04. Effortless

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika kau ingin tahu tentang seseorang, maka kau harus mengenalnya sendiri. Menilai sesuatu hanya berdasarkan cerita orang lain itu tak adil.

------------

Dylan hanya menatap bingung ketika Nathan menyeruak ke rumahnya, mengobrak-abrik dapur pribadinya, lalu memasakkannya Spageti.

"Bung, apa kau lupa kalau aku tak suka spageti?" Dylan manyun.

"Tahu," jawab Nathan enteng sambil meletakkan dua piring Spageti di meja makan.

"Lalu untuk apa kau repot-repot ke sini dan membuatkan ini? Ingat, aku masih normal. Rayuanmu takkan mempan, dan aku takkan mau menikahimu," ujar Dylan.

Nathan terbahak mendengar omelan Dylan. Ia mengambil serbet dan melemparkan ke arahnya. "Waktu itu aku hanya bercanda, sialan!" teriaknya.

Dylan mencibir sambil menangkap serbet hasil lemparan Nathan.
"Lalu?" Ia bergerak dan duduk di kursi di seberang Nathan.

"Aku ke apartemen Lana dan berniat membuatkannya Spageti. Tapi ia tak ada. Ah, sudahlah. Makan saja. Kau takkan mati keracunan." Nathan ikut duduk.

Dylan ternganga.
"Tunanganmu tak ada di apartemennya? Apa kau serius?"

Nathan mengangguk.

"Kau tak berusaha mencarinya?"

"Mungkin dia bersenang-senang dengan temannya."

"Nathan, bagaimana jika ...."

"Bung ... " Nathan memutar bola matanya lelah. "Bisakah kita makan ini dengan nyaman?"

Bibir Dylan terkunci. Walau Nathan berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya, ia bisa lihat bahwa sebetulnya lelaki itu mengkhawatirkan keberadaan Lana.

Tak ingin menambah perasaan tak enak pada diri Nathan, ia biarkan saja lelaki itu menikmati Spageti buatannya sendiri. Dan ketika Spageti di piringnya habis, ia dengan senang hati menyorongkan Spageti bagiannya. Toh ia memang tak suka.

Menjadi dua pribadi yang berbeda tak menghalangi mereka untuk menjalin persahabatan sejak kecil. Bukan karena orang tua mereka juga sahabat dekat. Tapi karena mereka merasa klop. Saling melengkapi.

Ketika Nathan menghabiskan waktunya untuk membaca, Dylan lebih asyik main game. Hebatnya, mereka bisa melakukan dua hobi yang berbeda itu dalam sutu ruang.

Ketika Nathan asyik memancing, Dylan lebih senang berenang. Dan terkadang ia berenang di danau yang sama yang digunakan Nathan untuk memancing.

Hasilnya, Nathan akan berteriak histeris dengan kelakuannya, sementara Dylan tertawa puas. Untung mereka tak sempat adu jotos.

Selera musik mereka pun berbeda. Ketika Dylan menonton konser musik rock, Nathan tak keberatan ikut serta, walau ia tak suka. Yang ia lakukan adalah duduk manis di tempat VVIP, dan hanya duduk manis saja.
Pokoknya duduk manis.

Sebaliknya, ketika Nathan sedang menonton pertunjukkan musikal, Dylan juga tak keberatan menemani. Dan yang dilakukan lelaki itu adalah tidur nyenyak di kursinya selama pertunjukan berlangsung, hingga pulang.

Dalam menjalankan bisnis pun mereka punya cara yang jauh berbeda. Nathan cenderung kalem dan lebih memilih bermain cantik untuk memenangkan banyak tender. Sementara Dylan lebih agresif, dan cenderung menggebu-gebu. Cara apapun, nyatanya mereka sukses menjalankan bisnis mereka.

Beruntung mereka tak pernah mencintai perempuan yang sama. Toh, lagi-lagi, selera mereka juga berbeda.

Tapi Dylan pernah berkata, jika saja mereka mencintai orang yang sama, maka mereka akan berkelahi habis-habisan, lalu membiarkan si perempuan memutuskan. Setidaknya mereka sudah saling hajar.

Lelaki, begitulah.

Kenyang setelah menghabiskan dua piring spageti, Nathan memilih duduk-duduk di rooftop garden yang ada di rumah Dylan.

Keduanya tak saling membuka suara sejenak. Duduk santai di kursi kayu, asyik dengan pikiran masing-masing, sambil menatap langit luas yang dipenuhi kelip bintang.

Hingga akhirnya Nathan yang membuka suara terlebih dahulu.

"Dylan, aku tahu kau tak menyukai Lana. Aku juga tahu kau berusaha memisahkan kami. Kau punya alasan tertentu, aku tahu itu. Aku hargai perhatianmu, tapi ...," suaranya serak. "Aku benar-benar mencintainya."

"Sebenarnya apa yang kau cintai darinya?" Dylan masih terdengar kesal.

"Semuanya," jawab Nathan cepat.

"Tapi, kau 'kan tahu kalau dia ...."

"Aku tahu." Nathan memotong lagi. "Bahwa dia punya banyak kekasih. Bahwa dia jatuh ke pelukan lelaki yang satu ke lelaki yang lainnya. Bahwa dia pengejar materi."

"Nah, itu kau tahu, kan? Lalu untuk apa kau masih nekat menikahinya? Aku tak ingin kau terluka, Bung! Kau sahabat baikku!" Dylan terdengar menggebu, menatap sahabatnya kesal.

Nathan mendesah pasrah, balas menatap manik mata Dylan.

"Dylan, aku tahu dia bukan perempuan baik-baik. Tapi aku mau dengan sabar menanti, hingga ia bisa menjadi ... perempuan baik-baik," ucapnya lembut.

Dan jantung Dylan serasa ditohok. Merasa kalah telak mendengar jawaban lelaki itu.

**

Lana bangun keesokan harinya dan mendapati rumah Jim telah kosong. Pemuda itu sudah berangkat kerja terlebih dulu. Namun begitu, ia masih sempat membuatkan sarapan untuknya.

Terhidang rapi di meja makan mungil yang terbuat dari kayu berkualitas rendah. Tak lupa juga kunci duplikat ia letakkan di atas secarik kertas dengan pesan singkat yang ditulis buru-buru.

:: Makanlah yang banyak. Tinggallah di sini sesukamu, seperti biasanya. ::

Dan Lana terharu membacanya. Sebelum akhirnya gadis itu menghabiskan waktunya untuk mandi, sarapan, lalu bermalas-malasan di rumah Jim.

***

Hampir tengah hari ketika Lana kembali ke apartemennya. Dan moodnya segera berubah buruk ketika mendapati seorang pria berdiri termangu di depan pintu apartemennya.

Sosok itu mondar mandir sejenak, tampak sedikit tak nyaman dengan keberadaannya di sana.

"Untuk apa kau di sini?" Lana menyapa ketus.

Eric menoleh dan tampak bingung.
"Aku ... ingin bertemu dan bicara denganmu," jawabnya.

"Aku sedang buru-buru. Bicara saja di sini. Aku tak bisa menyilakanmu masuk. Aku tak mau dapat masalah," lagi-lagi Lana berujar ketus.

Eric menggigit bibir sebelum akhirnya membuka suara.

"Aku dan Emily menikah karena perjodohan."

"Lalu?" Lana menyandarkan punggungnya di pintu apartemen lalu bersedekap angkuh.

"Aku tak mencintainya."

"Bukan urusanku," potong Lana.

"Aku masih mencintaimu, Lana. Aku menyesal karena dulu telah melepasmu."

"Terlambat." Perempuan itu menjawab tenang.
"Sudah terlambat, Eric. Faktanya kau lebih memilih untuk melepasku ketimbang memperjuangkan diriku. Dan aku tak tertarik untuk menjalin hubungan kembali denganmu, terlebih karena kau sudah beristri."

"Jika aku meninggalkan segalanya, pernikahanku, istriku, apa kita bisa bersama lagi?" Eric berteriak frustrasi.

Lana tercengang.
"Apa kau sudah gila?" desisnya.

"Ya, aku cukup gila untuk datang kemari, menemuimu, mengemis cinta padamu, dan mengabaikan keluargaku," manik mata Eric menghujam langsung ke mata Lana.

Perempuan itu benar, Eric sepertinya sudah gila. Tak terbersit sedikitpun bahwa ia akan sampai pada titik ini. Ia yang awalnya sepakat sehidup semati dengan Emily, menerima ia sebagai istrinya, menjadikan ia bagian dari dirinya, sekarang malah bertekuk lutut - lagi - pada wanita ini.

Wanita yang sama, yang nyaris setiap malam ia impikan, yang pertama kali ia pikirkan di hampir setiap pagi manakala ia baru membuka mata.

Wanita yang masih sama, Lana.

"Aku masih mencintaimu." Eric kembali mendesis.

"Pergilah. Kau hanya buang-buang waktu di sini." Lana berbalik.

Eric bergerak, menarik lengan perempuan itu, mendorong tubuhnya ke dinding, lalu mencuri cium darinya. Menyambar bibirnya, kasar.

Lana meronta, mencoba melepaskan diri dari rengkuhan Eric. Ia berhasil mendorong tubuh lelaki itu dan mendaratkan tamparan keras ke pipinya.

"Apa yang kau lakukan, hah?!" Lana berteriak marah.

Eric tak menjawab. Ia menjilat bibirnya yang terasa perih. Asin. Ada darah di sana.

"Kau pasti sudah gila."

"Sudah kubilang aku cukup gila untuk meninggalkan istriku demi dirimu." Eric menjawab getir.

Lana mendesah.
"Aku takkan mau menjalin hubungan denganmu lagi, Eric. Aku akan menikah dengan adik iparmu. Jadi, lupakanlah," ucapnya.

Eric menggeleng. "Aku tahu kau tak mencintainya, Lana. Kau hanya mencintai kekayaannya. Dan perlu kau tahu, semua hal yang ia punya, aku juga punya. Uang, kekuasaan, properti, semuanya. Jadi aku takkan menyerah." Ia berucap yakin.

Lana terkekeh. "Baiklah, selamat mencoba tuan Eric. Dan pulanglah." Ia berbalik, membuka pintu, lalu segera menutupnya tanpa melihat kembali ke arah Eric.

Lana baru saja melepas mantel lalu melemparkannya dengan kesal ke sofa ketika bel pintu berdentang.

Mengira bahwa itu Eric, ia  bersungut-sungut bergerak menuju pintu dan membukanya. Ia nyaris saja mengeluarkan sumpah serapah namun urung karena ternyata yang ia dapati di sana bukan Eric, tapi Dylan.

Mood Lana yang sejak tadi sudah tak enak, sekarang bertambah dua kali lipat.

Perempuan itu tersenyum sinis, menyandarkan bahunya di daun pintu lalu bersedekap angkuh.

"Wow, suatu kejutan melihatmu di sini, Dylan. Ada yang bisa kubantu? Mau masuk?" tawarnya.

Dylan menatapnya datar.
"Tadinya aku datang ke sini untuk membicarakan tentang hubunganmu dengan Nathan. Kau tahu bahwa aku tak menyukaimu, begitupula dengan pertunangan kalian. Karena rasa hormatku pada sahabat baikku, karena aku tahu bahwa ia begitu mencintaimu, aku mencoba mengabaikan semua rasa tak sukaku padamu.

"Tadinya aku ingin bilang padamu bahwa jika kalian saling mencintai, aku akan berhenti mengganggu hubungan kalian. Tapi begitu aku melihat apa yang kau dan Eric lakukan barusan, aku yakin seratus persen bahwa kau memang tak pantas untuk Nathan. Tidak sedikitpun." Gigi Dylan terkatub, ada nada amarah pada kalimatnya.

Lana tertegun. Menghadapi serentetan kalimat yang keluar dari mulut Dylan, perempuan itu mendesis.

"Woa, tunggu dulu, Tuan Dylan. Ada apa ini? Kau datang ke apartemenku siang-siang begini hanya untuk mengomeliku?"

"Tadinya aku malah berencana mengeluarkan sumpah serapah padamu!"

"Karena?"

Dylan menyisir rambutnya frustasi. Tangannya terkepal dan pemuda itu merutuk lirih.

"Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat barusan, Lana. Kau dan Eric berciuman? Astaga, dia bahkan calon kakak iparmu." Ia mengumpat lagi.

Rahang Lana kaku. "Apa kau memata-mataiku?"

"Memata-mataimu? Cih. Aku melihat kalian berciuman di depan mataku sendiri! Ya ampun, kau benar-benar ..." tatapannya menusuk. "Tega-teganya kau melakukan ini pada Nathan?"

"Eric mencuri cium dariku. Kami tidak berciuman."

"Kau pikir aku anak kemarin sore yang tak bisa membedakan mana ciuman dan mana salam tempel?"

"Kau tak perlu repot-repot membedakannya, Berengsek. Aku juga tak sudi menjelaskannya padamu!" Lana naik darah.

Keduanya berpandangan tajam.

"Tinggalkan Nathan. Aku takkan membiarkanmu menyakitinya." Dylan mendesis. Lelaki dengan rahang kokoh itu seolah kehabisan kesabaran.

"Aku takkan meninggalkannya. Buat saja dia meninggalkan diriku, jika kau mampu." Lana menantang.

Dylan nyaris saja menyeruak, mendorong tubuh Lana lalu menghempaskannya ke dinding. Namun begitu ia ingat kontak fisik mereka yang nyaris intim beberapa waktu lalu, ia menahan diri.

Tidak, terlalu berisiko. Wanita ini berbahaya.

"Nathan mencintaiku. Bukan salahku jika ia jatuh cinta padaku. Bukan salahku jika ia mau melakukan apapun untukku. Dan bukan salahku jika aku adalah satu-satunya wanita yang ingin ia miliki seutuhnya!" Lana menjerit.

"KAU TAK PUNYA HAK UNTUK MENGATUR KEHIDUPANKU!" Perempuan itu masuk ke dalam apartemen lalu menutup pintu dengan kasar.

**

Lana menunggu dengan sabar di depan sekolah Sunny. Semestinya Nathan-lah yang menjemput gadis itu sepulang sekolah namun Lana yang berinisiatif untuk melakukannya.

Selain karena memang ia sedang tak sibuk, Lana butuh melakukan sesuatu untuk melupakan pertengkarannya tadi siang dengan Eric. Dan juga Dylan.

Demi Tuhan, dua lelaki itu membuat mood-nya berantakan.

Setelah lima belas menit menunggu di belakang kursi kemudi, akhirnya sosok gadis mungil yang ia nanti keluar dari pintu gerbang utama.

Lana buru-buru membuka kaca jendela dan melambaikan tangan. Dan Sunny menatapnya dengan muka masam.
Mungkin ia kecewa karena Lana yang menjemput, bukan Nathan.

Nathan dan Sunny punya hubungan yang teramat dekat. Sedikit berbeda dengan Nathan dan Yura yang sedikit lebih canggung walau mereka saudara kandung.

Saking sayangnya kepada Sunny, hampir setiap hari Nathan yang mengantarkan ia ke sekolah maupun menjemputnya. Padahal jika ia mau, bisa saya ia menyuruh salah satu pegawainya.

Nathan juga over protective pada gadis yang menginjak remaja tersebut. Ia akan memastikan bahwa gadis itu senantiasa baik-baik saja. Ia benar-benar menjalankan perannya sebagai kakak yang baik.

Ah, Lana iri. Andaikan saja ia punya kakak lelaki seperti dia yang bersedia melindungi dengan segenap jiwa dan raga, pasti hidupnya ...

Lamunan Lana buyar ketika melihat Sunny yang baru saja hendak melangkah ke arah mobilnya dihadang oleh beberapa siswa lain. Tiga orang anak laki-laki dan dus anak perempuan.

Lana tak tahu apa yang mereka bicarakan tapi dari ekspresi di wajah Sunny, kelihatan sekali gadis itu terganggu dan sedikit ketakutan.

Insting melindungi dari diri Lana muncul. Perempuan itu beranjak membuka pintu, lalu dengan langkah panjang mendekati Sunny yang sepertinya mulai terlibat keributan.

"Menyingkir darinya dasar bocah!" teriak Lana.

Beberapa siswa yang mengerubungi Sunny menoleh bersamaan dan menatap Lana dengan tatapan tak ramah.

"Jangan ikut campur urusan kami,  Tante." Seorang siswa perempuan berambut sebahu berujar ketus.

Bibir Lana berdecih. "Tante?" ulangnya.

"Jaga bicaramu, bedebah! Kau sedang bicara dengan orang yang lebih tua," ancamnya.

"Pergilah, ini bukan urusanmu." Kali ini siswa laki-laki bertubuh jangkung yang berbicara.

Lana mengigit bibir kesal. Tatapannya sempat singgah pada Sunny yang nampak tak berdaya.
Akhirnya, Lana mengayunkan tas-nya dan dengan sekali gerakan cepat, tas itu menghantam wajah siswa jangkung yang tadi berbicara ketus padanya.

Ia menarik lengan Sunny, lalu menempatkan tubuh gadis itu di belakang tubuhnya.

Kemudian dengan sikap protektif ia menatap siswa-siswa itu dengan tatapan tajam.

"Jangan menganggunya lagi! Jika kalian berani menyentuh Sunny seujung kuku sekalipun, akan kubuat kalian berakhir di penjara! Kalian tidak tahu siapa kami? Membuat kalian berakhir di penjara bukan hal yang sulit bagi kami. Mau coba, hah?" Lana berteriak lantang.

Remaja-remaja berseragam sekolah itu berpandangan, tapi toh akhirnya mereka bersungut-sungut lalu berlalu meninggalkan Lana dan Sunny.

"Ayo." Lana menggandeng tangan Sunny dan mengajaknya masuk ke mobil.

"Harusnya kau tak perlu melakukan itu." Sunny mengomel ketika Lana mulai menjalankan Roll-Royce pemberian Nathan tersebut.

"Hei, aku sudah membantumu. Setidaknya ucapkan terima kasih atau apa kek." Lana menjawab kesal dengan tatapan fokus ke jalan raya.

"Aku tidak butuh bantuan," sanggah Sunny.

"Apa kau dibully?" tanya Lana kemudian.

"Tidak." Sunny menjawab cepat. Tapi Lana tahu, gadis itu berbohong, ia berusaha menutupi sesuatu.

"Kenapa kau yang menjemputku? Kak Nathan kemana?"

"Repot." Lana menjemput pendek.
Mereka berdiam diri sejenak.

"Sunny, boleh kutahu kenapa kau tak menyukaiku?"

Sunny tak menjawab pertanyaan Lana.
"Nathan adalah kakak kesayanganmu dan sebentar lagi aku akan menikah dengannya. Jadi kenapa kau tak bersikap baik padaku?" lanjut Lana.

Lagi-lagi Sunny kembali tak segera menjawab.

"Karena .... " Ia terdengar bingung menjawab. "Karena Emily bilang kau perempuan jahat dan berniat menyakiti kak Nathan."

Lana tergelak lirih mendengar jawaban Sunny.
"Jahat? Apa selama ini kau pernah melihatku berbuat jahat pada kakak-kakakmu? Pada keluargamu? Pada dirimu? Bukankah tadi aku baru saja menolongmu, lalu kenapa kau bisa menilaiku jahat?"

Sunny tak sanggup menjawab. Kakak perempuannya memang kerapkali memperingatkan padanya untuk menjauhi Lana karena dia jahat. Tapi selama ini, tak pernah sekalipun ia melihat perempuan itu berbuat jahat pada orang lain.

"Sunny, jika kau ingin tahu tentang seseorang, maka kau harus mengenalnya sendiri. Menilai sesuatu hanya berdasarkan cerita orang lain itu tak adil." Lana berucap tegas. Dan Sunny serasa kehabisan kata-kata.

"Okay, kembali soal yang tadi. Apa kau dibully?" Lana melirik sekilas gadis remaja di sisinya. Dan gadis itu tampak gusar.

"Tidak." Dan lagi-lagi Lana tahu ia berbohong.

Lana manggut-manggut.
"Baiklah jika kau tak mau bercerita. Tapi jika kau punya masalah, jangan ragu untuk meminta bantuan padaku." Ia memperlambat laju mobilnya di pertigaan jalan.

"Jika toh kau tetap tak mau bercerita, jangan biarkan mereka menyakitimu. Berilah perlawanan, kau punya semua kekuatan untuk membalas perbuatan tak menyenangkan dari mereka. Dan kau tak punya alasan untuk dibully. Kau sempurna. Kau cantik, kau pintar, kau baik, kau menyenangkan, kau kaya raya, dan keluargamu punya segalanya.

"Tak ada yang berhak untuk menindasmu. Jangan takut. Angkat dagumu tinggi-tinggi, dan jangan biarkan mereka menyentuhmu. Kau yang seharusnya punya kuasa untuk mengatur mereka karena kau punya segalanya. Ingat itu."

Sunny ternganga. Ia benar-benar takjub dengan apa yang barusan ia dengar.

Selama ini ia memang penakut. Ketika teman-teman sekelasnya mengolok dirinya, meminta ia melakukan ini dan itu, ia hanya menurut.

Lana benar, kenapa ia harus menurut? Kenapa ia harus membiarkan mereka mengolok dirinya? Toh ia gadis yang sempurna. Ia kaya raya, ia punya keluarga terpandang, ia punya kakak laki-laki yang siap melindunginya.

Jadi, apa yang harus ia takutkan?

Ia nyaris punya segala hal yang diimpikan hampir semua orang di negara ini. Harta berlimpah, fasilitas mewah, semuanya.

Kenapa ia harus takut?

Ia yang seharusnya membuat anak-anak jahat itu bertekuk lutut padanya?

Ya, kan?

Tangan Sunny mencengkeram seatbelt hingga buku jemarinya memutih. Pencerahan seolah baru saja ia dapatkan. Ia takkan membiarkan lagi dirinya dibully. Ia pasti bisa melawan.
Pasti.

"Kak Lana .... " Ia nyaris saja mengucapkan terima kasih. Namun ponsel pintar di sakunya keburu berbunyi.

Buru-buru ia meraih dan menerima panggilan tersebut.

"Oh, Kak Dylan? Apa kau jadi berangkat sore ini? Baiklah, hati-hati. Jangan lupa oleh-olehnya." Ia berujar riang.

Lana tak tuli. Ia mendengar jelas bahwa Dylan-lah yang menelpon Sunny. Ia tahu hubungan mereka sama dekatnya seperti hubungan Sunny-Nathan. Dan ia juga tahu bahwa Dylan menyayangi Sunny ibarat adiknya sendiri.

"Siapa?"
Toh Lana tetap saja berbasa-basi menanyakannya.

"Kak Dylan. Sore ini ia berangkat ke Jepang untuk urusan bisnis. Dan ia sudah janji untuk membawakanku oleh-oleh," jawab Sunny riang.

Lana memakai kembali kaca mata hitam yang sejak tadi bertengger di kepalanya.

Perempuan itu mengulum senyum.
Tiba-tiba saja ia ingin ke Jepang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro