Part 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit keluar dari dalam kamarnya. Cowok itu sudah siap dengan seragam khas sekolahnya.

Menarik kursi makan, Langit langsung duduk di depan Cakra dan meraih selembar roti tawar.

"Berangkat bareng gue?" tanya Cakra yang baru saja melahap rotinya.

Langit mendongak, cowok itu menggeleng. "Gue bareng Dara. Motor dia kan di sini, kemarin gue anter dia pulang, motornya gue bawa lagi. Yaudah sekarang gue mau ke rumah Dara."

Langit diam beberapa saat. "Gue ngejelasin belibet banget gak sih?"

Cakra mengedikan bahunya tak acuh. Cowok itu memilih menyantap sarapannya saja dibanding menjawab pertanyaan Langit.

Sosok perempuan tiba-tiba saja bergabung bersama mereka. Mengenakan seragam yang sama, dan kini duduk di samping Cakra.

"Aku ikutan, ya."

"Gue berangkat, ya, Bang. Bye!" Langit beranjak, cowok itu meraih tasnya dan memilih melangkah pergi dengan posisi yang masih mengunyah roti.

Sonya, gadis itu memicingkan matanya tak suka. Lantas, ia melirik ke arah Cakra yang terlihat biasa-biasa saja.

"Langit gak berangkat bareng?"

"Bareng pacarnya," jawab Cakra singkat. Namun, senyum kecut kentara jelas di bibirnya.

Sonya menghela napas pelan. Sedikit kesal karena Cakra seperti tak ada niat menghalangi Langit untuk berdekatan dengan si Pacarnya alias Dara.

"Kamu gak ada niatan buat balik lagi sama Dara, gitu?"

Cakra menyimpan sarapannya ke piring dengan tidak santai. Cowok itu menatap ke arah Sonya. "Nya, gak usah bahas itu, deh. Ini masih pagi, aku sama Dara putus juga udah lumayan lama."

"Putus lumayan lama gak ngejamin perasaan kamu udah gak ada."

"Kayak perasaan kamu ke Langit?"

Sonya diam. Gadis itu membuang arah pandangnya ke sembarang arah.

Cakra menghela napas kasar. "Mau kamu apa sih, Nya? Waktu aku masih sama Dara, kamu selalu minta perhatian lebih ke aku. Sekarang, setelah aku udah gak sama Dara, dan berbalik Jadi langit yang deket sama Dara, kamu juga gak terima."

"Padahal posisinya kamu sama aku itu salah. Kita bersikap seolah tunangan nyata, padahal masing-masing di antara kita sama-sama punya pasangan waktu itu. Ini resikonya. Mau gak mau kamu ataupun aku harus terima kalau mereka udah bahagia, tapi bukan sama kita."

Cakra menghela napasnya pelan. "Jangan egois."

"Kamu bisa kehilangan aku kapan aja. Sama kayak kamu kehilangan Langit, dan sama kayak aku kehilangan Dara." Cakra beranjak, cowok itu meraih tasnya dan menatap ke arah Sonya yang masih terpaku.

"Ayo berangkat."

***

Langit memarkirkan motor milik Dara di pekarangan rumah gadis itu. Kemudian, cowok itu melangkah ke arah pintu rumah dan mengutuknya. "Dara! Main, yuk!"

Langit diam beberapa saat. Cowok itu menggeleng tak suka, "Gue jemput Dara udah kayak anak SD ngajak main, deh," gumamnya.

Langit kembali mengetuk pintu rumah Dara. Kemudian, ia kembali memanggilnya.

"Dara! Nikah, yuk!"

Cklek

Glek

Langit menatap kaget kala pintu terbuka dan malah menampakan sosok Papanya Dara.

Cowok itu tercengir kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Niatnya hanya bercanda, ia kira tidak akan ada yang keluar. Eh malah Calon papa mertuanya yang keluar.

"Eh, Langit?"

"Iya, Om. Langit, ganteng, ya?" Langit memukul bibirnya sendiri.

Memang ya, mulut tidak bisa direm. Malu-malu'in citra di depan calon Papa mertua saja.

Ragil menggeleng pelan melihat tingkah Langit. Sejak awal mereka bertemu, bocah ini ada saja tingkahnya.

"Dara di dalem. Masih sarapan. Om ada rapat, duluan, ya?" Ragil menepuk pundak Langit dan memilih pergi meninggalkannya.

"Iya, Om. Hati-hati." Langit mengangkat satu tangannya ke arah Ragil yang sudah masuk ke dalam mobil.

Kemudian, suara klakson dari mobil milik Ragil berbunyi. Langit menunduk sopan.

Setelah itu, ia kembali berbalik ke arah pintu. Namun sialnya, lagi-lagi ia dibuat kaget karena kehadiran seseorang yang tiba-tiba.

"Ngapain?"

"Buset!" Langit mengusap dadanya pelan.

Reza, ia mengangkat sebelah alisnya melihat reaksi Langit yang begitu berlebihan, menurutnya. "Kenapa, sih?"

"Kaget gue tuh Abang Reza," jawab Langit kesal.

Reza mendengkus pelan. Cowok itu terlihat sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Terlihat dari tangan kanannya yang tengah memegang helm full face miliknya.

"Widih, helm baru, nih," goda Langit.

Reza mengangguk. "Hadiah dari Nyokap. Katanya makin hari gue makin ganteng, Yaudah, ya. Gue berangkat." Reza langsung berjalan ke arah garasi.

Tak lama, cowok itu keluar bersama motor KLX yang Langit ketahui milik Dara.

"Duluan," ujar Reza kemudian melesat jauh meninggalkan pekarangan rumah.

Langit akhirnya memilih duduk di teras saja menunggu Dara. Ia yakin, sebentar lagi gadis itu pasti akan keluar.

Seraya menunggu, Langit memainkan ponselnya. Beberapa pesan masuk dari Jessica, sungguh membuat cowok itu risih.

Pesan tidak terlalu penting, menurutnya.

Ya ... hanya bertanya sudah berangkat atau belum? Sudah sarapan? Sedang apa? Sungguh itu membosankan sekali.

Kecuali jika pesan itu Dara yang mengirim. Langit pasti akan senang sekali.

"Kenapa di lihatin terus? Bales dong. Kasihan, tau."

Langit mendongak. Cowok itu melebarkan senyumnya kala melihat Dara yang kini beralih duduk di sebelahnya.

Gadis itu menatap halaman rumahnya sesaat. "Udah lama?" tanya Dara.

"Belum, sih. Tapi, gue harap sih, selamanya."

"Hah?" Dara mengerutkan alisnya tak mengerti.

Tangan Langit terulur mencubit pipi gadis di sampingnya itu. "Tadi lo nanya, udah lama? Iya, belum, belum lama nempatin hati lo maksud gue. Tapi, gue harap selamanya."

Dara tertawa. Gadis itu menggeleng pelan mendengar ocehan tidak jelas yang keluar dari mulut Langit.

"Gimana?"

"Apanya, Langit?" tanya Dara heran.

"Kemarin kan, lo bilang udah sayang. Terus, setelah gue ngomong gitu ... levelnya udah naik, belum? Jadi ... Cinta misalnya?" Langit mengangkat sebelah alisnya.

Dara meraup wajah Langit menggunakan tangannya. Dara tidak malu mengakui dirinya sudah mulai menyayangi Langit.

Karena di saat Dara bilang begitu, ya artinya memang begitu. Ngapain juga dia malu? Kan memang begitu kenyataannya.

"Loh, lo gemes banget ya sama gue? Astaga, gue tadi udah skincare'an pake minyak goreng bekas ikan asin, loh. Kalau kadar ketampanan gue luntur gara-gara tangan lo, gimana?" Langit melotot. Yang tentu saja kentara jelas jika cowok itu tengah bercanda.

Dara mengangkat sebelah alisnya.

Langit meringis pelan melihat respon Dara. "Gak lucu, ya?" tanya Langit.

"Lucu, kok," jawab Dara.

"Masa sih?"

"Iya, lucu banget. Lonya, tapi. Bukan candaannya," sambung Dara seraya tertawa.

Langit mengulum senyumnya sok malu-malu. Cowok itu beranjak, kemudian mengibas tangannya pada wajah. "Gue gak mau lompat-lompat lagi, takut jatuh. Gak lucu," ucap Langit.

Cowok itu menarik napas, dan membuangnya dengan sangat pelan. "Dar, berdiri," kata Langit.

Dara berdiri. Gadis itu menatap Langit yang saat ini berada di depannya.

"Mama Ayu, di dalem?" tanya Langit.

"Iya. Kenapa?" Dara melirik ke arah pintu rumah.

Tubuh Dara tidak siap. Namun sialnya, Langit langsung mendekap Dara dan mengajak gadis itu melompat bersamanya. "Gemes banget sih si Burung Dara."

Astaga, Langit!

Dara kesal karena dirinya sesak napas dengan posisi begini. Namun, dirinya juga senang melihat Langit senang begini.

Semoga saja Langit dan Cakra berbeda. Semoga saja, Langit akan terus mempertahankan Dara.

TBC

Thank you banget buat komentarnya di part sebelumnya! Sumpah sih, seneng banget T.T

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Langit

Dara

Cakra

Sonya

250 komentar, kita lanjut besok, bisa nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro