22. BECOME A BAD GIRL?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SEASON 2 READY?
___________

22. BECOME A BAD GIRL?

Perasaan yang hancur akhirnya menyadari, bahwa sebuah harapan kini hanya sebuah delusi. Delusi yang mengikat kenangan manis lalu berakhir tragis. Haruskah cinta seperti ini? Haruskan kisah cinta serumit ini? Apakah arti dari sebuah pengharapan yang kini hanya menjadi kenangan pahit semata? Ataukah menjadi duri yang siap menusuk hati jika mengingatnya? Mengingat semua perlakuan cinta yang kini hanya mempermainkannya? Membodohi Tuannya? Mengguncang setiap perasaan yang menginginkan balasan semata?

"Jane, lo harus tau."

Barusaja gadis berambut cokelat kepang itu hendak memasuki kelas, Zenita sudah terlebih dulu menghadangnya di depan pintu kelas. Jane menatap sahabatnya malas, berusaha tidak peduli dengan teman sekelasnya yang jelas-jelas memperhatikan wajah dinginnya.

"Apa?"

"Ada murid baru!"

Jane terkejut, detik kedua wajahnya kembali datar. Saatnya untuk beraksi! Soraknya dalam hati, "Kelas mana? Cowok?" Semoga cowok.. Bahan move on..

Zenita menatapnya datar, melengos panjang mendorong Jane masuk kelas, "Je.. jawab gue elah... siapa? Cowok, kan? Ya, kan?"

"Iya kali kalo murid barunya cowok, dari tadi gue udah heboh!" celetuk Dea saat Jane merengek meminta jawaban. Kali ini hanya Dea dan Nopi yang selalu terlihat heboh dibanding Hira.

Akhir-akhir ini Hira jarang sekali tersenyum, membuat kehebohan, berdebat dengan siapa pun, dia lebih memilih untuk diam dan tersenyum lesu. Sempat Rey dan anak-anak lain menggodanya dan bertanya dengan sikapnya yang semakin menjadi pendiam. Sempat digosipkan karena putus dengan Rizki. Hira membantahnya dengan pelan, berusaha menutup-nutupi. Sama halnya dengan Dea dan Nopi yang mengerti dengan perasaan Hira.

Jane mengernyit kecewa, "Yah.. gak seru!"

"Emang kenapa kalau cowok? Mau lo gebet?" kini suara Adit mulai terdengar kontras di meja guru. Tangannya masih berkutat dengan tugas rangkuman Bu Okeu yang sadisnya beberapa lembar itu, "Mending lo jadian aja sama Rey, dia udah bener-bener suka sama lo. Kasihan anak orang lo php-in!"

Jane mendelik sebal mendengarnya, enggan menjawab. Yang dikasih harapan palsu itu gue! Bukan gue ngasih harapan ke dia!

Sudah hampir satu semester Jane pindah tempat duduk menjadi di depan dekat meja guru paling pojok. Tujuannya satu, berusaha untuk melupakan dan mencoba untuk menerima kenyataan. Jika saja ia masih duduk di samping Rey, sudah pasti hatinya mulai berkhianat untuk membuka pintu hatinya kembali.

Sehari setelah tragedi di halte bus, Jane berusaha melupakan segala hal yang menyangkut dengan lelaki yang telah sukses membuatnya patah hati. Sampai bergantian tempat duduk menjadi di pojok kanan paling depan, dekat dengan meja guru. Zenita memakluminya, ia hanya menuruti apa kemauan temannya itu. Rey yang sempat terkejut melihat gadis di samping bangkunya berbeda, berdiri lalu berjalan menuju tempat duduk Jane.

"Lo pindah bangku?"

Jane menatapnya sengit, berdiri lalu menggebrak meja dengan keras, "Bukannya ini yang lo mau? Gue jauh dari lo? Lo puas?"

Rey tersenyum remeh, "Kurang puas."

Jane mendorong bahu Rey kuat, "Lo pindah sekolah sono! Masih kurang puas? Lo ikut aja keluarga lo ke Bali! Masih kurang puas?"

Kini semua teman sekelas menatap mereka penasaran, membuat Zenita berusaha untuk menenangkan Jane yang hampir meledak.

"Udah Jane, enggak usah kebawa emosi. Rey, lo mending pergi deh!"

Rey mengangguk, tanpa banyak bicara ia kembali berjalan menuju tempat duduknya di belakang. Suara gebrakan meja kembali terdengar lebih kontras dari arah belakang kelas, membuat ruangan tersebut semakin menegang. Trio Alay yang awalnya tengah bergosip ria, merasa terkejut dengan suara gebrakan keras tersebut.

Jane berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal akibat menahan amarah. Zenita menoleh ke arah sumber suara. Didapatinya Rey tengah mengait tas punggungnya hendak keluar kelas.

Bimo yang melihatnya langsung menahan aksi lelaki itu, "Lo mau kemana, vroh? Bentar lagi pelajarannya Pak Deri!"

"Cabut." sahut Rey datar, tanpa ekspresi.

Bimo menatapnya kagum, ikut mengait tas "Gue ikut!"

"Hei.. kalian berdua mau kemana? Kabur?" kini Adit menatap kedua temannya tajam, yang ditatap terus saja berjalan, "Kalian tega gak bakal ngajak gue?" ucap Adit spontan, dramatisnya, buku absenan di genggamannya jatuh ke lantai.

Rey semakin mengacuhkan rengekan Adit, sesaat tatapannya terhenti saat ia hendak keluar pintu kelas. Ia menoleh ke arah Jane yang jelas-jelas menatapnya nanar. Sedetik kemudian mereka Rey, Bimo, serta Adit pergi meninggalkan kelas diiringi kor kekalahan dari kubu anak laki-laki, juga kor kemenangan dari kubu anak perempuan.

"Kemana boss?" tanya Adit asal.

Rey mendengus, "Ke makam Ibu gue."

Kebetulan kursi Jane dekat dengan jendela kelas. Tangannya mulai menyingkap gorden jendela, matanya seketika mulai memanas saat melihat pemandangan yang membuatnya terkejut bukan main.

"Udah mulai main tembak rupanya,"

"Liat apaan Jane?" tanya Nopi bereaksi membuat kehebohan kelas sambil berjalan menuju bangku Jane. Dengan cepat, Jane menutup kembali gorden tersebut dengan kasar.

"Jane! Lo mau kemana! Bentar lagi masuk!" Zenita terkejut melihat sahabatnya tiba-tiba berjalan menuju keluar kelas. Dengan langkah cepat ia mulai berdiri hendak menyusul sahabatnya.

"Guys!!! Si Setan Rey nembak si murid baru di parkiran coy!"

Mendengar teriakan Nopi saat melihat objeknya tersebut, akhirnya Zenita mulai mengetahui penyebab sahabatnya berlari keluar kelas. Semua teman sekelas mulai mengikuti aksi Nopi mengintip dari jendela kelas. Dea bersusah payah menaiki meja berusaha melihat seorang yang diam-diam disukainya itu. Sempat Dea memarahi Kevin yang menghalanginya melihat di balik jendela.

"Awas cowok mesum! Jangan halangin gue!”

"Mana-mana?"

"Sok ganteng, kece, tampan, mempesona banget tuh cowok!"

"So sweet banget lagi pake mawar segala! Sambil berlutut gitu... "

"Hati gue serasa patah Rey… “

"Kapan.. gue kayak tuh cewek. Beruntung banget kalo jadian sama Rey.. "

“My future husband…”

“Kalian tuh gak punya selera yang tinggi ya! Heran gue!” Kisha mendelik sebal mendengar semua ungkapan kedua anak buah Hira di tempat duduknya, siapa lagi kalau bukan Dea dan Nopi. “Amit-amit deh gue jadian sama anak setan, iuh!”

“Gak penting anjir.” Sementara Hira, gadis itu sama sekali tidak peduli dengan apa yang tengah terjadi di parkiran sekolah. Ia lebih memilih saling mengirim pesan dengan kekasihnya. Ia sangat malas menanggapi aksi troublemaker kelasnya itu.

“Tumben lo gak heboh? Lo sakit Ra?” tanya Adit menatap lurus Hira yang kini menundukkan wajahnya. “Belakangan ini gue khawatir sama lo. Takutnya lo pake obat penenang gitu,”

Hira mendongak, menatap tajam Adit yang kini tengah mengacungkan tangannya bertanda damai.

“Aduh! Damai Ra, damai!”

Hira melempar spidol kelas yang diraihnya di meja Kisha langsung menimpa kepala Adit dengan keras. Membuat Adit meringis kesakitan. “Mulut lo terlalu naif buat ngomong, Dit. Diem, atau lebih dari ini.”

Mendengar ancaman Hira, Adit kembali mengerjakan tugas dengan tergesa-gesa.

***

Jane semakin penasaran dengan tindakan lelaki itu, ia berjalan cepat menuju parkiran tanpa memikirkan risiko bagi hatinya.

"Gue terima."

Tepat saat Jane sampai di tempat gadis asing itu menerima pernyataan rasa suka Rey, tepat di depan mata kepalanya sendiri, Rey mencium punggung tangan gadis di hadapannya tanpa ragu. Bahkan gadis itu sama sekali tidak berontak saat Rey memeluknya erat. Riuh sorakan kor kemenangan mulai mengisi kawasan parkiran. Rey sukses menancapkan belati tepat di hati Jane paling dalam. Rey berharap usahanya berhasil untuk membuat Jane semakin membencinya, menjauhinya, dan melupakannya setelah melihat adegan tersebut.

Jane merasakan tubuhnya mulai melemas, setetes air mata mulai mengalir di pipi. Dengan cepat ia mengusap air mata itu dengan kasar. Berusaha mengeluarkan senyuman palsu untuk ikut merasa bahagia melihat lelaki di hadapannya itu telah bersama gadis lain.

"Jane.. huh.."

Dengan napas tersengal-sengal, Zenita muncul dari arah belakang. Zenita terkejut melihat pemandangan yang seharusnya tidak baik untuk sahabatnya itu. Ia menarik tangan Jane untuk segera meninggalkan parkiran tersebut.

"Ngapain lo di sini! Kita ke kelas-"

"Bentar Je, gue mau lihat cowok yang udah sukses matahin hati gue bahagia sama cewek lain. Mungkin, dia bukan cowok yang Tuhan kasih buat gue, karena gue terlalu berharap sama tuh cowok."

Zenita mendengus kasar, "Hati lo itu lagi sakit Jane! Udahlah! Jangan pernah mikirin orang lain yang belum tentu dia mikirin elo! Kita ke kelas!"

“Tapi, boleh kali ya kalo gue kangen sama yang udah jadi milik orang lain?”

“Tuh kan, mulai galau lagi.. Udah, cowok lebay kayak si setan gak usah dibuat galau.”

Jane menunduk, tubuhnya bergetar berusaha menahan tangis. "Gue butuh hiburan Je, lo punya?"

"Please, kalo lo sahabat gue, kasih gue hiburan."

Zenita menatapnya tajam, lalu tersenyum sinis, "Kita bolos sekarang!"

"Bolos? Gue gak bawa baju ganti-"

Zenita menggeleng, lalu menepuk pundak Jane, "Lo kayaknya baru pertama kali cabut ya? Keliatan banget!"

Jane mendelik sebal. Ditatapnya Rey melewatinya dengan acuh tanpa melirik sedikit pun ke arah mereka. Jane hanya bisa menggigit bibir melihat perubahan sikap Rey yang terlanjur membuatnya sakit hati.

"Tuh cowok nyebelin tingkat setan! Gue heran.. kenapa bisa lo jatoh cinta sama yang begituan? Ck!"

Jane tersenyum menanggapi pertanyaan Zenita, "Yang gue tahu, cinta itu.. sesuatu yang gak pernah lo ngerti. Yah! Cinta itu racun buat Tuannya sendiri."

"Lo mah suka baper! Udah! Kita kan mau cabut!"

Jane menepuk keningnya gemas, "Oh! Iya yah! Gue lupa! Kita bawa tas!"

Zenita gemas sendiri, dengan cepat ia menahan langkah Jane yang hendak kembali menuju kelas, "Ck! GAK USAH BAWA TAS!"

Jane menoleh, matanya membulat seketika saat melihat beberapa guru tengah berjalan ke arah mereka.

"Je.. kayaknya.. kita bolosnya nanti aja." Jane menggaet tangan Zenita yang jelas-jelas menolaknya.

"Apaan sih! Kita itu mau-"

"Walah-walah! Kalian berdua teh belum masuk kelas?"

Suara Bu Okeu dengan aksen sundanya mulai bertanya. Zenita yang awalnya kukuh mengajak Jane bolos hanya bisa tersenyum miris lalu menarik tangan Jane kembali menuju kelas.

"Dasar budak zaman ayena."

***

"Rokok? Emang... Gak apa-apa kita ngerokok di sini? Kan rokok itu gak baik Je.. "

Sudah beberapa menit Jane menghabiskan waktunya hanya untuk memilih merokok atau tidak di dalam toilet. Yah.. toilet sekolah.

Zenita mengajak Jane untuk melakukan percobaan bolos di saat jam pelajaran dimulai, dengan alasan pergi ke toilet, Zenita sukses membawa temannya itu keluar kelas.

"Udah lima menit sayang.. mau, atau kita bolos keluar sekolah!" Zenita mendesis kesal sebelum akhirnya menghisap rokok di sela jarinya.

Jane menunduk, menatap rokok yang mengeluarkan asap pekat hingga aromanya tercium kuat di sekitar toilet perempuan. Diliriknya Zenita yang nampak menikmati rokok yang dihisapnya.

"Kenapa lo ajak gue ngerokok? Udah jelas-jelas rokok tuh gak-"

"Jangan banyak bacot. Mau, atau enggak? Lo jelas-jelas udah buang-buang waktu tau nggak! Ini yang namanya warna! Warna kehidupan remaja!"

Jane menatap rokok itu lekat-lekat, berusaha membulatkan tekadnya untuk melakukan hal yang berakibat buruk untuknya. Tangannya mulai berkhianat, sedetik kemudian rokok tersebut sudah ia hisap dalam-dalam. Rasa manis, pahit, serta kepulan asap mulai menguasai indera penciuman Jane setelah merasakan satu kali hisapan saja.

"Uhuk-uhuk! Pahit Je.. " Jane terbatuk-batuk, meringis sesekali meleletkan lidah.

"Entar juga bakal terbiasa. Itu buat pemula." Zenita terkekeh melihat tingkah Jane yang terbatuk-batuk.

Jane meringis, menatap Zenita tidak mengerti, "Lo gak takut ngerokok kayak gini?"

Zenita mendengus, "Enggak. Asal lo nekad dan gak bersugesti aja. Anggap aja rokok itu hiburan tersendiri buat lo. Bukan racun."

Jane mengernyit, "Je, bukannya ini racun?"

"Jangan bersugesti!"

Jane meringis, kembali menatap rokok di genggamannya. Rey.. lo kok suka ngerokok sih? Apa setiap hari lo itu suka ngerasain hal seperti ini? Ancur?

"Orang lain udah pada bisa ngerokok, masa lo enggak sih! Lo mau dianggap cupu lagi? Dibully lagi? Enggak, kan? Selama lo bisa ngebully orang, kenapa lo harus takut buat sesuatu yang melewati batas? Nakal sedikit gak apa-apa kali."

Mendengar pengakuan Zenita, Jane menoleh tidak percaya, "Oh! Gue pikir lo itu sahabat gue Je, kenapa lo ngajak gue yang gak bener kayak gini! Hasut gue biar gue masuk zona buruk lo! Gue tahu, lo anak broken home. Tapi please, lo itu anak PMR Je! Harusnya lo tau rokok itu jelas-jelas racun buat lo! Gue pikir, lo bakal ajak gue karoken, ke kantin, ke perpus, kemana kek!"

"Lo pikir lo itu siapa sih Jane? Trio Alim juga bukan. Ngaca dikit bisa? Lo jangan sok suci jadi orang! Gue tahu, gue emang anak broken home, anak gak tahu aturan yang bisa-bisanya ngajak temennya yang gak bener. Tapi lo sendiri? Apa lo enggak sadar, hidup lo sebegitu ancur hanya gara-gara satu cowok yang belum tentu itu jodoh lo! Gue kasian sama lo Jane, gue gak mau lo kena jeratan si Rey lagi. Gue cuma pengen dia itu makin gak suka sama lo karena kelakuan lo yang mulai gak bener."

Jane terdiam, berusaha mencerna apa yang dikatakan sahabatnya itu. Please, gue gak mau ancur kayak anak-anak lain. Tapi..

"Gue bakal buat lo move on dari tuh cowok. Asal lo mau ikutin cara sahabat hina lo ini."

Jane menatap Zenita tidak percaya, "Lo emang bener-bener keras kepala Je! Jelas-jelas gue gak mau ancur kayak anak-anak lain Je!"

"Denger, gue gak akan buat lo kecewa. Ikutin cara gue, gue pastiin. Dia bakal ngejauh dari lo, atau balik ngemis minta lo balikan."

"Je.. lo kenal sama tuh murid baru?"

Jane mulai mengalihkan pembicaraan, tanpa sadar ia mulai menghisap rokok tersebut berkali-kali.

Zenita menggeleng, "Enggak."

Jane mengangguk, "Yaudah, gue bakal ikutin cara lo."

***

"Jane cepet elah.. entar Pak Beni liat berabe!"

"Aduh! Rok gue nyangkut!"

"Cepetan Jane Demetria... "

Zenita mulai melancarkan aksinya, yaitu mengajak Jane membolos di jam KBM dengan cara melompati pagar belakang sekolah. Zenita merasa gemas sendiri melihat rok milik Jane tersangkut. Jane menatapnya bingung, dengan paksaan ia merobek sedikit rok yang tersangkut tersebut lalu melompat ke sebrang pagar. Melihat Jane berhasil melakukan aksinya, dengan langkah cepat Zenita menyusulnya tanpa tersangkut sekali pun.

"Loh? Kok gue sampe ada acara nyangkut segala ya?" tanya Jane kagum melihat aksi temannya itu terbilang mulus.

"Lo baru pemula. Gue sering kalo pas SMP. Sekarang aja bakat gue kembali terasah."

Jane mendelik sebal, "Serah dah serah... "

Saat Zenita menoleh ke sebrang pagar, matanya membulat seketika saat melihat Rendi yang barusaja memergoki mereka melakukan aksi melompati pagar.

Jane ikut menoleh, ia terkejut bukan main "Je! I-itu Ketos! Kita ketahuan!"

Zenita menatap Jane sengit, "It's show time!"

Dengan gerakan cepat Zenita menyambar tangan Jane berlari menghindari amukan Rendi yang berusaha menghentikan mereka.

"WOY! Kalian berdua! Jangan kabur!"

Mereka berdua hanya bisa tertawa lepas saat berlari menjauh dari pagar belakang sekolah. Jane merasakan ada yang menarik dalam aksinya tersebut. Senyuman mulai terukir di bibirnya. Zenita menoleh ke arahnya, berusaha memastikan apakah temannya itu merasa bahagia atau tidak.

"Lo keren Jane!"

Jane menoleh, "Maksud lo?"

"Lo berhasil bolos Jane! Bolos sekolah!"

Jane merasakan jantungnya berdegup kencang saat mengetahui bahwa dia barusaja membolos dari sekolahnya.

Bolos? Gue.. bolos sekolah? Gimana kalo Mamih sama Kak Jimi tahu...?

"Udah! Jangan banyak pikiran. Mending kita ke mall yuk!"

Jane menerima ajakan Zenita dengan menarik temannya itu berlari menuju bus saat mereka barusaja sampai di halte bus.

"Jane!" pekik Zenita tertahan saat melihat Jane tersenyum tulus padanya.

"Buat gue bahagia ya, walaupun itu cuma sehari aja buat gue. Ya..?"

Zenita mengangguk mantap, "Gue bakal buat lo bahagia Jane. Untuk hari ini, dan seterusnya, gue sahabat lo."

Jane tersenyum, seluruh penumpang bus mulai menatap mereka prihatin. Anak sekolah berkeluyuran di dalam bus menuju kota membawa tas juga rok yang sobek.

"Rok punya lo boleh juga.. "

Mendengar celetukan Zenita yang keras, Jane tidak segan-segan menatapnya tajam, "Kita diawasi Je. Mereka anggep kita anak yang nggak bener."

Zenita menepuk keningnya gemas, "Dasar amatiran.. "

***

"Nggak bisa Dek. Ini itu waktu anak sekolah masih belajar. Apalagi anak SMA kayak kalian! SMA kan biasanya pulang jam dua, jam tiga."

"Ayo dong Pak.. sekolah kita lagi bebas kok! Boleh masuk ya Pak.. boleh ya.. "

"Enggak boleh! Saya bilang nggak ya nggak! Kalian itu anak SMA yang suka bolos kan! Nggak akan saya biarkan kalian masuk!"

"Tapi Pak-"

"Pergi! Saya bilang nggak bisa! Atau saya akan menelpon pihak sekolah kalian sekarang!"

Jane menunduk, menghela napas panjang melihat perdebatan antara Zenita dengan satpam tersebut. Tangannya berusaha menarik Zenita kembali untuk meninggalkan satpam yang setia menjaga nama baik mall tersebut.

"Je.. udahlah. Kita balik ke sekolah aja."

Zenita menatap Jane datar, "Kalo gitu, sama aja bunuh diri neng! Gue punya ide!"

Zenita melangkah meninggalkan satpam tersebut. Jane mengikutinya dari belakang, "Kita mau kemana?" Zenita berhenti di salah satu toko pakaian yang berada di pinggir mall. "Kita ngapain ke sini Je?"

Zenita menarik tangan Jane masuk ke dalam toko tersebut, "Kita beli baju di sini, baru kita ke mall."

Jane melihat sekeliling ruangan yang dipenuhi bermacam pakaian tersebut, walau pun tidak semahal yang ada di mall.

"Lo mau bahagia enggak?"

Jane menoleh, mengangguk samar.

"Makanya! Pilih baju lo sekarang! Tenang.. gue yang bayar!"

Jane mengernyit, sedetik kemudian ia berlari memilih pakaian yang disukainya dengan berteriak kegirangan. Zenita terkekeh melihatnya.

"Wooaaa!!! Gue mau yang ini! Sama celananya yang-"

"Jane Demetria! Kita itu mau main! Bukannya mau ke kutub!"

Zenita menggeleng melihat pakaian yang Jane pilih, kaus oblong berwarna biru muda sepanjang lengan dan celana jeans panjang.

"Tapi gue suka yang ini! Lucu tau, kayak artis Korea gitu.. "

Zenita mendengus melihat gelagat Jane yang terlalu tergila-gila dengan mode pakaian ala remaja Korea Selatan. "Lo diem di sini, gue bakal pilihin baju yang cocok buat lo!"

Jane mengerucutkan bibirnya, "Oke! Asal masih dibatas wajar, gue serahin semuanya sama lo."

Beberapa menit berlalu, Zenita kembali dengan satu pakaian yang menurutnya pilihan terbaik untuk Jane. Jane tidak berkomentar, ia langsung memakainya dengan kasar.

"Je.. gue bilang kan masih dibatas wajar. Lo mau gue jalan pake yang beginian?"

Jane menatap dirinya lamat-lamat di depan kaca. Sebuah kaus berwarna pink-peach panjang dengan overall berbahan jeans, dengan bagian celana yang pendek, "Lo.. gila Je!"

Zenita mendengus sebal mendengarnya, "Lo emang nggak ngerti zaman ya, Jane." tanpa merasa malu, Zenita berganti baju tepat di hadapan Jane.

"Ck! Gak usah depan gue bisa?"

Zenita memutar bola matanya malas saat membenarkan ikatan bra mililknya, "Gue harap lo gak tertarik sama gue!"

Jane mencibir, menarik salah satu ikatan bra Zenita lalu dilepasnya dengan sadis. "Punya lo gede juga ya!"

Zenita meringis, mengusap bagian pundaknya yang sakit, "Daripada punya lo, kecil! Rey mana mau sama yang kecil kayak gitu!"

Jane mendelik sebal, "Ya udah! Ambil aja tuh cowok buat lo! Lo kan lebih berpengalaman, terus punya lo gede, terus-"

Zenita mencubit pipi Jane gemas, "Lebay! Gitu aja ngambek! Jealousy!"

"Biarin! Cemburu tandanya cinta! Ups! Otak gue korslet barusan. Anggap aja gue barusan gak ngomong apa-apa. Jangan bilang-bilang ya Je.. "

Zenita mulai menahan tawa saat melihat Jane yang salah tingkah hanya karena sebuah candaan tentang Rey. Jane berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.

Zenita menggeleng, "Gue saranin, lo harus buka rambut kepang lo. Masa Badgirl dikepang sih? Yang ada diwarnain!"

Tanpa sadar, Jane mulai melepas kepangan rambutnya hingga rambut cokelat milik Jane terurai dengan sedikit gelombang bekas kepangan. "Lo.. blasteran Jane? Rambut lo udah warna cokelat gitu?"

Jane mengangguk, "Gue campuran Amerika-Indo. Kakek gue dari Amerika. Makanya gue punya nama belakangnya itu Demetria. Tapi.. gak keliatan, kan? Gue blasteran?"

Zenita menggeleng, "Nasib. Kalo dari deket aja sih keliatannya.. kalo diperhatiin, lo emang kayak anak blasteran. Keliatan dari kulit, rambut, mata, sama hidung. Pantes Rey ngejer lo sampe mati-matian, karena dia bener-bener merhatiin lo. Banyak cewek cantik di luaran sana. Tapi kenapa Rey pilih elo? Karena lo itu menarik."

Jane mendengus, "Menarik? Menarik buat diberi harapan palsu gitu?"

Zenita menepuk Jane pelan, "Menarik buat dia cintai. Jangan mau kayak rembulan yang indah dari kejauhan doang."

Lengang. Jane mulai memperhatikan pakaian Zenita yang pasti lebih memperlihatkan apapun yang dimilikinya. Mereka berdua mulai memoles wajahnya dengan sedikit bedak, lipgloss, dan eyeliner di setiap sudut mata mereka. Jane tersenyum, senyumannya mulai memudar saat mengingat darimana Zenita bisa mendapatkan uang untuk membelikannya pakaian dengan mudah.

"Je..?"

"Apa?"

"Lo.. dapet duit dari mana?"

"Kepo."

Jane mendengus. Saat Zenita mulai memutar kenop pintu ruang ganti, dengan cepat Jane menahannya, "Jawab gue, lo.. gak jual diri, kan?"

"Enggak Jane. Ini terlalu tabu buat diomongin. Udah! Kita ke mall! Jangan lupa, pake!"

Jane menerima salah satu sunglassess dari balik tas Zenita, "Kita pake ini?"

Zenita mengangguk mantap.
Tiga detik kemudian, mereka berdua keluar dari ruang ganti dengan sunglassess masing-masing. Dengan gaya penuh percaya diri, mereka mulai menebar pesona pada setiap pasang mata yang melihat mereka prihatin.

***

Di sudut kelas, tepatnya sarang penyamun mulai berkoar tidak karuan saat mengetahui Rey barusaja mempunyai seorang kekasih. Rey yang kini sibuk dengan membalas pesan untuk pacar barunya, membuat Bimo serta teman pentolan kelasnya bersiul ke arahnya.

"Cie.. yang udah punya pacar. Lupa sama masa jomblonya, ck!"

Rey menoleh, "Belajarlah move on dari sekarang, siapa tahu, cinta datang karena terbiasa. Ataupun sebaliknya, love at first sight."

Saat teman sekelas mendengar jawaban Rey, sontak Trio Alay mulai bertepuk tangan heboh di depan meja guru, "Cie.. yang udah taken. Sampe ditinggal bolos lagi." celetuk Dea menyindir.

Hira menatap Dea tidak mengerti, "Maksud lo?"

"Oh! Gue tahu, gebetannya galau gara-gara liat friendzone-nya nembak cewek lain di depan matanya sendiri. Siapa yang gak sakit, coy! Patah hati banget tuh cewek! Sampe cabut segala! Belum balik-balik lagi." ujar Nopi mendramatisir.

Rey menunduk, berusaha menarik napasnya dalam saat menanggapi ucapan pedas Nopi yang telak menohok hatinya secara sempurna.

Hira tersenyum miris, menatap Rey tidak percaya, bisa-bisanya lelaki itu menyakiti hati temannya, hati seseorang yang benar-benar dicintainya, “Rey, mau seberengsek apa pun lo, gue pikir lo gak bakal ngelakuin itu sama cewek.” Entah kenapa Hira merasakan sakitnya jika menjadi Jane.

"Gue yang pacaran, gue yang friendzone-nan, itu hak gue buat ninggalin dia. Kalian gak usah ikut campur urusan gue. Gue bukan cowok baik yang gak bisa mainin perasaan cewek sembarangan. Gue punya alasan tersendiri buat dia sakit hati. Ngerti?"

Rey tersenyum sinis melihat teman sekelasnya yang mulai berdecak kesal karena mendengar jawabannya.

Bimo menggeleng, kembali mengocok kartu remi lalu bermain ulang dengan temannya. "Lo kayaknya seneng banget liat Jane nangis terus, lama-lama gue bogem juga lo,"

Rey menelan ludahnya sulit, sedetik kemudian ia menatap sengit Bimo, "Bogem lo gak mempan buat gue berubah pikiran."

Bimo yang sudah tidak sabar menahan emosi langsung membanting kartu di genggamannya lalu menarik kerah seragam Rey dengan kasar, "Lo ngomong apa barusan? Dari kemaren gue udah sabar nanggepin lo!"

Dengan cepat Adit berusaha menangkan Bimo, "Udah-udah.. lo kenapa sih, Bim. Ini urusannya Rey, bukan urusan lo."

Bimo mendengus kasar, berusaha menahan tangannya yang sudah mengepal sempurna hendak meninju telak Rey di hadapannya.
Rey memalingkan wajahnya kesal ke arah pintu kelas.

"Bim, maaf, gue gak bisa jadi yang terbaik buat dia. Gue udah terlanjur ancur. Hidup gue udah terlanjur berantakan, dan gue gak mau dia ikut berantakan sama kayak gue. Gue gak mau dia kena bullying lagi gara-gara gue deketin dia. Nyokapnya udah peringatin gue berkali-kali buat ngejauhin dia. Tapi gue bisa apa? Gue coba buat dia ngejauh dari gue, tapi pandangan kalian? Gue itu cowok paling berengsek di mata kalian karena udah mainin perasaan dia gitu aja. Gue nembak tuh murid baru juga gue ada alesan tersendiri. Kalian gak tahu apa yang sekarang gue rasain! Dan sekarang gue minta sama lo Bim, atau lo-lo semua buat jaga rahasia ini dari siapapun.
Bodo amat orang anggap gue cowok berandalan yang gak punya hati, gue rela. Demi Jane, demi nama baiknya, gue rela ngorbanin perasaan gue sendiri buat dia.

Selama ini gue udah siapin waktu yang pas buat nyomblangin dia sama Kakak gue karena dia yang minta, belum cukup gue sakit hati, gue coba-coba buat pedekatean, hampir aja gue ngerencanain buat nembak dia, eh.. si Elisa bikin ancur semua. Dan keluarganya nganggep gue itu dalang dari semuanya. Gue emang pengecut, ya.. gue seharusnya lawan apa kata dunia tentang hubungan gue. Tapi keadaan maksa gue buat buang semua cita-cita gue buat dapetin dia."

Rey membuang napasnya kasar, merasa lega saat semua beban hatinya terkuak di depan semua temannya. Bimo menatapnya setengah tidak percaya, sekaligus merasa bersalah. Sementara teman sekelas mulai menatapnya tidak percaya.

"Terus, lo gak punya niat gitu buat Jane tahu yang sebenernya, buat dia bisa nerima kenyataan dan keadaan lo sekarang. Gue tahu, lo tertekan banget sekarang. Maaf, kalau kita berburuk sangka sama lo, nggak pernah peka sama masalah lo, kita minta maaf. Gue juga sebagai sahabat deket lo, gak pernah bahas lagi masalah lo sama dia. Gak pernah denger curhatan lo lagi. Gue minta maaf Rey, gue gak mau lo nyakitin hati dia lagi, karena gue pernah ngerasain juga, gimana sakitnya liat dia sama cowok lain. Apalagi sama lo."

Bimo melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah seragam Rey pelan, semua teman sekelas mulai mendengarkan apa yang dibicarakan kedua lelaki itu. Adit yang semula marah dengan perdebatan mereka, mulai ikut mendengarkan. Tidak sengaja ia melirik ke arah jendela kelas, matanya melihat Fiona barusaja melewati kelasnya dengan Rama.

Sedetik kemudian mereka dibuat terkejut saat melihat Adit menggebrak meja Rey dengan keras, merasakan sesuatu yang panas dalam hatinya saat melihat Fiona tersenyum lepas bersama Rama, "Sob! Kalian berdua itu lagi dibuat gila sama satu cewek! Cewek itu emang racun dunia!"

"Heh! Sembarangan aja kalo ngomong! GAK SEMUA!" Kisha mendelik tidak terima, diikuti temannya yang lain.

"Cewek itu perhiasan dunia, bukan racun dunia." Trio Alim mulai ikut berkomentar.

"Terserah! Pokoknya gue udah bilang sama lo semua di sini. Gue nembak tuh cewek, karena gue punya maksud tersendiri. Jadi, jangan salah sangka dulu." Rey menatap teman sekelasnya jengah.

Bimo mendengus kasar, "Tapi.. lo cinta sama Jane?"

"Sumpah. Gue cinta gila sama mantan lo, Bim!"

"MANTAN LO?!!!"

Semua teman sekelas menatap Bimo tidak percaya, merasa terkejut mengetahui Jane adalah mantan kekasih Bimo. Sedangkan Rey dan Bimo hanya saling beradu tatap berusaha menahan tawa.

"Iya. Dia mantan gue, cinta pertama gue."

___

Next? Vote+Koment?
Kesannya gimana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro