mabuk kepayang. Terlihat dari mata Rey yang sudah memerah. Rey menatapnya sengit, seakan lelaki di sampingnya adalah rival terberatnya untuk bersaing mendapatkan hati juga perhatian Jane. Tanpa banyak bicara, Rendi merebut botol minuman tersebut juga rokok yang langsung dibuangnya lalu diinjak sampai mati. Rey terkejut, berusaha merebut kembali botol yang Rendi sembunyikan di balik almamaternya.

"Lo gak usah ikut campur, kalau mau bawa sendiri dari rumah-"

"Balik ke kelas! Gue gak mau lo sakit! Ngerti!" Tegas Rendi dengan tatapan yang membuat Rey sedikit ciut. Aura seorang kakak mulai terlihat saat Rendi menatap Rey penuh ketegasan. Rey berdecih, membuang muka ke arah lain. "Lo itu kenapa sih Rey, ada masalah? Cerita sama gue. Apa lo masih berurusan sama anak sekolah lain? Apa masalah ejekan dari anak sekolah lain? Atau masalah tawuran belum kelar-"

"Temen gue ada yang suka sama lo. Dia kayaknya terobsesi gitu sama lo. Sampai rela ngelakuin apa aja buat tahu semua hal tentang lo. Dan itu buat gue gak suka!"

Rendi menatapnya penasaran, baru kali ini adiknya mempermasalahkan temannya yang terobsesi padanya. "Siapa?"

"Pokoknya gue punya temen di kelas yang suka sama lo. Tapi di sisi lain, gue kayak ada rasa aneh sama dia. Ah! Dasar! Gue bingung, ini itu berita bagus buat lo atau berita buruk buat gue!"

Rey menggeram frustrasi, mengacak rambut menatap Rendi meminta penjelasan. Rendi terkekeh lalu memukul pundak adiknya pelan. Ternyata sang adik bisa juga move on dari mantan kekasihnya.

"Siapa tuh cewek! Minta nopenya dong!"

"Gak! Gak bakalan gue kasih!" Rey menggeram marah saat Rendi berusaha memancingnya dengan meminta nomor ponsel gadis itu. Rendi berusaha menahan tawa saat melihat tingkah laku adiknya yang terbilang labil.

"Positif. Kenapa lo marah? Dia kan sukanya sama gue? Wajar dong gue minta nopenya. Gue pikir, dia pasti cantik." Rendi kembali memancing reaksi adiknya, Rey kembali melempar tatapan sengit padanya.

"Gue gak mau lo sampe nyakitin hati dia. Gue mau lo terima dia apa adanya. Kalau pun lo tahu siapa orangnya, lo bakal menjauh kalau tahu latar belakang tuh cewek."

Rendi menaikan alisnya, "Lo cemburu Rey."

"Hah?"

"Lo positif cemburu. Lo itu harusnya perjuangin cinta lo, walaupun dia ngejar gue, tapi lo jangan kalah buat ngejar dia. Lo harus bisa mengalihkan perhatian dia dari gue. Cobalah.. approaching."

Rey tertegun, berusaha mencerna setiap kata dari penjelasan Rendi sebelumnya.

Cemburu?

Kata itu berhasil membuat Rey tertohok. Rey terkekeh saat mengetahui bahwa dirinya sudah bersikap protektif saat mencomblangi gadis yang membuat perasaannya aneh. Rendi tersenyum berusaha meyakinkan Rey untuk segera menyadari isi hatinya.

"Approaching? Gimana sih lo bang! Gue kan ceritanya mau nyomblangin dia sama lo. Lo single, kan? Kak Gina cuma sahabat lo doang, kan?"

Rendi merasa gemas sendiri, mengingat Rey yang selalu memberi pertanyaan menjebak saat berhubungan dengan Gina. "Gue sama Gina cuma sahabatan. Lo itu kenapa gak sadar-sadar sih! Udah jelas-jelas lo itu suka sama tuh cewek. Eh, malah ngotot nyomblangin ke gue."

"Jelas-jelas gue gak cemburu!"

"Ck! Cemburu itu peduli Rey. Lo peduli banget sama nasib dia kalau dia jadian sama gue,"

Rey mendengus kasar, "Bang, kalau gitu gimana ya caranya buat bisa approaching-an sama dia? Biar dia gak terpengaruh terus sama lo?" Rey menatap Rendi antusias. Berusaha untuk menyimak semua jawaban yang akan Rendi lontarkan.

"Lo harus pake cara yang out of the box. Pakai cara yang antimainstreem. Yang beda. Tapi tetep bisa buat lo deket atau buat dia jatuh cinta sama lo secara perlahan, atau terbiasa bersama."

Rey berpikir keras, berusaha menimang bagaimana cara yang dimaksud Rendi tersebut.

"Udah ah! Balik ke kelas, kita tidur."

Rendi menarik tangan Rey untuk segera beranjak kembali ke kelas khusus anak laki-laki. Rendi berusaha bersikap sabar terhadap sikap adiknya yang masih dalam kelabilannya. Dia memakluminya, karena dia juga pernah mengalami hal yang serupa seperti yang dialami pada adiknya sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro