04. Buku Harian Arjani

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

            Malam itu, selepas Raras kembali pulang, Nawasena tidak menunggu waktu lama hingga ia memasuki kamar dan membuka buku bersampul hitam milik Arjani. Tentunya tidak langsung di buka. Ada beberapa waktu yang digunakan Sena hanya untuk berdiam diri memandang kosong sampul tersebut dengan perasaan yang jelas hancur luruh di sana. Ini Arjani-nya, isi hati Arjani sahabat kecilnya yang sudah lama pergi. Di balik sampul itu ada banyak sekali isi hati dan perasaan Arjani yang bisa Sena baca secara gamblang, tanpa perlu takut kalau Arjani akan marah dan merampas buku itu darinya.

Sebab Arjani tidak akan datang memarahinya, sebab Arjani tidak akan merampas buku miliknya, dan sebab Arjani tidak akan kembali datang ke hadapannya.

Bergetar, Sena membaca satu demi satu perasaan sang puan yang tercurahkan di sana. Tulisan Arjani yang menggambarkan isi hatinya. Jika ia marah, maka ia menulis dengan tak rapi. Namun jika ia sedang senang, maka tulisannya akan sangat rapi dengan beberapa tempelan stiker sebagai penghiasnya.

"Jani, jani, kamu memang ceroboh sekali." Begitu gumam Nawasena ketika membaca satu kejadian memalukan yang Arjani tuliskan. Saat itu dia tanpa sengaja mendorong seorang lelaki yang dikiranya Sena, tetapi dia justru kakak ketua UKM* mereka pada saat itu. (*Unit Kegiatan Mahasiswa)

Sebagian dari apa yang Arjani tuliskan sudah diketahui Sena. Selain diary miliknya, Sena agaknya dipergunakan pula sebagai versi dari diary berjalan untuk Arjani. Sudah dikatakan bukan sebelumnya, bahwa mereka kerap menghabiskan banyak waktu bersama dan berbagi kisah bersama.

Namun mendadak, di pertengahan buku, seolah segala ciri khas milik Arjani lepas dari dirinya.

Nawasena mengernyit heran manakala mendapati keanehan di sana. Sejak di halaman menengah sampai akhir, Arjani hanya menuliskan beberapa baris saja. Tidak bercerita banyak sampai menghabiskan satu-dua lembar seperti awalnya. Pun tak ada lagi tempelan stiker lucu-lucu sebagai penghias.

Namun ketika membaca satu isi hati sahabatnya di sana, Nawasena mendadak paham.

Halo, akhir-akhir ini aku ngerasa ada yang aneh. Nggak tau apa, nggak tau kenapa. Ini cuma perasaanku saja atau Nawasena emang kelihatan lebih ganteng?


Tadi Sena pamer baju barunya. Warna hitam polos tapi ada tulisan-tulisan kecil di bagian kanannya. Terus dia paduin itu sama celana hitam selutut juga. Dia ganteng (tapi jangan kasih tau Sena aku bilang begini). Dia bilang mau ajak aku jalan, latihan kencan katanya.


Akhir-akhir ini sering banget berangkat-pulang kampus sama Sena. Semenjak motorku rusak, cuma Sena aja tebengan paling aman buat diajak kemana-mana. Jangan tanya Bapak kemana, Pak Bos yang satu itu lagi sibuk, temanss!


Sumpah, padahal cuma pulang bareng Sena aja tapi rasanya kayak marathon! Deg-degan banget, pemirsa!


Dan Sena terus membacanya. Hal-hal kecil terkait dirinya yang entah kenapa dan bagaimana tampak begitu spesial bagi Arjani. Sampai satu lagi hal membuatnya terpaku di halaman yang sama untuk sepersekian menit.


Kayaknya aku terlalu sering bahas Sena dari sini. Iya, aku tau nggak salah pembahasan tentang Sena terus aku tulis. Cuma yang bikin salah adalah, karena perasaan yang nggak tau itu namanya apa. Perasaan asing yang entah bagaimana ada setiap kali aku bareng Sena. Rasa senang kalau aku sama dia, rasa pengin cepat-cepat ketemu dia kalau lama nggak ketemu, terus nggak suka kalau ada cewek lain yang dekat-dekat sama dia.


Gawat!


Iya, aku mulai paham perasaanku ini apa.


Iya, emang salah. Aku tau, tapi maaf ya Sena.. Perasaannya nggak bisa aku bawa pergi. Perasaannya nggak bisa aku tanggulangi.


Aku cinta Sena. Sudah, itu saja intinya.


Tanpa sadar, Sena meremat pinggiran buku milik Arjani. Punggungnya yang bersandar di kepala ranjang mendadak merosot dengan kepala yang mengadah pada langit-langit. Pria tersebut tersenyum miring, melepas tawa sumbangnya yang begitu terdengar miris.

Kemudian, Sena tidak mau membuang waktu cukup lama. Dibukanya lagi dan lagi buku harian Arjani sampai berhenti di satu halaman.


Orang bilang, terlahir dari keluarga yang lengkap dan berkecukupan adalah hal yang membahagiakan. Aku setuju. Orang bilang juga bahwa mempunyai banyak uang akan membawa kita kepada hal-hal yang bahagia. Baik, aku setuju. Tapi ketika orang bilang bahwa menjadi anak dari keluarga yang lengkap, harmonis, dan uang yang cukup, tetapi aku tidak boleh bahagia, maaf aku nggak setuju. Kenapa aku nggak boleh bahagia? Kenapa aku nggak boleh nangis? Padahal kan aku sama kayak kalian, aku juga manusia.


Bapak di PHK, kayaknya uang keluarga kami nggak begitu banyak. Apa keluargaku bakalan berubah ya?


Hmm, bapak sama ibu lagi-lagi kelahi. Hehe, nggak apa-apa, sih. Cuma seenggaknya jangan keras-keras. Kasihan Raras yang sampai nggak bisa berhenti nangis.


Malam ini memang rumah sedikit lebih tenang, tapi sayangnya isi kepalaku nggak tenang. Tau nggak apa yang lucu? Aku yang dari tadi nangis, tapi nggak tau kenapa. Aku yang sejak tadi ngerasa sesak, tapi nggak tau atas sebab apa. Sayangnya Sena nggak ada, kayaknya dia sibuk ngampus. Padahal pengin ketemu dia.


Sena menghela napas berat. Arjani, inikah yang selama ini kamu sembunyikan dari saya? Inikah hal menyakitkan tentangmu yang saya lewatkan dulu? Arjani, lagi-lagi saya payah sekali, ya? Kamu sedang sakit, kamu sedang sedih, tetapi saya tidak ada di sana. Maafkan saya, Jani. Kamu pasti benar-benar kesepian saat itu.

Lalu Sena kembali membaca isi buku Arjani.


Aku dan Sena kelahi. Kami bertengkar hebat. Kayaknya ini pertengkaran pertama terbesar kami deh.


Sena sudah pergi tadi pagi. Dia nggak bilang apa-apa, dia langsung keluar tanpa pamit.


Setelah dipikir-pikir, aku mungkin juga salah. Sena kan lagi sibuk-sibuknya. Harusnya aku nggak banyak nuntut. Sampai sekarang belum ada chat dari Sena. Maaf ya, Sena. Nanti aku bilang langsung dan minta maaf ke kamu deh. Sepulangnya kamu dari lomba, kita makan-makan, ya. Ke kafe es krim langganan kita juga.


Aku kangen Sena :(


Lusa Sena pulang! Aku mau minta maaf sama dia.


Tidak ada tulisan lagi setelah itu. Nawasena benar-benar menghabiskan malamnya membaca buku harian Arjani hingga tuntas. Pria tersebut menunduk dalam, tidak juga mengangkat kepalanya dan terus membaca penggalan kalimat terakhir yang Arjani tuliskan.

Lalu .....

Satu, dua, tiga tetes air jatuh membasahi lembar buku harian Arjani.

Itu adalah air mata Sena, yang kemudian terus luruh berjatuhan membasahi kertas tersebut. Membuat catatan Arjani perlahan mengabur dan luntur karena air mata Sena.

Cepat-cepat, si Wistara menutupnya. Seketika membawa buku tersebut ke dalam pelukannya. Kepalanya semakin menunduk dalam, bahunya gemetar hebat, serta dadanya begitu sesak. Napas ia raup dalam-dalam dengan rakusnya.

"Jani, jani, jani," panggil Sena lirih, nadanya begitu pilu. Pria tersebut meluruh dan berbaring menyamping. Tak menarik selimutnya dan membiarkan tubuhnya meringkuk kedinginan.

"Jadi, saya rindu kamu. Saya rindu kamu. Maafkan saya, Jani. Semua salah saya. Saya yang nggak bisa ada untuk kamu, padahal selama ini kamu selalu ada untuk saya."

Sena menjeda ucapannya, pria tersebut terus terisak sambil mengeratkan pelukannya pada buku harian Arjani.

"Kamu tau apa yang menyakitkan, Jani?" Sena tersenyum miris, "Saya bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk melihat wajah kamu untuk terakhir kalinya. Saya nggak punya kesempatan untuk mengantarkan kamu ke tempat peristirahatan terakhirmu."

Kemudian satu foto Arjani diambil Sena dari dalam laci nakasnya, ditatapnya foto si gadis bersurai pendek dengan senyum manis dari lesung pipinya. Sena tersenyum sedu, matanya basah, dan dadanya masih begitu sesak. Namun, mengabaikan itu semua, Nawasena berucap dengan penuh harapnya.

"Saya ingin kembali padamu, Arjani. Masih banyak hal yang ingin saya lalui bersama kamu, masih banyak cerita yang ingin saya bagikan, dan masih ada banyak harapan serta mimpi-mimpi kita yang belum tercapai."

Barangkali lelah karena sejak tadi menangis, perlahan napas Sena menjadi teratur. Pria tersebut sedikit demi sedikit terserang kantuk, dengan mata yang mulai meredup, di sisa waktu terakhirnya sebelum tidur, Sena kembali bergumam lirih.

"Jani, saya ingin kembali pulang, kepada kamu, rumah saya."

***

Tringggg!!!

Sena mengerjap cepat ketika suara tersebut memekakkan telinganya. Spontan pria tersebut bangun dan langsung duduk. Sedikit mengerang kesal manakala pening tiba-tiba menghampirinya. Lantas, tak membutuhkan waktu lama, Sena mengambar jam beker miliknya dan mematikan alarm.

"Oke, saatnya kerja, Sena," gumam Sena. Masih dengan wajah mengantuk dan mata yang setengah terbuka, pria tersebut berjalan menuju kamar mandinya berada―tunggu sebentar, di mana kamar mandinya?

Sena jelas linglung. Atau barangkali efek terlalu lama menangis sampai dia mendadak berhalusinasi bahwa kamar mandinya hilang begitu saja. Jelas-jelas kamar mandi Sena ada di dalam kamar, dan itu letaknya ada di―

Uh, oh, tidak. Berbicara masalah kamar, Sena sadar bahwa ada yang aneh. Ini jelas bukan kamarnya! Lalu Nawasena jelas panik. Dia bahkan sampai berbalik heboh hanya untuk memastikan tidak ada seorang perempuan yang juga terbaring di ranjangnya, pikiran Sena memang terlalu negatif tetapi untuk kasus ini, hanya itu yang masuk di akal. Tidak mungkin dia bangun di tempat asing dalam keadaan tidak sadar jika bukan karena itu.

Tenang, tidak ada manusia lain. Hanya ada dirinya di dalam kamar ini. Sena bernapas lega.

Baik, Sena. Tenang, kamu hanya perlu mencari tahu lagi ada di mana.

Mata Sena menyisir ke setiap sudut ruangan. Dia mendadak merasa familiar. Bahkan aroma kamar yang ia tempati saat ini jelas membawanya kepada kenangan lama dahulu. Ada satu rak buku gantung berisi buku-buku tebal bertemakan self-improvement, ada satu meja belajar di sudut ruangan, serta satu kursi yang mengarah ke jendela.

"Nggak, ini pasti mimpi." Sena tersenyum tak percaya. Lalu ia mengangguk, kembali pada ranjang dan membaringkan tubuhnya di sana, "Oke, ini pasti mimpi. Lagian nggak mungkin aku tiba-tiba balik ke rumah lama. Malah posisi buku-buku sama barangnya sama lagi."

Sena menggelengkan kepala sembari tertawa geli, "Kayaknya besok-besok nggak boleh nangis lagi sebelum tidur, ya ampun Sena. Lihat, kan kalau sampai kebawa mimpi gini. Oke, jadi ayo kembali tidur, supaya bisa langsung bangun di dunia nyata."

Brak! Brak! Brak!

Sena mengumpat. Jantungnya nyaris lepas. Siapa sebenarnya yang menggedor pintu rumahnya sekeras itu? Bar-bar sekali. Sena harus tidur kembali, supaya ia segera bangun di dunia nyata dan kembali bekerja.

"SENA! KAMU NGGAK MAU KULIAH?! CEPAT BANGUN!"

Sena lantas berjingkat duduk. Pria itu menyengir dengan dua sudut bibir yang ditarik begitu lebar. Benar! Ini rumahnya dulu, dan Sena berlari membuka tirai pada jendelanya. Bingo! Rumah ber-cat oranye itu masih tampak begitu bagus. Jika rumahnya masih sama, jelas pemilik rumahnya pun masih sama.

"NAWASENA CEPAT KELUAR, KALAU NGGAK AKU DOBRAK!"

Suara itu tidak asing. Jelas. Sena bahkan masih menghafalnya hingga saat ini.

Arjani!

Cepat-cepat Sena keluar dari kamar. Berlari begitu kencang menuju pintu depan. Membuka cepat kunci rumahnya. Jantungnya berdetak menggila, adrenalinnya terpacu. Jarang sekali ia memimpikan Arjani, saat-saat sakral begini tidak boleh dilewatkan.

Pintu terbuka!

Sena tanpa sadar stagnan. Pria tersebut tertegun, senyum lebar yang tadi menghiasi wajahnya mendadak menghilang. Tubuhnya mendadak malfungsi dengan tangan yang spontan terkepal. Di hadapannya ada eksistensi Arjani yang tengah bersungut, hendak menggedor lagi kalau-kalau Sena tidak lekas keluar.

Mata Sena berkaca-kaca, jelas perasaannya campur aduk di sana. Tanpa sadar, helaan napas panjang ia lepas begitu saja. Akhirnya, dia bisa melihat Arjani begitu jelas saat ini.

"Di gedor nggak dibuka. Lupa ya hari ini kamu ada kuliah pagi? Saya kan mau nebeng pagi ini. Lain kali―AAAAA! SENA, KAMU NGAPAIN?!"

Arjani memekik manakala Sena mendadak menariknya dan memeluknya dengan begitu erat. Gadis tersebut berontak cukup heboh dan memukul dada sahabatnya berkali-kali.

Sena tetap mempertahankan posisinya, "Sebentar, Jani. Sebentar saja, waktu kita nggak lama. Saya tau ini mimpi, tapi saya cuma ingin peluk kamu sebentar."

Aroma tubuh Arjani masih sama seperti dahulu, parfum yang ia pakai begitu wangi dan lembut memasuki penciuman Sena, nyatanya tubuh Arjani yang kini berada di pelukannya terasa jelas, hangatnya tubuh Arjani yang selalu Sena rasakan setiap mereka berpelukan. Sena tersenyum lega, akhirnya ia bisa bertemu Arjani meskipun hanya seben―

"AAAAAA!!" Sena berteriak keras ketika Arjani mendadak menginjak kakinya.

Namun belum cukup sampai di sana.

"Aduh! Aduh! Aduh! Jani, jangan main pukul segala, dong. Iya nanti saya pergi kok. Kan ini juga mimpi, kamu jangan galak-galak."

Arjani gemas sendiri. Plak. Ia mendaratkan satu pukulan di belakang kepala Sena.

"SAKIT, JANI!"

"Mimpi, pala lu, mimpi!" sungut Arjani, wajahnya sudah memerah total. Ia memandang Sena sarat peperangan, "Mandi sana! Cepat bersih-bersih, biar kamu nggak masih ngigau sampai ngira kalau ini mimpi! Atau perlu aku suruh Raras biar siram kamu kayak biasanya?"

"Hah?" Sena menatap Arjani bingung, dia menatap tangannya yang tadi menjadi tempat pendaratan pukulan-pukulan Arjani. Sakit, rasanya begitu jelas. Sakit sekali.

"Ini mimpi, kan?" gumam Sena, tetapi masih di dengar Arjani.

"Mimpi apaan, sih, Sena? Udah nggak ada mimpi-mimpian, makanya kamu cepat cuci muka biar langsung bangun! Nanti kita telat ngampusnya!"

Sena memandang horor Arjani yang tengah bersidekap di hadapannya. Di pandangi begitu, Arjani curiga dan takut sendiri.

"Kenapa lihat-lihat―aduh! Apaan, sih, Sena?"

Sena menempatkan dua telapak tangannya di dua sisi wajah Arjani. Melihati gadis tersebut dengan lamat-lamat, menarik dua pipinya, ujung hidungnya, sampai menepuk dua lengan atas Arjani beberapa kali untuk memastikan.

"I-ini, kenapa rasanya asli begini? Kamu bukan rohnya Arjani, kan? Tunggu, sebentar. Kalau roh jelas nggak bisa dipegang," Sena menggumam di akhir, dan Arjani semakin tidak mengerti ucapan sahabatnya.

Wajah Sena memucat, lagi-lagi dipandangi Arjani dari atas hingga bawah. Pria tersebut bahkan meringis saat beberapa kali mencubit pahanya diam-diam.

Rasanya sakit. Dan ini terasa nyata. Kenapa Sena tidak kunjung bangun dari mimpinya?

Tunggu sebentar. Atau jangan jangan ... ini bukan mimpi?

"Ka-kamu bilang apa tadi? Ngampus?"

Arjani memutar bola matanya malas, "Sena, ada jamnya pak Wayan nanti, dosenmu yang galak itu. Kamu kenapa, sih? Sakit? Kok linglung gini. Atau perlu―"

BRAK!

Arjani berjingkat kaget. Ucapannya terpotong. Rambutnya bahkan sampai melambai karena kerasnya Sena menutup pintu rumahnya tepat di hadapan Arjani.

Gadis tersebut mendadak tidak sanggup menahan kesabarannya lagi. Dua alisnya menyatu dan wajahnya semakin memerah. Dalam hatinya berisi begitu banyak umpatan untuk sahabatnya.

"YA UDAH! AKU PAKAI OJOL SAJA!" lalu terdengar hentakan sepatu Arjani meninggalkan rumah Sena.

Di sisi lain, di balik pintu, Nawasena memucat dengan jantungnya berdetak menggila. Mata lelaki tersebut membola dan dirasa keringat dingin membasahi tubuhnya.

Sena memandang sekeliling rumah. Lalu berjalan menghampiri satu demi satu sudut rumahnya. Ruang tamu, ruang keluarga, dapur, sampai kamar. Bahkan bingkai foto yang menghiasi beberapa tempat di dinding. Tidak salah lagi, ini rumahnya.

Kemudian Sena berlari kencang menuju kamar miliknya, tetapi langkahnya terhenti di kaca gantung yang berada di ruang tengah. Mata Sena semakin membulat sempurna.

Wajah yang kini berada di depan cermin itu masih tampak begitu muda, segar, bahkan lipatan dan kerutan halus di matanya tidak sebanyak ketika ia mengaca pada biasanya. Lantas mengingat satu fakta kembali, Sena melangkah cepat menuju kamar miliknya. Menyambar ponsel yang terletak di atas meja belajar. Cepat-cepat melihat tanggal di sana.

15 Juni 2018

Tanpa sadar, tubuh Sena meluruh dan mendarat di kursi, kepalanya mendarat di atas meja belajar. Ia mendesah cukup panjang.

"Ini aku nggak serius kembali ke empat tahun yang lalu, kan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro