Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum membaca, vote terlebih dahulu

***

Direkomendasikan : Banda Neira - Sampai Jadi Debu

Lantunan piano terdengar begitu lembut memenuhi setiap sudut ruangan. Ketukan demi ketukannya yang merdu membawa dua daksa yang tengah saling mendekap itu berayun, bergerak sesuai irama, seiring dengan dua pasang tungkai melangkah ringan. Semakin lama, intro dari awal lagu yang melantun cantik itu membawa keduanya ke dalam suasana yang begitu mendebarkan. Kendati tetap terasa begitu bahagia dan mesra.

Latar yang diciptakan dua insan kasmaran ini bukanlah seperti pasangan lain kebanyakan. Bukan seperti mereka sedang berada di restoran terkemuka, dengan lampu gantung yang berkilau indah, ataupun iringan orkestra yang mengiringi gerakan dansa romantis keduanya.

Tidak―konsep tersebut terlalu mewah untuk mereka berdua.

Ini hanyalah lagu sederhana yang dinyalakan Nawasena melalui aplikasi musik di ponselnya. Diletakkannya gawai tersebut di atas meja kaca, dengan bagian tengah ruangan yang sudah terlebih dahulu dikosongkan. Lantas setelah itu, si pemuda mengulurkan tangannya, membawa Arjani dan menuntun si jelita untuk dibawa ke dalam dekapannya. Seiring dengan itu, dua lengan Arjani sudah mengalung pada leher kekasih hatinya.

Kendati tidak benar-benar pintar berdansa, tetapi baik Arjani maupun Nawasena menikmati waktu-waktu mereka dengan begitu damai. Adapun, dua pasang iris itu saling mengisi, saling memenuhi, dan saling mendalami makna apa yang disembunyikan di baliknya. Ada banyak arti dari tatapan itu―tentu saja. Namun keduanya tahu, ada banyak pula afeksi yang saling mereka lemparkan satu sama lain hanya untuk disampaikan secara tersirat betapa besar cinta yang mereka miliki.

Badai tuan telah berlalu
Salahkah ku menuntut mesra?

Rematan jemari Sena dirasakan Jani pada pinggulnya, awal lagu sudah dimulai dan itu artinya acara dansa sederhana dadakan yang mereka lakukan di ruang tengah ini pun juga memasuki intinya (mengingat cukup panjang intro pada lagu Banda Neira tersebut). Arjani tersenyum simpul manakala Nawasena menyatukan dahi mereka bersama, keduanya saling berbagi tawa kendati tidak ada yang benar-benar bisa ditertawakan. Hanya fakta bahwa kini sedang bersama dan saling merengkuh mesra, agaknya menjadi suatu fakta yang membahagiakan mereka secara absolut.

"Kalau dansanya begini, ngapain pakai acara dansa segala, sih, Sena?" tanya Arjani tak habis pikir. Dia tertawa melihat mereka yang tampak konyol.

Jangan bayangkan keduanya berdansa indah layaknya para bangsawan di era lampau, karena yang nyatanya terjadi hanyalah keduanya yang saling mendekap dan berayun ke kanan ke kiri mengikuti irama.

"Tapi biar begini, kamu senang juga, kan?" balas Sena tak mau kalah.

Arjani mengangguk tanpa pikir panjang. Didekatkannya wajah mereka, mencuri satu kecupan pada bibir Nawasena, mengundang seulas senyum pada si pemuda, "Senang, saya senaaaaang sekali," ucapnya lirih.

Nawasena semakin mengeratkan rengkuhan mereka. Lagu dari Banda Neira berjudul Sampai Jadi Debu, yang belakangan menjadi kesukaan mereka berdua masih terus berputar sebagai pengiring yang membawa suasana semakin intim dan mesra.

"Tiap pagi menjelang," Sena bernyanyi lirih, dahi mereka kembali menyatu, dan mendadak suasana berganti. Tidak benar-benar membahagiakan seperti tadi, keduanya seolah diingatkan kembali dengan satu fakta menyakitkan yang inginnya dienyahkan dari ingatan. Namun tak ayal, di sana Nawasena masih memandang Arjani dengan tatapannya yang begitu memuja. Menutup kedua matanya sesaat dan menggesekkan ujung hidung keduanya mesra. Dan dia pun melanjut penuh makna, "Kau disampingku."

Dan Arjani tersenyum sedu. Tangannya beralih, menangkup pipi Sena dan membelainya lembut, "Ku aman ada bersamamu."

Kemudian lirik tersebut pun melanjut. Sebuah penggalan kalimat dari lagu sederhana yang nyatanya sanggup menyakiti mereka berdua di saat yang sama. Arjani sadar benar bahwa suaminya ini tengah menahan tangis ketika rematan di pinggulnya berganti dengan rengkuhan Sena pada tubuhnya. Sena mendekapnya begitu erat, menumpukan kepalanya pada bahu Arjani, lantas membaui aroma khas sang istri sedikit rakus. Seakan tidak ingin melupakan bagaimana tanda eksistensi Arjani di dekapannya.

Di sisi lain, Arjani tak kalah kacaunya. Gadis tersebut mati-matian menahan tangis dengan bibir bergetar yang kini digigitnya keras. Lengan ringkihnya turut memeluk Sena kendati tidak cukup mengingat proporsi tubuh mereka yang berbeda.

Namun di tengah rengkuhan mesra nan sedu itu, Arjani bisa mendengar bisikan nyanyian Sena yang terdengar pilu di telinganya, "Selamanya," sesuatu basah yang detik itu pula dirasakan Arjani pada pakaiannya. Arjani mengelus sayang punggung lebar Sena, menenangkan kekasihnya tersebut dari isak tangis tanpa suara yang jelas lebih menyakitkan.

Namun tidak berhenti di sana, Nawasena melanjutkan dengan suaranya yang bergetar hebat. Melepas pelukannya, dan menangkup wajah Arjani yang tampak begitu mungil di kedua tangannya, "Sampai kita tua, sampai jadi debu," lantunnya tepat di depan bibir Arjani, dengan nada putus asa sekaligus frustasi.

Arjani mengangguk, mereka berdua seperti tengah berbincang melalui lirik lagu tersebut. Dua tangan si puan kini sudah berada pada dada Nawasena dan memberikan elusan menenangkan di sana, lantas ia membalas nyanyian tersebut dengan sorot mata menyiratkan banyak makna, "Ku di liang yang satu."

Dan Sena melanjut di sekon setelahnya, "Ku di sebelahmu."

Kemudian tidak menunggu waktu lama, seluruh perasaan itu ditumpahkan melalui ciuman mesra pada labium mereka yang saling berkaitan. Tidak cukup sampai di sana, kecupan demi kecupan kasih Sena berikan kepada sang istri dengan begitu lembut. Mewakili perasaan Sena yang begitu besar kepada Arjani.

Dan setelah meninggalkan satu lagi kecupan pada bibir kekasihnya itu, Sena kembali membawa Arjani ke dalam pelukannya. Pemuda itu lalu berbisik―sedikit terdengar keras kepala, tetapi tak menyembunyikan nada frustasinya.

"Kamu tidak akan sendiri, Arjani. Tidak ada yang akan meninggalkan ataupun ditinggalkan. Saya akan tetap bersama kamu. Saya janji."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro