Hari Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Enam tahun yang lalu

“Selamat pagi, Lala. Mau turun ke kantin?” Nayla terbelalak. Mengapa sepagi ini manusia paling menyebalkan itu sudah ada di depan pintu kamarnya?

“Shanum, Fitria, ayo turun, sarapan.” Nayla justru memanggil teman-temannya, tak acuh pada sapaan Nadhif.

“Mengabaikan sapaan orang bukan hal yang baik, Lala,” tegur Nadhif sembari tersenyum.

“Berapa kali harus saya katakan, Ustaz Nadhif Kahfa Rohman yang terhormat? Nama saya Nayla. Nayla Kanaya Rohim. Berhenti memanggil saya Lala. Dan, tolong jangan membuat pagi pertama saya di kota ini menjadi buruk.” Seperti biasa, Nayla menatap Nadhif dengan raut kesal.

“Saya suka ekspresi kamu itu, La,” kekeh Nadhif.

“Astaghfirullah. Saya ingin sekali menghormati Ustaz seperti saya menghormati pengajar yang lain. Tapi, kenapa Ustaz seolah menyengajakan diri untuk menjadi orang yang menyebalkan!” sentak Nayla sembari mengusap wajah frustrasi.

“Saya juga penasaran, kenapa kamu selalu sebal pada saya. Jangan-jangan itu hanya alibi untuk menutupi perasaan grogi kamu, La,” sahut Nadhif.

Nayla mendelik, “Atas dasar apa saya harus grogi dengan Ustaz? Kepedean sekali!”

“Shanum, Fitria, astaghfirullah. Kalian ngapain aja sih, lama banget. Tau ah, aku duluan.” Nayla menghentakkan kaki kesal, kemudian berjalan melewati Nadhif yang masih senyam-senyum tak jelas.

Nayla menarik napas panjang begitu sampai di tangga. Baginya, pagi selalu krusial sebab akan menentukan suasana hati seharian. Maka ia tak ingin paginya rusak hanya karena lelaki menyebalkan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ah, ini baru hari pertama. Apa kabar hari kedua dan ketiga?

*****

“Kenapa gak makan sayur? Cuma ayam goreng aja?” Nayla mendongak dan mendapati Nadhif meletakkan piring di hadapannya, kemudian duduk di sana.

“Kenapa duduk di depan saya?” Alih-alih menjawab pertanyaan Nadhif, Nayla justru menatap tajam lelaki itu.

“Hanya di sini yang kosong, Lala,” jawab Nadhif.
Nayla mengedarkan pandangan. Benar saja, seluruh kursi telah terisi. Panitia kegiatan mengatur meja makan sesuai dengan kontingen sekolah. Dan, entah dapat disebut sebagai kebetulan atau kesalahan, meja panjang jatah pesantrennya telah penuh. Hanya kursi di hadapannya lah yang masih kosong. Nayla akhirnya mengalah, ia kembali meneruskan makan.

“Nayl, Ustaz Hilmi dari tadi ngeliatin loh. Yang sopan ama Ustaz Nadhif ih,” bisik Shanum.

“Semua ustaz di pesantren kita udah paham kalau aku sama manusia menyebalkan itu gak pernah akur. Bukan masalah.” Nayla melirik Ustaz Hilmi sejenak, kemudian mengendikkan bahu cuek.

“Ya makanya, yang akur!” omel Shanum.

“Diem deh, Num. Jangan bikin aku gak mood makan siang,” sungut Nayla. Shanum memajukan bibir, kemudian kembali khusyuk dengan makanannya.

“Aku mau ke kamar mandi dulu. Kamu sama Fitria duluan aja gakpapa. Lagian ruang seminar kita beda,” pamit Nayla sembari berdiri membawa piring bekas makannya.

Shanum mengangguk, “Oke.”

Setelah meletakkan piring kotor di wastafel kantin, Nayla segera menuju kamar mandi. Ia ingin memperbarui wudhunya yang telah batal usai makan tadi. Ia mewajibkan diri untuk selalu mempertahankan wudhu. Dawaimul wudhu jika dalam bahasa pesantren.

“Sudah selesai? Mari naik.” Nayla berjengkit kaget, kemudian terbelalak. Bagaimana bisa lelaki menyebalkan itu ada di depan kamar mandi wanita?

“Ustaz ngapain di sini?”

“Saya nungguin kamu. Kamu kan anak dampingan saya, mana mungkin saya masuk ruang workshop tanpa kamu dan Kelvin?”

“Anda bisa menunggu saya di depan ruang workshop, Ustaz Nadhif yang terhormat,” sindir Nayla.

“Saya tidak keberatan menunggu kamu mengambil wudhu, Lala.”

Nayla mendesah frustrasi sembari mengusap dada, “Astaghfirullah, sabar sabar.”

Nadhif tertawa, “Kamu membenci saya tanpa alasan, La. Itu yang membuat saya semakin penasaran.”

“Ustaz selalu melakukan hal-hal tidak masuk akal, dan saya begitu membenci orang yang tidak masuk akal. Kelvin sudah naik sejak tadi, seharusnya Ustaz ikut naik bersama Kelvin, bukan malah menunggu saya di sini,” jawab Nayla lemah. Berteriak kesal pun percuma. Ia tak paham lagi bagaimana caranya menjauh dari lelaki menyebalkan ini.

“Ya sudah, sekarang mari kita naik,” ajak Nadhif tanpa menggubris keluhan Nayla.

“Ustaz berhenti di sini, dan jangan melangkah ke mana-mana sampai saya sampai di tangga itu. Dan tolong, dengarkan ini baik-baik. Sejak tadi pagi, Ustaz sudah membuat saya sebal, dan sekarang di siang hari kembali melakukan hal yang sama. Tolong sekali, jangan dekat-dekat dengan saya, berhenti menyapa saya, dan jangan pedulikan saya. Saya sungguh ingin menikmati acara ini dari awal hingga akhir tanpa gangguan siapa pun!” cerocos Nayla dengan tatapan tajam.

“Tapi saya guru pendamping kamu, Lala. Bagaimana mungkin kita tidak saling dekat?” jawab Nadhif tenang.

“Terserah!” Nayla menyerah. Ia membalik badan dan berjalan cepat menuju tangga, mengabaikan Nadhif yang kini juga ikut berjalan cepat untuk menyusul langkahnya.

*****

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, sebelumnya terima kasih atas kesempatan bertanya yang telah diberikan kepada saya. Saya Nayla Kanaya Rohim, delegasi dari MA Tarbiyatul Ilmi, Surabaya. Tadi sudah dijelaskan jika ingin tulisan kita diminati banyak orang, kita harus pandai membuat pembukaan yang menarik sehingga pembaca akan penasaran dan ingin membaca kelanjutan cerita. Sayangnya, pemateri tidak memberikan contohnya. Nah, saya boleh minta tolong diberi contoh kalimat prolog atau pembuka cerita yang dapat menarik pembaca? Sekali lagi, terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Nayla menutup pertanyaannya dengan seulas senyum.

Nadhif ikut tersenyum. Lesung pipit di pipi Nayla tercetak jelas, menambah kadar manis di wajahnya.

Nadhif masih tersenyum. Gadis itu tegas. Kelewat tegas hingga mungkin beberapa orang justru menganggapnya galak. Namun, Nayla tak pernah peduli dengan penilaian orang. Ia konsisten pada hidupnya, terus melakukan apa pun yang ia inginkan. Baginya, asal ia tak mengganggu ketenangan orang lain, itu artinya tak ada masalah. Itulah yang bisa Nadhif tangkap dari keseharian Nayla sejauh ia memperhatikan.

Gadis itu juga cantik, cerdas, dan ulet. Belum lagi, ia selalu menjaga wudhu. Satu hal yang membuat penilaian Nadhif pada Nayla selalu sempurna. Nadhif memperhatikan Nayla sedetail itu. Entah mengapa, semenjak gadis itu menyapanya dengan kalimat sarkas pertama kali, ia justru terpesona. Nadhif tertarik pada Nayla. Tertarik untuk menggoda, tertarik untuk membuat gadis itu merasa kesal kemudian memberinya tatapan garang.

Nadhif tak pernah paham, mengapa ia sedemikian senangnya mengusik Nayla.

*****

Nadhif, ayo jangan nakal, Nak. Kasihan Nayla tuh, bisa darah tinggi dia kalo kamu godain tiap hari. Tobat, Nakkk, tobat!

Pada greget ama Nadhif-Nayla, gak? Hehe.

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro