belum usai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng










Aku hampir lupa kalau dalam beberapa detik manusia bisa merasakan kedamaian yang menyatu dengan alam, tidak permanent namun menurutku begitu dalam. kalian tahu, ketika wajah di terpa angin lembut, cahaya matahari merayap hangat di kulit, langit biru yang cerahnya menunjukan gumpalan gumpalan awan jelas, rindang tertutup pohon pohon tinggi, serta yang paling penting adalah suara suara alami yang masuk dalam telinga kalian.

Sejak memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku sebagai assistant writing content di kanal NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA lalu di pindahkan ke amerika untuk menjadi salah satu co-director content, aku tidak pernah lagi merasakan kedamaian ketika berkemah di tengah tandus hanya untuk menunggu kawanan pronghorn lewat untuk mencari rumahnya, atau terbang ke daerah amerika utara untuk merekam momen hewan kijang dengan tanduk yang sangat sangat besar tidak lain adalah Moose, untuk meminum di sebuah telaga alami di tengah gurun tandus.

Pengalaman yang paling tidak aku lupakan adalah menuju brazil, hutan amazon yang begitu jauh dari jajahan manusia. Untuk pertama kalinya dalam pekerjaanku, aku benar benar hidup disana selama tiga bulan penuh, jika di bilang aku sudah menjadi manusia tarzan itu benar, kelompok kami benar benar seperti tarzan yang gila pada ketertarikan dan uniknya kami di bayar untuk merekam hal hal ini. Selain merekam flora dan fauna yang masuk dalam list target kami, aku merasa ada sesuatu dalam diriku yang berkembang. Spiritual, secara alami aku mendadak banyak berubah dalam sifatku, lebih merasa tenang, merasa damai, merasa lebih ringan. Pikiranku menjadi jernih seketika. Luka batinku yang sudah rusak akibat sosial buruk di kota kini perlahan terpulihkan dengan alam, tentu saja tidak aku bangun dengan mendengar suara burung burung serta cahaya matahari yang cahayanya masuk menyelinap diantara pohon pohon yang rindang.

Begitu menyejukan, menyenangkan, membahagiakan sampai dua tahun ke depan aku kira itu hanyalah mimpi, saking indahnya memori itu padaku.

Dalam sekejab aku duduk dalam ruangan kotak, di belakang meja kayu jati, di hadapan laptop, dan setumpuk kertas kertas yang berteriak minta aku baca untuk segera mencari kesalahan kesalahaan agar program program divisiku sempurna.

hal yang paling aku masih tidak bisa terima adalah tempat kerjaku sekarang di tengah kota, di dalam gedung gedung pencakar langit. jakarta adalah sarang manusia sibuk diantara manusia paling sibuk lainya. Hanya mengingat fakta ini kadang membuatku pusing.

Hah, kesialan seperti ini adalah mimpi buruk dari yang terburuk, entah apa alasan aku harus bekerja di gedung tinggi ini.

tapi setidaknya makanan kantinya cukup lezat, sangat lezat mungkin!. Para kokinya berkembang setelah aku komplain soal makanan yang menunya selalu sama tiap harinya, sampai sampai aku merasa mual dengan telur dan kecap, serta daging ayam yang begitu keras untuk di kunyah.

Minuman cafetarianya juga menggoda, terdapat jenis jenis minuman yang selalu di perbarui tiap tiga bulanya, sudah seperti menu menu di cafee anak muda, bubble, dan tea tea lainya.

Mungkin jika makananya tidak berubah selama empat bulan, sudah akan di pastikan bulan ke lima aku sudah mengundurkan diri.

Perusahaan media sekelas BST saja masih memiliki managerial yang buruk, sangat buruk. Aku tidak bisa membayangkan perusahaan perusahaan lainya yang levelmya di bawah bst. Bekerja di perusahaan raksaksa di amerika membuatku sadar betapa jauhnya negara kita tertinggal, dibidang teknologi, di bidang sumber daya manusia, di bidang pengetahuan, dan segala macam aspek.

Yogi Shan Bastoro, teman sekolahku dulu yang sekarang menjadi pemimpin media ini, sepertinya terlihat tenang saja mendengar kritiku yang ke 54 kalinya soal perusahaaan leluhurnya. Pria ini berusaha mendengarkan ocehanku di kala mulutnya sibuk mengunyah makanan dan jarinya menyumpit dahing daging di atas piring yang di siram kuah takoyaki.

"aku gak tau, bst bagus tapi masih memiliki banyak kekurangan" ujarku serius

Seperti biasanya, ia menganguk angguk. Jaz hitamnya ia selimpirkan di pungung kursi, menyisakan kemeja putih yang melekat kuat pada tubuhnya, lengan kemejanya di gulung hingga sesikut, dasi abu abunya sedikit dia longgarkan barusan. Sambil menyisir rambutnya yang berbelah dua dengan rasio 8-2 dengan jari jadinya, ia mulai membuka suaranya, "jadi menurut kamu, solusi apa yang terbaik untuk jalan keluarnya?" Ia bertanya.

Solusi? Ada banyak. ada banyak tapi aku tidak sanggup untuk melakukanya sendiri. aku menjawab dengan asal, "naikan gajiku"

Dirinya terkekeh pelan, "gaji kamu naik kalau accept posisi asistent manager dua" ujarnya mengingatkanku masalah kemarin, menolak jabatan itu karena aku malas bertangung jawab lebih besar lagi.

Sekarang aku mulai menyesali menerima Yogi untuk makan siang semeja denganku di cafetaria. Aku seharusnya tau tujuanya adalah merayuku agar mengambil posisi itu.

Berbeda dengan yogi yang tampak rapih dengan balutan kemeja serta jaznya yang membuatnya berkharimastik. Tampilanku malah kacau, baju kebaya modern, rok batik span, rambut acak acakan yang di tempeli bunga melati. Benar tema hari ini adalah kebaya sunda, divisi healthy and beauty memiliki costum cosplay tiap harinya yang di wajibkan untuk menaati aturan baru ini demi membuat lingkungan semakin terasa yang sejalan dengan program program kami.

Kebetulan program minggu ini tentang kecantikan sinnden sunda, manten sunda serta kebaya sunda.

Mengalihkan topik pembicaraan dengan kasar, aku meraba raba rambutku yang mulai kusut, "aduh, eh lo serem gak sih liat gue, Gi?" tanyaku

sekali lagi, yogi memberhentikan gerakan makanya untuk mendengak menatap ku. "Kenapa serem? Bagus kok. Aku suka liat bunganya, wangi." ia mengungkapkan pendapatnya sambil menunjuk rambutku.

cukup yakin dengan ucapan yogi, aku kembali menyuap makananku sebelum nasinya benar benar dingin. sebelum jam makan siang habis juga.

"Ra."

"Diandra."

ada sesuatu yang membuat dalam beberapa detik jantungku seperti meledak dalam volume kecil, ada sesuatu yang membuatku menahan nafas ketika suaranya masuk dalam gendang telingaku. Yogi memangilku dengan suara rendahnya, berat dan begitu serius.

berusaha terlihat santai, aku membalas tatapanya dengan alis terangkat. "Apaan?" Tanyaku sedikit menaikan intonasiku di akhir.

Apa aku pernah bilang bahwa aku menemukan sedikit kerindangan di kantor ini yang mengingatkanku pada gunung?

mata milik yogi. teduh, dan menyejukan.

untuk sesaat kami saling pandang dalam keheningan, efek samping jantung serta paru paruku semakin membesar setiap detiknya, volumenya bertambah kuat. tampa sadar aku meremas gagang sumpit dengan erat.

"Masih ingat sama Ananda kan? Ananda Putri." ia bertanya, pertanyaanya yang cukup normal membuat tubuhku kembali bersantai.

Ohh bukan suatu hal yang mengejutkan.

Kepalaku menganguk, " ohh inget, nikah kan dia akhir minggu" jawabku singkat. Pandangan mata kami masih bertaut, aku malas untuk melepaskanya.

"Mau kesana bersama sama?"

Sedikit berfikir, lalu aku menganguk yakin setelahnya. Mungkin bisa jadi setelah pergi ke pernikahaanya Ananda kami akan bermain dengan teman teman SMA kami lainya. jika memang akan pulang malam lebih baik bersama yogi, aku bisa istirahat di mobil sebagai penumpang. "bolehh" jawabku

sebelum aku memutuskan tautan mata kami, omongan yogi setelahnya malah memperpanjang durasi kami harus bertaut mata.

"setelahnya mungkin bisa pergi ke bandung? kita bisa santai disana, cari angin."

Gods shake. aku menebak seratus persen bahwa kami akan pulang dari sana sebagai kekasih. Aku yakin sekali hal ini. Kami akan melanjutkan apa yang tidak di lanjutkan saat kami SMA dahulu.

Aku tentu tidak bodoh bodoh amat soal percintaan, soal pria ini yang diam diam melakukan hal kecil untuk selalu buat kami saling berintraksi. Aku tau soal dirinya yang melewati batas prefesional agar tetap menjadi atasanku yang aku hormati saat berada di kantor. Aku selalu tau soal ia yang bertanya pada satpam lobby sebelum pulang, bertanya apakah aku sudah pulang lebih dulu, cara dia mengkhawatirkanku tampa harus bertanya padaku.

I think we're just going to have to be secretly in love with each other and leave it at that in phase, senior high school phase. I wanted him, and he wanted me too, but the past is just past.

ill never forget the way he kissed me, its wasn't that long, but the memory would last forever.

I get lost in us, in the little moments we share that bond us ever closer. So without him know, he still give me fireflies.

In a thousands times, i fallin love with him, again and again, over and over.

Kepalaku menganguk, "ide bagus."


🍎🍎🍎

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro