07. Karakter-Karakter Kesayangan Nawasena

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Esensinya manusia memang membutuhkan sebuah pengakuan. Tentang di mana mereka layak berada, tentang di mana seharusnya pujian pun pengakuan tersebut tepat untuk ditempatkan, tentang betapa sebuah raga mempunyai begitu banyak kelebihan dari satu dan yang lainnya. Pun hal-hal semacam itu memang selayaknya diakui.

Nawasena percaya bahwa memberikan satu saja pujian, kendati itu berwujud sebuah kalimat sederhana, cukup untuk menciptakan sebuah ukiran senyum pun perasaan merekah bahagia dalam dada setiap manusia.

Itu sebabnya, hal yang sama sedang dilakukan si Wistara dalam sebuah buku catatan bersampul hitam. Menuliskan satu demi satu kata yang agaknya tidak akan pernah bisa mewakili seluruh isi hatinya secara absolut terkait tempat spesial Arjani dalam relung hati si tuan.

Sejak semalam, Nawasena tidak bisa tidur dengan benar. Dirinya beberapa kali terbangun. Mengecek tanggal pun waktu hanya agar memastikan ia tidak sedang terlena dalam mimpi dan enggan untuk beranjak menghadapi realita. Namun semuanya masih sama. Sena masih berada di tahun dan tempat yang sama, 2018 dan di rumah lamanya, tempat di mana masih ada Arjani di sisinya.

"Sedang nulis apa, Sena?" salah seorang kawan dengan jaket kebesaran miliknya menghampiri Sena. Menatap penuh atensi pada buku yang cepat-cepat ditutup si Wistara dengan kegugupan yang mengikut serta.

Sena mengenal dengan baik satu kawannya ini. Namanya Adhitama, yang seringnya Sena persingkat menjadi Tama. Seseorang yang di masa depan nanti sedikit-banyaknya selalu membersamai Sena di masa-masa sulitnya. Teman berjuang Sena yang secara tiba-tiba menjadi dekat di semester akhir, lalu tempat Sena menumpahkan segala cerita hidupnya, pun kawan yang juga membersamainya sampai di dunia pekerjaan.

"Nulisin isi hati," jawab Sena asal, dia tersenyum jenaka.

"Dih! Memang isi hatimu apaan? Jaman sekarang masih aja nulis diary-diary begini. Kuno kamu, Sena," ledek Tama memberikan senyum cemoohnya.

Namun Sena tidak merasa tersinggung, dia tahu tabiat Tama, jadi dia hanya mengedikkan bahu tak peduli.

Lagipula, di masa depan nanti kamu yang akan meminta saya menuliskan semua perasaan itu di dalam buku, Tama. Sena tersenyum getir mengingat satu lagi penggalan memori masa depan yang masih tersimpan rapat dalam ingatannya.

Mengingat bagaimana Tama yang kelihatannya memang sedikit berandal, secara tiba-tiba menaruh atensi teramat besar terhadap presensi Nawasena. Ikut terlihat hancur dan kacau ketika Nawasena kehilangan seluruh dunianya, ikut prihatin ketika hari-hari Sena tampak begitu suram tanpa ada ambisi apapun yang mengisi raga si Wistara.

Sampai ketika suatu ketika (berdasarkan ingatan Sena bersama Tama di masa depan nanti), Nawasena dan Adhitama sedang duduk di pinggir jalan. Lelah jelas menginvansi tubuh keduanya, tenggorokan mereka kering, pun sejak tadi suara perut yang saling bersahutan. Mereka memutuskan bertemu saat sama-sama ditolak untuk kesekian kalinya dari lamaran pekerjaan. Sena sampai sekarang tidak tahu apa yang mengebabkan Tama mengatakan kalimat seperti itu. Padahal yang sedang kacau dan bersedih hatinya jelas mereka berdua.

Namun semakin ke sini, Sena mulai mengerti. Kendati bersedih hati, Tama masih punya banyak tujuan hidup untuknya terus bersemangat mencari pundi-pundi rupiah. Ada adik-adik yang harus ia nafkahi, pun ada banyak impian masa depan yang harus ia wujudkan. Sedangkan Nawasena sama sekali tidak memiliki itu semua. Sena sendiri, ia tidak memiliki siapapun, keluarganya berada cukup jauh darinya. Tidak ada yang bisa benar-benar ia perjuangkan kala itu.

Sampai pada akhirnya, tatapan kosong tanpa minat hidup, menarik perhatian Tama. Seakan hanya dari sorot miris itu, Tama bisa membaca kehidupan Sena secara gamblang tanpa cela.

"Kalau kamu nggak percaya sama siapapun, coba untuk menulis, Sena. Saya dengar, menulis bisa buat perasaan seseorang jadi lebih baik."

Benar. Tama yang mengatakan itu. Sebuah kalimat yang ajaibnya diikuti Nawasena.

Sebuah buku bersampul hitam yang isinya hanya berupa keresahan hidupnya pun kerinduannya akan Arjani.

Buku yang sama dengan yang ada di hadapannya saat ini. Buku yang saat ini masih berupa lembaran bersih dan kosong tanpa noda, kecuali di lembaran awal. Buku yang di masa depan, berupa goresan tinta yang mewakilkan besarnya lara si Wistara pun berlukiskan air mata dari pemuda tersebut.

"Ngomong-ngomong makasih, ya, Tama?"

Tama menoleh keheranan, "Makasih untuk?"

"Untuk apa saja. Kalau nggak ada kamu, mungkin saya nggak bisa ngapa-ngapain nanti." Makasih sudah membersamai saya dan tidak meninggalkan saya, Tama. Terima kasih atas rasa sabarmu, Tama. Dan atas semua desakanmu agar saya tetap bertahan hidup dan mengenyahkan pikiran menyerah atas takdir sang pencipta.

Tama masih menatap kebingungan, sementara Sena hanya tersenyum jenaka sembari menepuk punggung Tama dua kali.

Saya janji akan memperlakukanmu dengan baik di kehidupan kali ini, Tama.

"Yuk, Tama. Ke kantin. Saya traktir."

"Ha?" Tama berseru heran, "Ada apa, nih, tiba-tiba? Ih, Sen, jangan gitu, dong. Sumpah horor tau kamu tiba-tiba baik gini. Saya takut."

Sena terkekeh, jelas sekali. Dia dan Tama belum sedekat itu di tahun 2018. Namun, memilih abai, dirangkul saja tubuh Tama dan diseretnya begitu saja.

"Nggak apa-apa. Lagi ada rezeki lebih. Kebetulan cuma kamu yang nyamperin, jadi ini cuma rezekimu."

"Yah, padahal mau sebarin kalo kamu mau traktir anak-anak. Biar rame-rame, Sen."

"Jangan ngelunjak, ya."

"Berbagi itu indah, Sena."

"Oke, kita balik aja kali, ya?"

"Eit! Jangan gitu, Sen. Becanda. Yuk, makan, laper. Makan berdua sama kamu juga nggak apa-apa. Biar romantis."

Sena lagi-lagi tertawa. Benar, baik di masa depan ataupun masa lalu, Tama masihlah Tama yang ia kenal.

***

"Selamat pagi, Arjani!"

"Jani, berangkat bareng saya, yuk!"

"Jani mau ke mana?"

"Habis beli boba, ya? Aku nggak dapet jatah, Jani?"

"Aku habis beli geprek nih, Jani. Mau makan bareng?"

Sudah hampir seminggu Arjani menjaga jarak dengan Nawasena. Setiap kali melihat presensi pemuda itu, Jani langsung lari terbirit-birit memasuki rumahnya. Seakan tidak cukup, langkah kaki itu juga langsung memasuki kamar dan menguncinya, kemudian masuk dalam selimut dan menutupi sekujur tubuhnya.

Nawasena jelas sinting!

Arjani tidak bisa menutup perasaannya terhadap pemuda tersebut. Jelas. Entah sejak kapan rasa nyaman dan suka itu muncul terhadap Nawasena. Atau bagaimana bisa pandangan Jani terhadap Nawasena berubah. Apakah itu dari pertemuan mereka sehari-hari, efek puber, atau hanya sekadar cinta monyet.

Arjani jelas tidak tahu.

Parahnya, setelah seminggu ini ia kabur dari eksistensi Nawasena di sekitarnya, kali ini keberuntungan berpihak pada pemuda tersebut. Arjani jelas tidak bisa kabur. Tidak karena sang ibu memberikannya satu loyang brownies dan meminta Arjani mengantarkannya ke rumah Sena―setelah Arjani tolak berkali-kali.

Dan di hadapannya, Nawasena tersenyum lebar. Tampak begitu bahagia hanya dengan keberadaan Arjani di sekitarnya. Binar dari kedua mata si Wistara yang begitu cerah, pendar yang jarang dilihat Arjani sebelumnya.

"Akhirnya kamu datang juga, Jani."

"Ibu buat brownies. Untuk kamu katanya," Arjani menyodorkan begitu saja nampan miliknya. Seraya ia yang mengalihkan pandangannya dari Sena.

"Wah! Brownies buatan ibumu?!" seru Sena antusias, "Saya kangen banget sama brownies buatan Ibu!"

"Baru juga dua minggu lalu kayaknya, kamu makan brownies-nya ibu." Arjani menatap Sena heran.

"Eh?! Iya, ya?" Sena tersenyum kikuk, "Ya nggak apa-apa, Jani. Dua minggu kan juga lama. Btw, makasih, ya. Ayo masuk dulu." Sena memberikan tanda dengan kepalanya, mengisyaratkan Jani untuk masuk.

"Nggak usah." Jani menolak cepat, "Saya mau langsung pulang saja."

"Sebentar saja, Jani. Saya sekalian pindahkan brownies-nya ibu. Biasanya juga gitu. Masuk dulu, gih."

Arjani tampak ragu, tetapi tak ayal dia pada akhirnya mengangguk, "Ya sudah."

Tidak ada yang dilihat Arjani dari rumah Nawasena. Selain karena suasananya yang begitu dingin dan sepi karena memang Sena tinggal sendiri. Setiap sudut rumah Nawasena jelas sudah dihafal Arjani, jadi dia hanya menunggu Sena dalam diam di ruang tamu milik si Wistara.

Nawasena tersenyum tipis. Diintipnya Arjani sekilas. Seusai memindahkan brownies dan mencuci nampan serta piring milik Arjani, lantas Sena menghampiri gadis tersebut.

"Salam sama ibu. Bilangin makasih."

"Okeyyy," kendati Arjani mencoba bersikap normal, tetapi jelas kecanggungan di antara mereka begitu terasa.

"Jani."

"Y-ya?" Jani terkejut ketika Sena tiba-tiba memanggilnya saat ia sudah diambang pintu.

Selang beberapa detik di sana, Sena tidak mengucapkan apapun. Hanya memandang Arjani dengan pandangan yang tidak dimengerti gadis tersebut. Namun, setelahnya Arjani bisa melihat sudut bibir pemuda itu ditarik tipis.

"Mau lihat laut sama saya?"

Halo semuanya!

Selamat hari raya idul fitri. Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. Maafkan aku yang apabila ada salah kata dan perbuatan ya. 

Anyway, semoga kalian suka sama cerita ini. Setelah lama ga update. Minggu ini aku akan mulai rutin update 3 kali seminggu. Jadi, terus pantau cerita ini :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro