Part 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Wih, ada apa nih kumpul-kumpul? Ada anak cewek pula, Cakra, Langit … kalian gak macem-macem, kan?"

Anak remaja yang tengah berkumpul di ruang tengah itu, langsung mengalihkan pandangan mereka bersamaan.

Langit membelakkan matanya. Cowok itu refleks menepuk dahinya. "Asstagfirullah, gue lupa … tujuan kita kumpul di sini mau kasih Bokap gue surprise. Kenapa kalian malah pada diem-diem bae, sih?" tanya Langit kesal.

Ganjar, Papa dari Langit dan juga Cakra. Ia tersenyum dan langsung merentangkan tangannya. "Ini, gak ada yang mau nyambut Papa?"

Langit langsung beranjak, ia memeluk Papanya. "Maaf ya, Pa. Tadinya mau kasih surprise. Eh, malah pada bolot semuanya. Jadi enggak jadi, deh. Tapi, Langit sama temen-temen udah masak loh, semuanya udah siap di meja makan."

"Selamat ulang tahun ya, Pa. Langit sayang Papa. Makasih udah besarin Langit, dan tetep cinta sama almarhumah Mama."

Ganjar tersenyum haru. Ia kira, putranya tidak ingat hari lahirnya.

Namun, ia merasa sedih ketika putra sulungnya tidak menyambut kehadirannya sama sekali. Yang ia lakukan hanya duduk di kursi sambil menunduk.

Dara yang melihat tatapan Papanya Langit yang terarah kepada Cakra, langsung menatap ke arah Cakra.

Entah apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Langit terlihat antusias, sedangkan Cakra terlihat diam saja.

Padahal, Dara ingat betul ketika ulang tahun, orang yang pertama Cakra sebut adalah Papanya. Tapi, mengapa mereka malah terlihat … renggang?

"Cakra," panggil Dara.

Cakra mendongak. "Eh, kenapa, Dar?"

Dara melirik ke arah Papanya Langit dan meminta Cakra untuk berdiri dan menyambutnya.

Cakra diam beberapa saat. Cowok itu dengan ragu beranjak, kemudian ia berjalan menghampiri Papanya. "Pa …."

"Sini." Ganjar merentangkan satu tangannya lagi.

Tanpa aba-aba, Cakra langsung ikut memeluk Papanya dan menangis di sana. "Maafin Cakra kalau selama ini Cakra bandel. Cakra sayang Papa, selamat ulang tahun, Pa."

"Maaf juga Cakra gak inget ulang tahun Papa. Cakra …."

"Bang," panggil Langit.

Cakra menatap ke arah Adiknya. Cowok itu diam.

"Gue minta maaf kalau selama ini, lo ngerasa perhatian Papa cuman tertuju sama gue. Lo salah, Bang. Papa juga sayang sama lo."

Cakra tersenyum. Cowok itu langsung memeluk Langit dan juga Papanya. "Cakra sayang sama kalian," ujarnya.

"Papa juga Sayang sama jagoan-jagoan Papa." Ganjar membalas pelukan mereka.

Pandu dan Tora sudah saling peluk. Mereka menangis dengan nada dibuat-buat. Sontak saja hal itu langsung mengundang perhatian teman-temannya dan juga Papanya Langit.

"Bokap gue gak pernah peluk gue kayak gitu, Tor. Boro-boro peluk, gue bilang gue Sayang dia aja, dia langsung menghindar sambil keluaran jurus cimande. Katanya, gue kesurupan," ujar Pandu seraya pura-pura menangis.

"Sabar, ya. Bokap gue juga sama. Kalau gue peluk dia, gue malah disangka belok. Padahalkan gue sayang dia, tapi dia gak percaya. Katanya, gue sayang sama dia kalau ada maunya doang. Padahalkan, emang iya," sahut Tora.

Ganjar menggelengkan kepalanya. Ia menatap ke arah dua pemuda itu seraya tertawa. "Itu temen kalian?"

"Bukan," jawab Langit.

"Jahat lo, Lang. Padahal kemarin, lo bilang, lo sayang sama gue. Terus, lo bilang, lo gak akan tinggalin gue sampai maut memisahkan," jawab Pandu.

Langit mengerutkan alisnya. "Bukannya gue bilang gitu ke Dara, ya? Eh, tapi enggak deh, enggak pernah. Berarti lo ngada-ngada, Du. Itu namanya fitnah, Gak boleh tau."

"Dara? Siapa, nih?" tanya Ganjar seraya menatap Langit.

Langit melepas pelukannya. Ia langsung menarik pergelangan tangan Dara agar gadis itu beranjak. "Ini, kenalin. Pacar Langit. Tapi Papa jangan naksir, dia maunya sama Langit doang. Eh, mau sih sama Papa juga. Tapi, mau jadi menantunya, iya kan, Dar?"

Dara tersenyum sopan ke arah Ganjar. Pria itu menatap penampilan Dara, Dara mengulurkan tangannya. Namun, di abaikan. Ganjar tersenyum sekilas dan langsung merangkul Langit kembali.

"Papa lapar. Bisa kita ke meja makan sekarang?"

Dara menipiskan bibirnya. Gadis itu menurunkan tangannya kembali.

Langit dan Cakra langsung diajak ke meja makan oleh Ganjar. Tak lupa ia mengajak teman-teman Langit sekalian.

Dara masih diam di tempatnya. Papanya Langit terlihat jelas tidak menyukainya.

Bahkan, Langit terlihat tidak perduli akan itu. Entah ia terlalu senang karena Papanya sudah datang, entah bagaimana.

"Dar, Papanya Langit emang gitu. Dia orangnya baik kok. Nanti juga pasti bakal bisa nerima lo kalau lo udah sering ketemu sama dia." Sonya mengusap bahu Dara pelan.

Dara tersenyum dan mengangguk. "Iya. Gak papa. Kita ke sana, yuk," ajak Dara.

Pandu, melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap tajam ke arah meja makan dengan kesal. "Gue, kalau tahu Bapaknya si Langit kayak gitu, gak akan mau repot-repot masak!" kata Pandu yang merasa kesal melihat Dara diabaikan.

"Dara itu temen kita dari SMP, Tor, Nu. Gue mau balik!" kata Pandu.

Pandu mengambil tasnya. Cowok itu hendak pergi. Namun, Melly menahannya. "Pandu, tujuan kita ke sini buat Langit. Bukan buat Papanya. Langit pasti sedih kalau lo pulang gitu aja."

"Ih! Ngapain lo pegang-pegang gue?! Asstagfirullah, bukan mahrom! Gak boleh tau!"

"Halah Bacot. Bagian dipegang sama Dara gak ada tuh pake acara ngomong kayak gitu," sahut Tora.

Pandu menendang tulang kering Tora dengan kesal. "Dara itu Cees gue dari SMP. Beda! Dia gak suka sama gue, jadi gue gak akan khawatir dia minta kepastian," bisik Pandu.

***

Di meja makan, hanya ada keheningan yang tercipta. Semua terlihat fokus dengan makanan mereka masing-masing.

"Pa, cobain ini. Ini Dara yang masak, pacar Langit."

Ganjar melihatnya sekilas. Ia tersenyum ke arah Langit dan terlihat lebih tertarik dengan makanan lain. "Sonya," panggil Ganjar.

"Eh, iya, Om?"

"Masakan kamu yang mana?"

Dara meremas gagang sendok yang dipegangnya. Gadis itu memejamkan matanya kesal. Namun, sebisa mungkin ia bersikap tenang seperti biasanya.

"Sonya … gak ikutan masak, Om. Tapi bener kata Langit, Om mendingan cobain deh ikannya. Itu masakan Dara, enak banget." Sonya mengangkat sendoknya yang terisi ikan buatan Dara.

Ganjar masih mengabaikannya. Ia akhirnya memilih meraih masakan lain untuk ia makan.

Pandu mengepalkan tangannya kuat. Ia hendak beranjak. Namun, Tora menahannya. "Jangan gegabah, Du."

"Gue kesel, anjir! Gue doain sakit perut tuh orang makan masakan gue," bisik Pandu sedikit mendesis kesal.

Langit menatap ke arah Dara yang duduk di sampingnya. Tangan Langit menggenggam tangan Dara di bawah meja

Dara mendongak. Ia tersenyum tipis kala Langit menatapnya seolah mengatakan dirinya minta maaf atas sikap Papanya.

Selanjutnya, terjadi keheningan. Mereka memilih kembali fokus pada makanan mereka.

Dara sudah menarik tangannya dari Langit. Dan Langit, merasa hatinya tidak nyaman ketika Dara bersikap begitu.

Sampai beberapa menit kemudian, mereka selesai.

Pandu, Tora, dan Danu yang biasanya ricuh, kini memilih diam. Mereka terlihat sudah tidak nyaman berada di rumah Langit.

"Pa, ada yang mau Cakra bicarain," ujar Cakra.

"Soal?"

"Cakra sama Sonya. Kita … udah putusin buat enggak lanjutin pertunangan kita."

Hening. Ganjar melirik ke arah Sonya. Kemudian, ia mengangguk. "Iya. Semua keputusan ada di kalian. Papa juga baru tahu beberapa bulan yang lalu. Papa mendadak kangen Langit, terus masuk ke kamar dia yang di sana. Papa nemu foto Sonya sama Langit di kamar Langit. Bukan cuman itu, Papa juga nemu Diary Langit tentang Sonya. Ternyata, Langit sama Sonya pacaran, kan?"

"Papa minta maaf karena gak pernah tahu permasalahan anak-anak Papa."

"Papa juga setuju kalau Langit sama Sonya," sambungnya.

Langit mendongak. Ia menatap papanya protes. "Pa, Langit sama Sonya udah putus. Lagian itu Diary lama. Langit udah sama Dara sekarang."

"Dara," panggil Ganjar.

"Iya, Om?"

"Maaf sebelumnya. Kamu Cantik, tapi maaf … saya enggak setuju kalau Langit sama kamu. Langit itu anak baik-baik, dia …."

"Maksud Om, Saya bukan cewek baik-baik, begitu?" tanya Dara.

"Pa …." Langit protes tak suka. Tangannya langsung menggenggam tangan Dara. Takut gadis itu tiba-tiba saja pergi.

Langit menghela napasnya. "Dara anak baik-baik. Langit juga tahu mana yang baik buat Langit, dan mana yang enggak, Pa."

"Apa yang buat Papa berpikir kalau Dara bukan anak baik?" tanya Langit tak habis pikir.

"Semua bisa dilihat dari cara berpakaian, Langit. Kamu lihat Sonya, lihat temen cewek kamu yang satu lagi …." Ganjar melirik Melly.

"Penampilan mereka, cara berpakaian mereka sopan. Bukan celana sobek-sobek, jaket belel, anting hitam kayak gitu. Kayak preman," sambungnya seraya melirik Dara.

Cakra beranjak. Ia menatap Papanya tak suka. "Terus, apa kabar sama Cakra, Pa?" Cakra memperlihatkan penampilannya.

"Pokonya Papa gak setuju kamu sama Dara." Ganjar mengabaikan ucapan Cakra.

"Maaf, Om. Kalau kehadiran Dara di sini memang buat Om gak nyaman. Saya permisi. Selamat ulang tahun, Om. Saya denger, Langit Sayang banget sama Papanya. Dan saya yakin, Langit bakal dengerin apa kata Papanya. Termasuk buat enggak pacaran sama saya." Dara beranjak. Gadis itu tersenyum kemudian memilih pergi meninggalkan ruangan.

"Dar!" panggil Pandu. Cowok itu langsung berlari mengerjarnya.

Tora, Danu, dan juga Melly beranjak. "Lang, makasih buat makan malamnya. Tolong kasih tahu Bokap lo, kalau dia orang berpendidikan harusnya dia tahu cara makasih sama orang. Gue, Tora, Melly, Pandu di sini karena gue menghargai Dara. Kita gak akan bantuin lo kalau lo bukan orang spesial buat Dara. Bilang juga sama Bokap lo, gak usah nilai orang dari penampilan. Penampilan bisa nipu." Danu langsung menarik Melly untuk pergi.

Tora menepuk pundak Langit beberapa kali. Kemudian memilih pergi meninggalkan rumah Langit dan menyusul yang lain.

Langit menunduk. Dara itu penting untuknya. Tanpa Dara, mungkin, dia tak akan pernah berteman dengan Pandu, Tora, dan juga Danu.

Bersama Dara, ia merasa dirinya dibutuhkan.

Namun, sekarang semuanya mendadak kacau. Langit tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya setelah ini.

***

"Dar." Pandu menarik pergelangan tangan Dara. Cowok itu menatapnya dan langsung menarik Dara ke dalam pelukannya.

"Ada gue. Lo sahabat gue, Dar." Pandu mengusap punggung Dara pelan.

Dara mengepalkan tangannya di punggung Pandu. Mengapa hanya karena penampilannya, Papa Langit menilai seolah dirinya bukan gadis baik-baik.

Dulu, ketika dirinya berpacaran dengan Cakra, Dara belum pernah bertemu dengannya. Mengingat, tempat tinggal mereka yang terpaut sangat jauh.

Dan ini adalah pertemuan pertama Dara dengan Ganjar. Dara kira, Ganjar akan sebaik Langit.

Ternyata tidak.

"Salah gue apa, Du?"

"Lo gak salah, Dar."

Dara mendorong pundak Pandu agar ia tak lagi memeluknya. Dara tidak menangis, hatinya saja yang sakit.

Ia sudah pernah merasa ditolak oleh semua orang. Ini adalah hal biasa untuknya.

"Kita pulang, ya?" ajak Pandu.

"Lo gak nginep?"

"Mana bisa gue nginep dengan tenang, sedangkan Sahabat gue lagi dalam keadaan sedih kayak gini?" tanya Pandu.

Di kejauhan sana, Melly menyentuh dadanya yang terasa sakit melihat Pandu yang begitu menjaga Dara.

Mengapa harus Dara? Mengapa Pandu tak pernah melihat ke arahnya sebentar saja?

Danu yang melihat perubahan Melly, langsung menggengam tangan gadis itu. "Lo tahu rasanya diabaikan kan, Mel? Apa yang lo rasain lihat Pandu sama Dara?"

"Sakit? Itu yang gue rasain ketika lo kasih perhatian lebih sama Pandu," sambung danu.

"Woi, elah! Si Pandu anak emak itu membentengi dirinya buat gak suka sama cewek. Lo tahu sendiri si Pandu sama Dara emang deket dari dulu," ujar Tora kesal.

Lagian,sejak kapan danu jadi lebay begitu?

TBC

Gimana kesan setelah baca part ini?

Semoga suka!

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Langit

Cakra

Pandu

Danu

Tora

Sonya

Papanya Langit sama Cakra

See you!

Next besok?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro