Dia Bernama Luka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Duduk dulu, Kak. Itu camilan sama minuman hangatnya silakan dinikmati. Saya  permisi sebentar, mau ngecek Ustaz Kepala Sekolah udah rawuh apa belum.” Thaya, remaja yang menjadi moderator Nayla selama seminar, mempersilakan gadis itu untuk duduk.

“Iya, terima kasih, Thaya.” Nayla mengangguk dan tersenyum. Ia menyukai nama gadis yang baru saja mempersilakannya untuk menikmati jamuan. Ah, bukan hanya namanya, tapi juga keramahan dan keceriaan remaja cantik itu.

Nayla menyesap teh hangatnya begitu Thaya keluar dari ruangan. Ia mengedarkan pandangan, meneliti penataan ruang kepala sekolah di pesantren ini. Rapi dan bersih. Di atas meja kerja sang kepala, terdapat beberapa miniatur ikon sebuah negara, seperti menara eiffel, piramida, dan beberapa bentuk lainnya.

Miniatur-miniatur itu seketika mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang, entahlah! Seharusnya ia tak perlu lagi mengingatnya. Nayla menggeleng pelan, mengusir bayang-bayang yang tak seharusnya mampir dalam pikiran. Pesantren, di mana pun tempatnya, selalu berhasil membuat memori-memori tahunannya seakan diputar kembali.

Sang kepala sekolah masih belum juga menampakkan diri. Nayla memang tak memiliki kesibukan lain siang ini. Namun, ia merasa tak betah jika harus berlama-lama di tempat asing.

Sepanjang seminar tadi, sang kepala sekolah tak terlihat. Kata Thaya, kepala sekolah mereka hanya hadir beberapa menit untuk memberikan sambutan. Beliau ada undangan rapat di sebuah lembaga. Nayla sebagai pemateri seminar yang terlambat hadir menyadari kesalahannya, ia ingin meminta maaf langsung kepada sang kepala sekolah. Jadilah ia di ruangan ini, menunggu orang nomor satu di pesantren itu datang dari rapatnya.

“Assalamualaikum, maaf lama ya, Kak.” Thaya muncul dengan senyum merekah.

Nayla menggeleng sembari tersenyum, “Waalaikumsalam, gakpapa. Gak terlalu lama kok. Ustaz Kepala Sekolah udah dateng?”

“Udah, Kak. Beliau masih menemui Ustazah Ashifa sebentar. Setelah ini ke sini.” Thaya tersenyum manis, gadis itu benar-benar cantik.

Nayla mengangguk paham, “Kamu kelas berapa, Thaya?”

“Kelas dua Aliyah, Kak.”

“Wah, kurang setahun lagi lulus. Mau lanjut ke mana?” Nayla menepuk sisi kosong di sebelahnya, mengisyaratkan Thaya untuk duduk.

“Rencana tetep mau lanjut di pesantren, ambil Mahad Aly. Mahad Aly itu kayak kuliah, tapi yang dipelajari cuma kitab-kitab kuning, gak ada umumnya. Pesantren banget lah pokoknya, Kak,” jelas Thaya sembari terkekeh.

Nayla mengangguk, ia paham betul apa yang dimaksud dengan Mahad Aly. Bagaimana pun juga, ia pernah menjadi bagian dari pesantren. Ah, ia harus segera menghapus satu kata itu dari pikirannya. Ia enggan mengingat apa pun yang berkaitan dengan satu tempat itu. Mampu berdiri tegak dan yakin melangkahkan kaki di tempat ini saja, sudah menjadi sebuah prestasi baginya.

“Kak Nayla pernah denger kata Mahad Aly, kan?”

Nayla terkekeh, “Iya, pernah.”

Nayla memang telah melanglang buana di dunia aksara, cukup dikenal sebagai penulis dengan nama pena Kanaya Nayl. Namun, tak banyak orang yang tahu jika ia memiliki latar belakang pendidikan pesantren. Karya yang terlahir darinya selalu berupa fiksi umum, tak pernah ada yang berbau-bau agama, apalagi dunia kepesantrenan. Ia benar-benar menyengajakan diri untuk hilang dari satu dunia yang pernah ia cintai mati-matian itu. Cukup hijab dan kesehariannya sebagai muslimah saja yang masih membekas dari tempat yang dulu sering ia sebut penjara suci.

“Kak Nayla sibuk habis ini? Keburu mau ke acara lain, gak?” tanya Thaya. Ia tak enak membuat tamunya menunggu lama.

Nayla menggeleng, ia sedang tak ada jadwal kegiatan apa pun hari ini.

“Coba aku liatin Ustad Kepsek lagi ya, Kak. Kasian Kak Nayla nunggu lama.” Thaya bangkit dari duduknya yang belum seberapa lama itu, Nayla lagi-lagi hanya mengangguk.

Thaya baru saja berdiri bahkan belum sempat melangkah, ketika suara derap kaki terdengar memasuki kantor. Remaja itu urung melangkah sementara Nayla menoleh ke arah sumber suara.

Cukup sepersekian detik, Nayla mendadak beku. Otaknya buntu seketika. Tak perlu waktu lama untuk mengenali seorang lelaki yang baru saja memasuki kantor dengan tergesa. Lelaki yang kini sedang menatapnya dengan ekspresi semringah. Tembok kuat yang ia bangun bertahun-tahun mendadak roboh, dunianya terasa benar-benar sempit.

“Sudah kuduga, ini kamu, Lala. Nayla Kanaya Rohim. Kamu sudah jadi penulis terkenal sekarang, barakallah. Sesuai mimpi kamu, kan?” Benar-benar sapaan yang ramah, dengan nada bicara yang masih sama seperti bertahun-tahun lalu.

“Kak Nadhif?” Hanya dua kata. Setelahnya, Nayla kembali beku.

Lelaki itu, lelaki yang suaranya pernah menjadi candu bagi Nayla selama bertahun-tahun. Lelaki bernama luka.

*****

Selamat membaca ulang tentang luka Nayla ❤️.

Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar ❤️.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro