Delegasi Kutukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Enam Tahun yang Lalu

“Kumpulan kapan selesainya, sih? Panas banget ini aula. Surabaya bener-bener gak bersahabat ama kulit Pekalonganku,” gerutu Shanum sembari mengipas-ipaskan tangan di wajah, dahinya dipenuhi  peluh.

“Pekalongan juga panas kali, Num. Magetan yang dingin. Kulitku nih, yang gak cocok ama hawa Surabaya.” Tari, gadis yang duduk di samping Shanum ikut mengipaskan tangan.
“Pekalongan dingin kali, Tar, kalau malem, tapi. Eh, gak dingin-dingin banget juga, sih,” kekeh Shanum. Tari memutar bola mata malas.

“Eh, Num. Nayl mana ya? Dari tadi gak keliatan.” Kila yang berada di sisi kiri Shanum menoleh, mencari-cari sosok ketua kelasnya.

Shanum mengendikkan bahu, “Tadi pas kita disuruh ke aula, Nayl dipanggil bentar ke ruang guru. Biasalah, anak sibuk. Paling duduk di belakang dia.”

Hari ini, pihak madrasah mengumpulkan seluruh siswa kelas XII baik putra maupun putri di aula pesantren. Kumpulan yang membahas tentang tetek-bengek persiapan ujian akhir.

“Baiklah, sekian dari saya. Kurang lebihnya mohon maaf, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Shanum dan seisi ruang aula sontak mengembuskan napas lega. Petuah dari Ustaz Hamid, kepala madrasah mereka telah usai. Tinggal salam penutup dari MC acara, dan mereka akan terbebas dari ruangan pengap itu.

“Sebelum acara ini benar-benar saya tutup, ada sedikit informasi tambahan yang akan diberikan oleh Ustazah Musyarofah selaku wakil kepala madrasah bidang kesiswaan. Kepada  beliau, saya persilakan.” MC tunggal yang merupakan salah satu ustazah kembali undur diri sementara, dan mempersilakan seseorang yang namanya baru saja ia sebut.

“Pengumuman apa lagi, Ya Allah. Keburu panas ini. Para guru mah enak, duduk depan, kena AC. Apa kabar dengan kita yang duduk keroyokan kayak adonan pizza dipanggang dalem open?” Kila menghentak-hentakkan kakinya kesal, membuat Shanum dan Tari terbahak di sela wajah kepanasan mereka.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Langsung saja ya. Saya mendapat mandat dari kepala madrasah untuk menyampaikan pemberitahuan ini. Jadi, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur mengadakan rangkaian festival pendidikan. Nah, salah satu acara di dalamnya adalah workshop yang mengangkat tiga cabang pembelajaran yaitu, eksakta, kebahasaan, dan kepenulisan. Setiap sekolah atau madrasah diwajibkan mengirim delegasi satu orang siswa laki-laki dan perempuan, ditambah dengan seorang guru pendamping. Berikut yang akan saya sebutkan adalah nama-nama delegasi dari setiap bidang sekaligus guru pembimbingnya.”

“Pertama, delegasi untuk workshop eksakta. Santriwan atas nama Ahmad Khoirul, santriwati atas nama Ashalina Shanum, beserta guru pendamping Ustazah Maftuhah.” Ustazah Musyarofah mengambil napas sejenak.
“Udah ketebak ini sih, siapa lagi yang bakal dijadiin delegasi kalau bukan Shanum?” Tari mengendikkan bahu sementara Shanum terkekeh.

Seantero pesantren telah paham jika tak ada yang bisa mengalahkan seorang Ashalina Shanum dalam bidang eksakta, bahkan seorang santriwan bernama Ahmad Khoirul yang akan menjadi partner gadis itu di talkshow nanti. Keahlian Shanum dalam bidang eksakta benar-benar berbanding terbalik dengan wajah cengengesannya. Orang-orang yang baru mengenal Shanum tentu tak akan percaya jika gadis petakilan itu, adalah orang yang berhasil membuat kantor madrasah mereka penuh dengan piala olimpiade matematika atau fisika.

“Kedua, delegasi untuk workshop kebahasaan. Santriwan atas nama Fahmi Ismail, santriwati atas nama Fitriatul Jawahiroh, beserta guru pendamping Ustaz Hilmi Ahmad.” Ustazah Musyarofah melanjutkan pengumumannya.

“Ya Allah, Fahmi Ismail? Gus Fais yang orang Madura itu? Yang ganteng itu? Ih, Fitria beruntung banget bisa bareng Gus Fais. Jadi orang pinter enak banget sih,” cerocos Kila. Kali ini Shanum, Tari, dan Fitria serempak terkekeh.

Nama Fahmi Ismail sudah tak asing di kalangan para santriwati. Selain karena lelaki itu ketua angkatan kelas XII tahun ini, ia juga putra kiai besar dari kota garam yang dianugerahi wajah tampan tanpa cela. Siapa pun tau kiprah lelaki itu di dunia kebahasaan. Ia dan Fitria sudah seperti best couple di pesantren mereka. Dua orang yang selalu berhasil membawa pulang piala dari berbagai lomba kebahasaan. Pidato tiga bahasa, MC tiga bahasa dan banyak lagi.

“Ketiga, delegasi untuk workshop kepenulisan. Santriwan atas nama Kelvin Adrian, santriwati atas nama Nayla Kanaya Rohim, beserta guru pendamping Ustaz Nadhif Kahfa Rohman. Sekian pemberitahuan dari saya. Bagi nama-nama yang saya sebutkan, harap menemui saya di kantor madrasah setelah ini. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Ustazah Musyarofah segera turun dari podium usai mengucapkan salam.

Shanum, Tari, Kila, dan Fitria seketika bertukar pandang. Mereka sedang memikirkan satu hal yang sama.

“Kalau delegasi kepenulisan si Nayl sih udah biasa,” gumam Kila lirih.

“Kelvin juga sering nyumbang cerpen di buletin pesantren, gak jauh beda ama Nayl. Bukan masalah,” sambung Fitria.

“Tapi kenapa guru pendampingnya Ustaz Nadhif? Beliau kan ustaz baru. Harusnya Ustaz Nashir aja yang udah lama di pesantren,” lanjut Tari.

“Bakal ada perang dunia ketiga selama perjalanan ini sih. Iya gak, Fit?” Shanum mengusap wajahnya, frustrasi. 

Fitria meneguk ludah, “Perjalanannya gak jadi syahdu ini sih.”

Kila bergidik ngeri, “Gak berani deket-deket Nayl dulu lah hari-hari ini.”

Di sudut lain, seseorang yang namanya baru saja disebut sebagai delegasi santriwati untuk seminar kepenulisan mendengkus kesal. Kejutan apa lagi ini? Ia akan melakukan perjalanan ke luar kota bersama orang paling menyebalkan di kehidupannya, dan tidak mungkin dalam waktu sehari saja.

Seharusnya ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan. Keluar pesantren untuk menghirup udara bebas setelah berbulan-bulan dikurung, menyambangi kota lain di Jawa Timur selain Surabaya, dan dapat dengan bangga memperkenalkan diri sebagai santri pilihan pesantren. Perjalanan semacam itu adalah perjalanan yang sangat ia sukai. Namun, tidak untuk kali ini. Guru pendamping yang ditunjuk oleh Ustazah Musyarofah itulah tersangkanya.

“Nayl, nemuin Ustazah Musyarofah bareng, yuk.” Nayla tergagap begitu seseorang menyentuh lengannya. Shanum tengah duduk di sampingnya.

Nayla menggeleng pelan, “Aku gak mood sama workshop ini, Num. Ganti delegasi bisa gak sih?”

“Kita temuin Ustazah Musyarofah dulu, Nayl. Ntar kan kita bisa tanya-tanya ama beliau,” sahut Shanum.

“Aku bener-bener udah gak minat sama workshop itu, Num. Kamu ama Fitria aja sana yang nemuin Ustazah Musyarofah, bilangin kalau aku mengundurkan diri.”

“Ayolah, Nayl. Biasanya kan kamu semangat banget kalau ada pendelegasi-an kayak gini. Itung-itung refreshing keluar pondok,” bujuk Shanum.

“Kamu kan paham apa yang ngebuat aku gak minat lagi ama delegasi ini, Num.”

“Katanya pengen ketemu penulis-penulis terkenal, terus nyerap ilmu dari mereka. Sekarang giliran dikasih kesempatan malah ditolak. Aneh!” omel Shanum.

Nayla mendengkus kasar, “Ish! Yaudah, aku ikut nemuin Ustazah Musyarofah. Tapi aku gak janji kalau berangkat ke delegasi itu.”
Shanum tersenyum, akhirnya gadis keras kepala itu luluh juga. Ia paham jika Nayla terlalu mencintai aksara, dan tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan apa pun terkait dunia itu.

*****

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💗.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro