1. Langit Favorit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Playlist
Langit Favorit - Luthfi Aulia

1. Langit Favorit

Hari Selasa. Pukul delapan pagi. Terhitung satu minggu sebelum pergantian tahun. Matahari bersinar dari Timur sebagai mana mestinya. Pada jam ini, bayangan tampak lebih panjang ke Barat. Dan burung-burung mulai riuh terbang ke arah Selatan untuk mencari makan.

Di SMA Bentang 51, di salah satu kelasnya, XI MIPA 5, suara bising dari siswa yang mencari contekan sudah terdengar sejak bel masuk pukul tujuh. Lagu berjudul 'Langit Favorit' milik Luthfi Aulia bergema di setiap sudut ruangan. Kebiasaan buruk yang membuat guru manapun akan kesal saat mendengarnya. Bagaimana tidak, mereka memutar lagu dengan volume penuh. Mengingat kelas mereka tidak kedap suara, akan membuat lagu itu terdengar hingga lantai dasar.

Di tengah keriuhan yang bersahutan, ada gadis berkerudung putih dengan lengan seragam yang dilipat hingga di bawah siku, Nadia Febriani, sedang duduk tenang di samping dinding kanan kelas dengan kepala mengangguk-angguk pelan. Lagu 'Langit Favorit' mengalun indah di telinganya. Kata per kata yang dinyanyikan oleh Luthfi Aulia meresap indah dalam nadinya.

Mungkinkah berakhir bahagia?

Lirik itu berputar berulang-ulang di kepala Nadia. Pertanyaan yang selalu mengingatkannya pada seorang lelaki yang ia kagumi tiga tahun ini. Pertanyaan yang tak tahu kapan ia akan temukan jawabannya. Pertanyaan yang hanya menimbulkan pertanyaan lain.

Tatap kedua mataku
Hapuskan ragu labuhkan hatimu

Lagu itu masih terus mengalun indah di telinganya. Mengumpulkan energinya yang berceceran untuk menulis kalimat-kalimat sederhana di buku bersampul cokelat. Merangkai kata per kata untuk mendapatkan satu kalimat yang indah.

Beberapa menit berlalu, beberapa lagu sudah berputar, namun kegaduhan di kelas ini masih terus berlanjut. Dan Nadia sudah mendapatkan kalimat indah yang dapat ia simpan sebagai arsip akhir tahun.

Netra indah yang mengingatkanku pada cahaya bulan. Aksara indah terukir di cakrawala, meninggalkan bayangan baswara di antara bintang-bintang. Membekaskan kekaguman tak terbatas pada atma.

Senyum simpul terbit pada wajah Nadia. Ribuan kalimat tentang isi hatinya sudah ia tuliskan pada buku ini. Buku yang menjadi saksi bisu atas kagumnya Nadia terhadap seseorang. Buku yang menyimpan seluruh isi hati Nadia melalui kata-kata indah yang digoreskan oleh sebatang pena.

Detik berikutnya, terdengar dengan jelas suara lelaki yang Nadia tunggu, Imam Amru Maulana. Kapten basket SMA Bentang 51, siswa dari kelas XI IPS 3. Sekilas, lagu milik Luthfi Aulia tadi berputar samar di kepalanya. Memandang Amru yang sedang menghampiri salah satu teman kelasnya, Dimas.

"Nugas teros! Kapan mainnya, woy?" seloroh Amru terdengar kesal pada Dimas.

Dengan sudut matanya, Nadia melihat Amru yang kesal pada Dimas. Senyum simpul kembali terbit di bibirnya. Ia paham betul bagaimana lelaki bernama Amru itu. Hobi sekali berkeliaran dan meramaikan kelas-kelas tetangga, seolah tak punya kesibukan sendiri.

Amru bukan teman sekelas Nadia. Bukan pula teman SD atau SMP yang kemudian bertemu lagi di SMA. Bukan pula lelaki asing yang membuat Nadia jatuh cinta pada pandangan pertama. Namun, Amru adalah tetangga satu RT Nadia yang pindah tiga tahun lalu di belakang rumahnya.

Mengetahui hal itu, tentu ada banyak waktu bagi Nadia bertemu Amru di luar sekolah. Satu hal sederhana yang membuat Nadia begitu mengagumi sosok Amru hingga saat ini, tiga tahun yang lalu.

Flashback on

Pagi itu, Nadia diajak Mama pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan masakan. Mengingat keluarga besarnya akan hadir besok, jadi mau tidak mau ia harus masak besar.

Tepat setelah Mama dan Nadia membeli ayam, ada seorang lelaki seumur Nadia tiba-tiba menghampiri dan mencium punggung tangan Mama, sebagaimana apa yang dilakukan Nadia sebelum berangkat ke sekolah.

"Kamu Amru, ya? Yang baru pindah di belakang rumahnya Tante kemarin." Mama menyapa lelaki bernama Amru itu dengan ramah.

"Iya, Tante," angguk Amru dengan tawa ringan. "Makasih Tante sudah bantuin saya sama bunda beres-beres kemarin. Bunda seneng banget ada yang bantu."

Tangan kanan Mama menepuk pelan pundak Amru. "Gak usah gitu. Kebetulan Tante lewat, terus bundamu kelihatan kesulitan pasang rak sepatu, ya sudah sekalian."

Tawa ringan kembali terdengar dari mulut Amru. "Saya duluan, Tante. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," balas Mama, yang kemudian melirik Nadia di sampingnya. "Dia sopan banget, lho, Nad."

"Siapa itu?"

"Yang pindahan di belakang rumah kemaren. Mama kemaren bantu bundanya. Nah itu anaknya. Seumuran sama kamu kayaknya."

Flashback off

Sejak saat itu, Nadia benar-benar mengagumi sosok laki-laki bernama Imam Amru Maulana. Ia yakin, pada saat itu, baru sekali Amru bertemu dengan Mama. Tetapi saat bertemu kembali, lelaki itu tak lupa menyapa dan bersalaman dengan Mama seolah sudah mengenal lama. Tak ada alasan lain ia mengagumi Amru. Imam bagi lelaki itu tidak hanya sekadar nama, tetapi Amru benar-benar imam yang sebenarnya.

Semakin lama, semakin banyak hal yang Nadia amati dari sosok Amru. Tentang bagaimana lelaki itu berjalan, berbicara, bermain, bergurau, bahkan bersin. Sebuah keberuntungan karena ia satu sekolah dengan Amru saat SMA. Semakin banyak waktunya untuk mengenal lelaki itu, walau dari jauh.

Seperti saat ini, netra Nadia tak lepas dari sosok Amru yang masih terus merusuhi Dimas untuk diajak ke kantin. Lelaki itu tampak kesal karena tugas Dimas tak kunjung selesai.

"Tugas apa, sih? Daritadi gak kelar-kelar. Emang kenyang makan tugas? Mending makan di kantin, dijamin kenyang, Dim," omel Amru yang sudah terdengar tidak sabaran.

Terdengar decakan dari mulut Dimas. Ia gemas dengan Amru. Jika bisa, sudah ia giling mulut lelaki itu untuk dijadikan bakso. "Bacot, Ru! Ngoceh mulu daritadi. Kalo tuh mulut dah berbuih, tau rasa."

"Dih. Sotoy!"

"Lagian nih ya, daripada situ ngoceh gak jelas, mending bantuin nyalin tugas sejarah." Dimas mendorong buku paket ke hadapan Amru yang berdiri di depan mejanya. "Ini pelajaran penuh tulisan. Pusing liatnya."

"Cupu! Sejarah aja nyontek. Ini punya siapa, sih?" cibir Amru seraya membuka halaman depan buku paket yang disodorkan oleh Dimas, kemudian bergumam, "Nadia Febriani."

"Punya Nadia itu." Dimas menyahut cepat.

Di sisi lain, Nadia sedikit tersentak saat Dimas tiba-tiba menyebut namanya. Segera ia alihkan pandangannya kembali pada buku tulis miliknya, sebelum Amru menoleh padanya. Suhu di kepalanya mendadak meningkat, membuat sebagian tenaga yang ia kumpulkan terkuras dengan cepat.

Dimas lantas menarik buku paket Nadia dari tangan Amru. "Daripada diem gak jelas, mending bantuin nyalin, Ru."

"Nadia tuh juga diem kalo di kelas?"

Alis kanan Dimas tertarik ke atas. Ia mengangkat wajahnya untuk menatap Amru yang masih berdiri di depan mejanya. "Iya. Dia yang paling kalem, Ru, di kelas ini. Tapi pinternya gak main-main. Lebih suka sendiri di bangkunya. Kalo gak ada yang ngajak ngobrol, ya udah. Punya atau gak punya temen kayak bukan masalah buat dia. Hobinya tuh nulis di buku cokelat itu. Sial! Kalo suka sama dia, pasti gak akan rugi."

Dalam beberapa saat, Amru menatap Nadia dari kejauhan. Menelisik lebih dalam dengan memperhatikan cara gadis itu menulis dan mengangguk, menikmati lagu. Ia jelas kenal siapa Nadia. Gadis yang hanya keluar saat berangkat dan pulang sekolah. Atau saat akan pergi ke musala untuk salat.

Sejauh yang Amru tahu, Nadia adalah gadis yang sangat tenang dan tidak banyak bicara. Gadis itu tidak membenci keramaian, namun lebih menyukai kesendirian. Bahkan di tengah kegaduhan kelas, gadis itu tak tertarik sedikitpun untuk menoleh. Fokusnya penuh pada rangkaian kata dalam buku. Nadia juga bukan sosok yang tertutup dan tidak memiliki teman. Justru banyak siswa yang ingin berteman dengan gadis itu. Benar apa yang dikatakan Dimas 'tidak akan rugi menyukai seorang Nadia Febriani'.

"Ayo ke kantin dulu, Ru!"

To Be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro