Part 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dara mendapat kabar dari Neneknya bahwa Mamanya pulang bersama suaminya ke Cimahi.

Tentu saja Dara langsung izin ke sekolah dan memilih untuk berangkat ke Cimahi sendirian menggunakan kendaraan umum.

Saat kakinya menapak halaman rumah, mata Dara berkaca-kaca melihat kehadiran Ibundanya yang saat ini berdiri di ambang pintu menyambut kehadirannya.

Dara tanpa aba-aba langsung berlari dan masuk ke dalam pelukan Rebecca.

Ia menangis di sana. Ia rindu Mamanya, ia sudah menantikan momen di mana dirinya memeluk Rebecca seperti ini

"Apa kabar, Sayang?" tanya Rebecca seraya mengelus lembut kepala Dara.

Dara tidak yakin dirinya baik-baik saja. Di satu sisi, ia senang Mamanya kembali, walau mungkin hanya sementara.

Di sisi lainnya, ia sedih karena hubungannya dengan Langit kandas begitu saja.

Namun, karena tidak ingin membuat Mamanya bersedih, Dara tersenyum. "Baik, Ma. Dara baik setelah ketemu Mama," jawabnya.

"Mama di sini tiga hari. Selama tiga hari itu, Mama mau habisin waktu Mama sama kamu." Rebecca tersenyum seraya merapikan rambut Dara yang menghalangi wajah puteri cantiknya.

Rebecca menyesal kerana tidak menyaksikan pertumbuhan gadis ini hingga sampai sebesar sekarang.

Andai saja waktu bisa ia ulang. Rebecca ingin membawa Dara dan membesarkan gadis itu bersamanya.

Namun sayang, dulu, dirinya masih labil. Masih ingin bebas, dan tidak suka dengan segala sesuatu yang ia anggap penghalang.

Tanpa ia sadar, apa yang ia lakukan malah membuahkan penyesalan sekarang.

"Iya, Dara di sini sampai Mama pulang." Dara tersenyum.

Mungkin ini cara Tuhan agar Dara bisa terlepas dari rasa kehilangannya. Ia ingin menyembuhkan luka Dara sebentar dengan Cara menghadirkan sosok Rebecca yang sudah lama menghilang.

"Muka kamu pucet banget. Capek di perjalanan nih pasti. Ayo masuk." Rebecca mengajak Dara untuk masuk.

Kemudian, ia memperkenalkan suaminya dan juga anak tirinya pada Dara.

"Aland, ini puteri ku," ucap Rebecca menggunakan bahasa Inggris.

"Dara, ini suami Mama. Dan ini Alezio, anak suami Mama." Rebecca memperkenalkan Alezio dan juga Aland—suaminya pada Dara.

Dara tersenyum. Ia membalas uluran tangan mereka secara bergantian.

***

Tring!

Langit membulatkan matanya kala mendapatkan e-mail yang menyatakan dirinya lolos casting.

Wajah Langit yang awalnya terlihat antusias, berubah menjadi murung. Apa ia harus berangkat ke kantor mereka? Tapi, orang yang paling senang ketika Langit mengikuti casting adalah Dara.

Sekarang, Dara bahkan entah di mana.

Tadi, Langit sudah berkunjung ke rumahnya. Namun, tidak ada siapa-siapa.

Kata tegangganya, Ayu tengah berbelanja, Ragil jam segini masih di kantor, Reza tidak ada, dan Dara entah di mana tapi yang jelas dia tidak ada di rumah.

Segitu niat kah Dara menghindarinya?

Langit memilih untuk mengirim screenshoot e-mail yang baru saja masuk pada Dara.

Ia berharap, Dara melihatnya dan akan segera menemui Langit. Meyakinkan cowok itu untuk maju atau tidak.

Langit : (Mengirim foto)

Langit : Dara, gue harap lo lihat dan baca ini. Gue lolos, Dar! Gila sih, lo emang keren banget jadi sutradara Dadakan waktu itu. Gue harus maju atau diem aja, nih?

Langit : Maunya sih maju, ya. Tapi mau lo yang yakinin gue gitu loh

Langit : Kalau gue terima, minggu depan gue berangkat. Terus, gue pelatihan di sana selama 3 bulan. Yah, berarti kita LDR-an, ya? Apa gue gak usah terima aja?

Langit : huft …tapi kalau gue enggak berangkat, gue sama aja enggak ngehargain lo yang udah nolongin gue soal casting ini. Yaudah, iya Dar, gue berangkat. Gue harap, kita bisa ketemu minggu ini buat perbaikin masalah kita

Langit : Gue sayang lo, Dar. Banget:)

Langit mematikan ponselnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang terasa begitu hampa.

Ia pernah merasakan ini. Pertama, saat dirinya ditinggalkan oleh Ibunya untuk selama-lamanya.

Kedua, ketika Cakra tiba-tiba menjauh.

Ketiga, ketika Sonya dan Cakra tunangan tanpa sepengetahuannya.

Keempat, ketika ia kehilangan Dara yang begitu berarti untuknya.

Langit harap, Dara akan menemuinya sebelum minggu depan. Kalaupun tidak, Langit berharap jika ia sukses saat pelatihan dan lolos untuk ikut serta bermain film, ia ingin Dara menjadi orang pertama yang ia lihat ketika pulang.

***

Tiga hari sudah berlalu, namun chat yang langit kirim pada Dara tidak kunjung centang biru.

Langit sudah berbicara soal ini pada Papanya. Dia setuju asalkan Langit menjaga pola makannya agar tidak drop tiba-tiba.

Pihak mereka juga akan mengajukan dispensasi untuk Langit ke sekolah.

Teman-temannya terutama Danu, Pandu, dan Tora juga sudah tahu mengenai ini.

Namun, bukan itu yang Langit harapkan. Dia mau Dara. Namun, entah kemana hilangnya Gadis itu selama 3 hari ini.

Tinggal tersisa empat hari. Jika sampai nanti Dara tidak juga kembali, mau tak mau, Langit harus bisa menerima kenyataan.

Langit mengetuk pulpen yang ia pegang ke meja. Matanya sesekali melirik ke arah pintu berharap sosok itu segera hadir.

Bahkan, cowok itu sampai berdiri ketika ada murid lain yang masuk. Wajahnya lesu, dan akan kembali duduk dengan wajah tak rela.

"Dara segitu niatnya ya hindarin gue?" tanya Langit pada Danu.

Danu menepuk pundak Langit beberapa kali. "Dara pasti balik, kok. Gak mungkin enggak, dia kan sekolah di sini."

Langit mengangguk. Cowok itu tersenyum kecut. Kemarin, Langit mencoba kembali ke rumah Dara. Namun yang ia dapatkan, rumah itu masih tak ada siapa-siapa.

Entah Langit yang datangnya tidak tepat atau bagaimana. Langit juga tidak tahu.

Jam istrahat nanti kalau saja Dara tidak masuk, Langit akan ke kelas Reza untuk menanyakan keberadaan gadis itu.

"Du, kalau misalkan sampai gue berangkat nanti Dara belum masuk sekolah, gue titip Dara sama lo, ya." Langit menatap ke arah Pandu.

Pandu sedih melihatnya. Langit yang biasanya tertawa, akhir-akhir ini terlihat sangat murung sejak pertemuan Papanya dengan Dara kemarin-kemarin.

Yang jelas sih, semenjak mereka putus dan besoknya Dara tidak masuk.

***

"Dara, jangan buat keputusan ketika kamu lagi emosi. Mama gak tahu apa yang terjadi sama kamu. Tapi, yang Mama lihat, kamu enggak bener-bener bahagia selama tiga hari ini."

Dara yang saat ini tengah merebahkan tubuhnya di sofa dengan paha Rebecca yang menjadi bantalan, tersenyum tipis. "Dara baik-baik aja kok, Ma."

"Dar, sore nanti Mama pulang. Kamu Enggak ada niatan buat kasih Mama kesempatan jadi tempat curhat kamu?" Rebecca mengusap lembut puncak kepala Dara.

Dara menghela napasnya. Gadis itu tersenyum kecut. "Dara … putus sama pacar Dara, Ma," ucap Dara akhirnya.

"Kenapa? Dia selingkuhin kamu? Bohong sama kamu, atau—"

"Dia orang baik. Dia selalu ada buat Dara. Tapi, Papanya enggak setuju sama hubungan Dara dan dia. Dara yang mutusin dia karena Dara enggak mau ketika dia maksa buat bareng sama Dara, hubungan dia sama Papanya renggang."

"Sama kayak Dara sama Papa dulu. Dara gak mau itu terjadi sama dia juga," sambung Dara.

Rebecca diam. "Kamu dan Papamu renggang?"

"Iya, dulu. Semenjak Mama pergi, Papa juga ikutan pergi. Aku tinggal sama Nenek waktu itu. Aku enggak benci Mama ataupun Papa, aku benci diriku sendiri. Harusnya, kalau aku anak-anak lain, aku jadi sumber kebahagiaan kalian. Tapi, nyatanya enggak, aku mikirnya, aku cuman penghalang kalian." Dara tersenyum kecut.

"Terus, semenjak masuk SMP, aku putusin buat tinggal di rumah kita yang dulu sendirian. Nenek gak izinin, dan aku yang maksa buat belajar hidup sendiri. Tapi biarpun gitu, Papa suka kasih aku uang kok, Ma. Hubungan aku juga sama Papa udah balik kayak dulu. Pemikiran aku soal aku cuman penghalang ternyata salah, Papa sayang sama aku. Dan aku yakin, mama juga Sayang sama aku."

Rebecca mengelus puncak kepala Dara dengan lembut. Ia tidak tahu kalau ternyata keputusannya saat masih muda dulu menciptakan luka untuk putrinya yang masih amat sangat kecil untuk mengerti waktu itu.

Dara tumbuh menjadi Gadis yang kuat. Seharusnya, dia marah pada Rebecca, seharusnya dia benci Rebecca.

Namun, Dara tidak begitu.

"Mama sayang Dara." Rebecca memeluk Dara.

Dara ikut membalas pelukannya.

"Dara juga …."

"Dara, kamu bilang, pacar kamu itu selalu ada buat kamu. Apa, keputusan kamu buat tinggalin dia enggak bikin dia sedih?" tanya Rebecca.

Dara diam. Gadis itu menggeleng. "Dara gak tau. Mungkin iya."

"Denger Mama, kalau kamu sayang sama dia, kamu bisa kok bareng sama dia. Tapi … kamu juga jangan terlalu maksain. Kamu bisa pelan-pelan buat Papanya cowok itu percaya sama kamu. Kalau dia udah buat kamu seneng, seenggaknya sekarang giliran kamu yang buat dia seneng."

"Kalaupun suatu hari nanti kamu gak berhasil buat Papanya percaya sama kamu, seenggaknya kamu udah berjuang."

"Enggak harus balik jadi pacar, Dar. Ada banyak cara buat kamu bareng sama dia."

Dara menunduk. Ia mengangguk. "Iya, Ma. Nanti Dara pikirin lagi."

***

Pulang sekolah, Langit duduk di cup mobil milik Cakra seraya menunggu kedatangan Reza.

Kebetulan, motornya terparkir di samping mobil Cakra. Jadi, Langit tidak susah-susah untuk mencari keberadaannya.

"Lang …."

Langit menoleh. Cowok itu berdecak kesal kala mendapati Jessica yang kini berdiri di sampingnya. "Ngapain, sih?"

"Gue mau minta maaf sama lo. Oh iya, akhir-akhir ini gue gak pernah lihat Dara, dia ke mana?"

"Bukan urusan lo. Maaf buat apa sih lagian? Mau mati lo?" tanya Langit masih kesal.

Jessica menghela napasnya. "Lang, gue lihat akhir-akhir ini lo jarang senyum semenjak Dara gak masuk. Gue gak tahu apa yang terjadi sama kalian, tapi gue sadar, gue gak bisa paksain lo buat suka sama gue. Karena nyatanya ya gitu … lo sukanya sama Dara bukan gue."

"Itu lo sadar."

Jessica tersenyum tipis. Ia mengangguk. "Gue mau pindah sekolah ke Surabaya. Ikut Bokap. Hari ini hari terakhir, gue cuman mau bilang itu aja."

"Sekalian, sampein maaf gue ke Dara ya. Gue juga udah bilang sih sama Melly, tapi takutnya dia malah lupa."

"Jagain Dara, loh, Lang." Jessica terkekeh pelan.

Nyatanya, tidak semua rasa harus terbalaskan. Begitupun juga dengan Jessica, ia terlalu memaksakan sampai dirinya kehilangan sosok sahabat karena kesalahannya sendiri.

"Gak ada acara pelukan terakhir, kan? Gue gak mau soalnya. Tapi gue udah maafin lo, kok. Maaf juga kalau sikap gue selama ini keterlaluan." Langit tersenyum.

Jessica tertawa dan mengangguk. "Iya, itu aja. Kalau gitu, gue duluan ya!" pamitnya.

Langit mengangguk. Bersamaan dengan perginya Jessica, sosok Reza datang dengan seorang perempuan yang mengikuti langkahnya di belakang.

"Kak, ih! Tungguin dong, jalannya cepet banget."

"Brisik! Gue sentil nih jidat lo!"

"Kakkk … ini beneran Renanya enggak mau digandeng?"

"Ogah, punya kaki kan, lo?! Kayak nenek-nenek aja pake digandeng!"

Langit menggeleng pelan. Ia tahu gadis itu bernama Rena. Adik kelasnya. Mereka pernah bertemu di rumah Dara waktu itu.

"Bang!" panggil Langit.

Reza menoleh, "Eh, Lang! Apa kabar lo?" Reza dan Langit bersalaman ala-ala pria.

"Galak banget lo jadi orang."

Reza memutar bola matanya malas. Cowok itu menatap Langit, "Mau ngapain manggil gue?"

"Itu … gue udah dua kali ke rumah lo. Tapi enggak ada siapa-siapa. Dara juga …."

"Gue akhir-akhir ini emang jarang di rumah. Tapi kalau Dara katanya nanti malem dijemput sama Papa. Dia lagi di Cimahi, Mamanya pulang soalnya."

Langit mengerjapkan matanya. Jadi, Dara bukan menghindarinya? Melainkan, memang ada keperluan yang benar-benar penting?

"O-oh, tapi chat gue gak dia bales."

"Chat Papa aja enggak dia bales. Apalagi lo. Papa aja dapet kabar Dara minta jemput gara-gara ditelepon Mantan mertuanya," jawab Reza.

Langit mengangguk. Syukurlah, ternyata Dara tidak sedrama itu sampai menghindarinya.

Mungkin, memang dia ingin menghabiskan waktu dengan mamanya tanpa gangguan siapapun.

"Oh, makasih, ya. Rena, gak mau pulang bareng gue aja? Bang Reza galak loh." Langit menaik turunkan alisnya.

"Wah! Naik apa, Kak?"

"Odong-odong! Gak usah banyak omong, ayo pulang." Reza meraih helm kemudian memaikaikannya pada Rena.

TBC

Hallo! Kangen gak? Maaf ya beberapa hari enggak up. Akhir-akhir ini bener-bener gak enak badan soalnya:(

Semoga suka!

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Langit

Reza

Mamanya Dara

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro