6. PULANG BARENG?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

MEDIA: RAMA

6. PULANG BARENG?

Jane bergegas mengambil tas birunya hendak pulang. Ia melirik ke arah bangku di sampingnya yang masih kosong semenjak istirahat pertama. Ia melengos panjang menoleh ke arah Zenita masih memasukan buku ke dalam tas.

"Buat apa mereka sekolah kalau cuma sampai istirahat doang, gak guna banget, parasit." ujar Jane tiba-tiba.

Zenita mendengus pelan, "Tukang rusuh mah, kerjaannya kayak gitu Jane. Eh, lo mau pulang bareng Kakak lo atau bareng gue?"

"Bentar, gue sms dulu. Eh! Panjang umur!"

Barusaja Jane hendak mendapati ponsel di saku rok, ponsel itu sudah bergetar dengan notif sms dari Jimi.

Jane gue mau latihan basket dulu, lo pulang duluan. Hati-hati, jangan maen kemana-mana dulu.

"Gimana Jane?"

Jane tersenyum sumringah, "Gue disuruh pulang duluan."

"Aseekkk... "

"Eh, bentar. Kak Rama sms gue,"

Jane terkejut saat ponselnya kembali bergetar, dilihatnya pesan singkat dari Rama dengan kening berkerut.

Hei Jane! Pulang bareng yuk! Gue mau main ke rumah lo boleh? Tenang.. Gue udah dapet surat izin dari Kakak lo. Oke! Yayaya... :) pleasee....

"Ih, tuh cowok kenapa sih!" umpat Jane hendak membalas pesan tersebut.

Ya udah, aku tunggu di gerbang.

"Emangnya kenapa?" tanya Zenita berusaha melihat ponsel di genggaman Jane.

"Dia ngajak pulang bareng."

"Yah... Terus, guenya gimana? Lo tega gitu biarin temen lo pulang sendirian sama mahluk-mahluk baru di sini? Jahat!" Zenita menjawab mendramatisir.

"Lebay. Tuh! Bareng Adit. Cepet!"

"Ih! Jangan dongs, malu ih!" Zenita merengek malu, berusaha menolak saran dari temannya itu.

"Adit! Lo pulang bareng Jeje ya! Kasihan gak ada temen!" teriak Jane pada Adit yang masih membereskan alat tulis ke dalam tas, lengkap dengan headset yang menempel ditelinga.

"Jane! Malu gue!" Zenita menatap Jane horror, berusaha menutupi wajahnya yang merah malu.

Jane menepuk pundak Adit pelan, Adit menoleh, "Apaan dah?"

"Noh, kata Jeje pulang bareng. Kesepian katanya,"

Zenita menatap Jane tidak percaya, "Gak! Gue gak bilang gitu Jane! Bicara tanpa bukti itu jatuhnya fitnah, Jane. Dan lo gak tahu efeknya gimana buat gue!"

"Lo nggak ada temen Je?"

Suara Adit mulai membuat Zenita malu bukan main, "I-iya. Tapi kalau lo keberatan gak apa-apa. Gue bisa pulang sendiri kok!" diliriknya Jane berusaha menahan tawa.

"Masa lo tega sama temen sekelas lo, Dit. Zenita itu rumahnya jauh. Jarang yang se-arah sama dia. Cuma gue sama Fio." kukuh Jane mendesak Adit melangkah menuju ke arah Zenita. Zenita mulai dalam tahap malu maksimal. Ia berusaha meyakinkan Adit untuk segera pulang.

Adit merasa kasihan, ia berjalan menghampiri Zenita. "Kita kan temen, gue sebagai CALON KETUA KELAS harus bisa memberikan yang terbaik buat anak kelasnya. Mau enggak? Cepet. Yaelah.. daripada gak ada temen."

"Dit! Kalau Jeje gak mau ya jangan dipaksa." seseorang berceletuk keras dari arah meja guru. Jane, Zenita juga Adit menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Dea dan Nopi masih mencharger ponsel mereka tanpa ditemani sang leader, Hira. Kebetulan, Hira sudah dijemput seseorang yang mengaku sebagai kekasihnya.

"Iri aja lo berdua." Jawab Adit mengejek.

"Iri? Sama Jeje? Ngaca dengs! Ngapain kita iri sama level rendahan kayak dia." Dea menjawab ketus.

"Cuma diajak pulang bareng aja udah sok-sok an gak peduli. Acuh tapi butuh, hih!" tambah Nopi memanas-manasi.

Merasa gemas sendiri, Adit menyeret tas Zenita dengan paksaan. Zenita terkejut bukan main. Ia berlari berusaha meraih tas miliknya, namun Adit berlari lebih cepat sampai parkiran sekolah.

"Dasar labil!"

Jane terkekeh saat melihat adegan lari-larian Adit dan Zenita. Ia berjalan menuju gerbang sekolah. Perasaannya mulai tidak enak saat mengingat pesan dari Rama.

"Kenapa coba harus ke rumah."

Kini tatapannya terhenti pada Rama yang tengah membawa motor vespa ke arahnya. Senyuman mulai menghiasi wajah tampannya saat bertatapan dengan mata Jane.

"Bang Rama bawa motor?"

Jane melihat motor vespa milik Rama yang terlihat unik. Jarang sekali anak sekolah jaman sekarang menggunakan motor vespa. Yang pasti motor-motor ninja yang sudah dimodifikasi semaunya. Dengan ukurannya yang besar juga sulit untuk diduduki. Entah mereka memikirkan bagaimana sulitnya orang tua mereka banting tulang mencari uang hanya untuk kesenangan anak-anak mereka yang belum tentu dapat menyenangkan hati kedua orang tua mereka.

Rama menatapnya datar, "Nggak, bawa mobil. Ya iyalah bawa motor, nih! Pake helm dulu."

Jane terkekeh mendengar jawaban Rama, ia mengambil helm yang diberikan Rama lalu memakainya. Niat banget pengen pulang bareng, sampe bawa helm dua! Batin Jane.

"Pegangan dong!" Jane mendengus geli, ia lebih memilih meletakan tangannya di pundak Rama. "Jane, kalau pegangan itu di pinggang. Kalau kayak gini mah kesannya kayak tukang ojek,"

"Nanti aja kalau lagi darurat. Nanti juga pegangan." Jane meletakan tasnya ke depan untuk menjadi pembatas jika Rama mengerem mendadak.

***

"Assalamualaikum... Aku pulang..."

Sesampainya di rumah, Jane membuka pintu utama rumah dengan hati-hati. Ia mengajak Rama untuk segera memasuki rumah. Rama tersenyum manis masuk ke dalam rumah dengan sopan. "Duduk Kak."

Seperti intruksi, Rama duduk di salah satu kursi di ruang tamu.

"Waalaikumussalaam... Udah pulang Jane, eh! Temennya Jane.." seorang wanita dengan penampilan khas koki keluar dari dalam dapur. Dengan sigap Rama memberi salam pada Julia.

"Apa kabar Tante?" sapa Rama santun.

"Alhamdulillah.. baik. Tinggi banget ya kamu. Suka minum susu berkalsium ya?" Julia mulai tersenyum kagum melihat tubuh Rama yang tegap juga tinggi.

"Terima kasih pujiannya Tante, kebetulan saya tidak terlalu suka susu," Rama menjawab sopan.

"Berarti kamu suka olahraga apa? Biar Jane bisa tinggi kayak kamu,"

"Mih.. jangan jatuhin harga diri anakmu sendiri.." Jane merengek tidak terima saat Julia mulai membahas hal yang tidak penting.

Rama tersenyum, "Cuma olahraga basket sama renang. Itu pun jarang."

Julia beroh ria, mengangguk mengerti. "Ya sudah, kalau gitu Ibu tinggal dulu ya. Jane, Mamih mau ke restoran dulu. Kalau ada apa-apa, telepon Mamih. Kakak kamu pasti pulangnya ke restoran dulu, jadi hati-hati di rumah ya." Julia melenggang pergi meninggalkan kedua muda-mudi itu ke kamarnya. Bersiap untuk kepergiannya ke restoran ternama miliknya, JA Restaurant yang berlokasi tepat berhadapan dengan Diskotik ternama di kota.

"Eh kamu kenal gak sama nomer ini? Udah seminggu dia suka nge-sms, tapi kira-kira siapa ya?" Rama memberikan ponselnya pada Jane. Dengan raut wajah penasaran Jane melihat nomor yang tertera di layar ponsel tersebut. Sedetik kemudian senyuman mulai tersungging di bibir Jane. Ia menatap lekat-lekat nomor tersebut, menebak siapa sang pemilik nomor itu.

"Kayaknya... aku kenal deh, ini nomornya Fiona. Temen semeja dulu pas MOPD."

"Fiona..? Ya udah sih, gak penting." Rama menjawab enteng, menarik kembali ponsel tersebut lalu memasukannya ke dalam saku celana.

Lah? Kok, diacuhkan gitu ya? Jane terkejut bukan main, untuk kali keduanya ia melihat reaksi gebetan kedua temannya yang terlihat acuh dengan usaha kedua temannya tersebut. Jane tersenyum miris saat mendengar dan melihat reaksi Rama yang melewati batas. Ia merasa geram sendiri bagaimana perasaan sahabatnya jika mengetahui reaksi Rama tersebut.

Jane semakin terkejut, ia menelan ludahnya sulit saat tangan Rama mulai menggenggam kedua tangan Jane secara tiba-tiba. Ngapain lagi Kak Rama pegang-pegang tangan gue! Refleks, Jane berusaha menjauhkan tangannya perlahan.

"Jane, besok kita keluar yuk!"

"Maksudnya keluar apaan?" tanya Jane berkerut.

"Kita jalan-jalan keluar. Main.." Rama menatap manik mata Jane dalam, berusaha mencari jawaban yang akan dilontarkan Jane. "Gimana? Mau ya.. please..." Rama kembali memohon dengan puppy eyes miliknya.

Jane mendengus pasrah, ia membalas tatapan Rama sedikit malas. "Iya deh iya,"

"Bener mau?" tanya Rama meminta kepastian.

Jane tersenyum, "Iya Bang Rama. Iya."

Yes! Akhirnya! Rama bersorak dalam hati, senyumnya mulai mengembang saat mengetahui ajakannya diterima.

Jane tersenyum miris, nih cowok kenapa sih! Heran gue, awas aja kalau kebelet suka sama gue? Hahaha.. nikung temen dong gue.

"Eh, aku pulang dulu ya, nggak betah kalau cuma berduaan di sini, nanti lagi aku main ya!"

Serah dah serah, batin Jane.

"Oh, ya udah. Hati-hati di jalan."

Seperti kor kemenangan, Jane bersorak ria dalam hati. Kepulangan Rama dari rumahnya memang kepuasan tersendiri untuknya.

"Risih banget ih, mending aku mandi deh! Gerah banget... "

Jane bergidik ngeri mengingat Rama yang terobsesi padanya. Harap-harap cemas ia takut mematahkan banyak hati dalam bersamaan. Jika dia menolak kehadiran Rama, ia akan menyelamatkan hati Fiona dan sukses mematahkan hati Rama. Dan jika ia menerima kehadiran Rama, dengan sukses ia mematahkan hati Fiona yang kental akan persahabatan mereka.

Sahabat dan cinta memang sebuah anugerah yang seharusnya kita jaga. Namun jika Tuhan berkehendak lain, semua tentang sahabat maupun cinta akan menjadikanmu untuk lebih kuat dalam mempertahankannya. Kekuatan cinta memang tidak pernah salah, dengan menerima kenyataanlah yang membuat cinta itu kuat.

***

"Makasih Dit."

"Ini rumah lo, Je?"

Sesampainya di rumah Zenita, Adit tak henti-hentinya melihat rumah mewah dan megah di hadapannya. Zenita hanya mengangguk lalu membuka gerbang rumahnya sambil melihat Adit yang masih terpana dengan ornamen rumah tersebut.

"Mau mampir dulu?" tanya Zenita hati-hati.

Adit tersadar lalu menggeleng sopan, "Gak usah, Je. Gue langsung pulang aja." Ia langsung menyalakan motor kembali menggunakan helm, "Gue balik."

"Hati-hati." Zenita mulai melihat motor Adit menjauh dari rumahnya. Tatapannya kini beralih pada mobil hitam metalic yang barusaja hendak masuk gerbang rumah. "Om Wira?"

Suara klakson mobil menyadarkan Zenita, dengan cepat ia membuka gerbang rumah hingga mobil tersebut memasuki kawasan rumah. Tanpa banyak bicara ia langsung berlari menuju rumahnya saat melihat seorang pria berjas hitam barusaja turun dari mobil dengan raut wajah penuh ketegasan.

Zenita membuka pintu utama rumah dengan tergesa-gesa, tujuannya mencari keberadaan Ibunya saat mengetahui pamannya barusaja ikut memasuki rumah tanpa mengucap salam.

"Mana Mamahmu!"

Zenita mengernyit, kenapa pamannya hendak mencari Ibunya, "Om Wira, tumben datang ke sini. Tanpa salam lagi,"

Pria itu melotot, berjalan ke arah Zenita, "Mana Mamahmu!"

"Wira, cukup! Urusanmu dengan saya dan Mas Zefri, bukan dengan keponakanmu!" ucap seorang wanita yang muncul dari salah satu kamar rumah tersebut.

Zenita menggeleng, "Mah! Ada apaan sih! Ada apa dengan kalian?"

Pria berjas yang bernama Wira itu menatap Zenita tajam, "Kamu mau tahu, hm? Papah kamu itu punya hutang banyak sama saya! Dan sekarang, mana Papah kamu? Perusahaan Papah kamu itu sudah bangkrut. Mau ngapain lagi kalian? Mau bayar pakai apa? Oh! Rumah ini?"

Zenita menggeleng tidak percaya, ia terus menatap Ibunya berusaha meminta penjelasan. "Gak, itu gak mungkin kan, Mah! Papah gak mungkin bangkrut, dan yang diomongin Om Wira itu gak bener, kan?"

Wanita itu menatap anak gadisnya itu sendu, "Iya, Zenita."

"Jadi? Apa kalian mau menggantikannya dengan rumah ini? Tujuh miliar rupiah." Tambah Wira dengan nada sedikit memaksa.

Zenita tidak percaya, matanya mulai memanas saat telinganya kembali mendengar perkataan Wira, "Gak mungkin, Mah! Om! Om Wira kok tega sih, Om itu kan adiknya Papah!"

Wira menatap tajam Zenita, "Anak kecil kayak kamu itu gak bakalan ngerti tentang bisnis dan uang! Mana Zefri! Rachel! Aku ingin menagih hutangnya sekarang!"

"Mas Zefri lagi keluar kota. Bisakah kamu bersabar sedikit. Kami pasti melunasi hutang-hutang perusahaan." Wanita yang dipanggil Rachel itu berusaha menenangkan Wira sambil memeluk Zenita. Putrinya itu geram bukan main, matanya menatap tajam pamannya itu.

"Halah! Mau kabur aja dibilang keluar kota, awas aja kalau Zefri kabur. Zenita taruhannya."

"Jangan pernah bawa-bawa anak kami! Ini urusan kita!" Rachel menggertak tidak terima. Sementara Wira hanya bisa menaikan bahunya tidak peduli.

"Gadis seperti kamu pasti bisa melayani kolega-kolega dan pejabat kaya, kan? Gampang! Kalau aja kalian gak mau hidup miskin dan tinggal dikontrakan karena rumah kalian yang akan segera saya sita, kenapa gak jual aja anakmu itu."

Satu tamparan telak menimpa pipi Wira. Rachel menamparnya dengan menatap nanar adik iparnya itu, "Sampai kapan pun, anakku tidak akan kubiarkan jadi korban keserakahanmu, Wira!" bentak Rachel pada Wira.

Zenita melotot tidak terima, tangannya sama-sama gatal ingin menampar pamannya itu, "Om gak salah suruh aku jual diri? Dimana sih hati nurani Om? Oh! Anak sama bapak sama aja, gak Om gak anak Om. Sama-sama gak punya hati!"

"Kurang ajar kamu!"

Wira yang geram tak segan-segan menampar Zenita dengan keras. Zenita mengusap pipinya, rasa perih dan nyeri mulai membuatnya tersadar, bahwa pamannya itu memang berhati iblis.

"Dasar iblis! Kamu gak apa-apa, Nak?" Rachel mulai mengkhawatirkan anaknya yang tersungkur sambil menahan tangis dan nyeri.

"Anakmu memang harus dikasih pelajaran. Aku akan kembali lagi jika kalian mulai memilih di antara kedua pilihan tadi; meninggalkan rumah, atau Zenita."

Zenita menangis tersedu saat merasakan pelukan hangat dari tubuh Rachel yang kini bergetar hebat melihat Wira berjalan keluar dari rumah tersebut. Tangannya berusaha mengusap punggung anak gadisnya berusaha menenanngkannya.

"Mah, Papah kemana sih! Aku gak mau rumah, apalagi jual diri, Mah!"

"Jangan dengerin Om kamu yang gila harta itu! Udah, jangan dipikirin, kamu fokus belajar aja, ya. Jangan dengerin omongan gak masuk akalnya tadi." Rachel berusaha meyakinkan Zenita untuk tidak memikirkan apa yang dikatakan Wira. "Kamu sekarang ganti baju, makan, terus mandi. Kita tunggu Papah kamu pulang dari Bandung."

Zenita mengerut, "Papah ngapain ke Bandung?"

Rachel menggeleng, "Mamah juga gak tahu. Udah, jangan nangis. Jangan dipikirin, ya."

Zenita menatap Rachel kosong, ia bangkit dari duduknya berjalan menuju kamarnya dengan penuh banyak pikiran yang menimpanya sekarang.

"Tujuh miliar? Jual diri? Rumah? Gimana gak mau dipikirin! Aduh.. pipi kece gue.." dia bergumam pelan lalu meringis kesakitan saat menyentuh pipinya yang merah padam hasil tamparan keras dari Wira.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro