#12 Pesan Tak Tersampaikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat membaca :)

***


Pipi gue masih terasa panas. Nggak cuma panas tapi juga senat-senut. Gue, seorang Arkha Galih Wardana, untuk pertama kalinya ditolak oleh seorang cewek saat menyatakan cinta.

Gue melotot ke arah cewek yang barusan menampar pipi gue. Dia kelihatan takut. Sorot matanya mencerminkan rasa bersalah. Jelas aja, dia memang harus merasa begitu.

"Arkha, saya minta maaf."

Gue melengos, nggak menggubris permintaan maaf Edda.

"Arkha, saya yakin kamu hanya terbawa perasaan saja. Kamu tidak mencintai saya."

Gue menghela napas dalam-dalam. Terbawa perasaan atau nggak, itu urusan gue, kan? Masalahnya, kenapa Edda sampai nampar gue? Itu yang bikin gue gondok dari tadi.

"Jadi kamu marah karena saya menampar kamu?"

Gue tersenyum kecut terus ngangguk. Edda itu bisa baca pikiran gue, tapi kenapa baru nyadar sekarang kalo gue marahnya karena dia tampar. Masalah dia nolak gue sih bisa dipikirin nanti. Gue udah mati ini, masalah cinta nggak begitu penting lagi.

Sejujurnya, gue memang agak kesal pas Edda terang-terangan menampik perasaan gue. Ego gue sebagai cowok yang selama ini dikejar-kejar cewek terluka. Ini masalah harga diri, bro.

"Arkha, lebih baik kamu fokus dengan Friska, sekarang."

Frisca?

Gue tertawa kecil, nama Frisca sempat terlupa karena gue sibuk dengan Edda. Bahkan beberapa hari ini gue nggak ke rumah Frisca. Benar kata Edda tadi, mungkin gue terlalu terbawa perasaan.

Sorry, Fris.

"Gue pergi dulu, ya." Gue langsung menghilang setelah pamit sama Edda.

Nggak butuh waktu lama buat sampai di rumah Frisca. Gue langsung masuk tanpa permisi kayak biasanya. Gue sengaja nggak ke kamar Frisca sama Barga dulu. Gue takut kalo nanti melihat hal-hal yang bisa merusak mata gue. Terakhir kan, gue melihat Frisca sama Barga lagi ciuman.

Frisca ada di ruang tamu, lagi nonton televisi sendirian. Kayaknya Barga nggak ada di rumah. Bagus deh kalau begitu. Gue bisa mempraktikkan hal-hal yang udah diajarin Edda kalo gini.

Gue duduk persis di samping Frisca. Gue nggak bisa nahan senyum pas dia langsung megang tengkuknya. Merinding kali ya karena ada gue.

Frisca kelihatan lebih berisi sekarang, mungkin efek hamil. Dia tambah cantik dengan pipi yang chubby itu. Perutnya udah nggak sedatar dulu. Gue nggak tahan untuk nggak meraba perut itu.

Mata gue panas. Rasa haru memenuhi perasaan gue. Ya Tuhan, gue lagi deket sama calon anak gue. Dan untuk pertama kalinya setelah tiga minggu kebangkitan gue, gue kembali menyesali kematian gue yang sangat cepat ini. Gue benar-benar kehilangan kesempatan untuk mengenal anak gue.

Gue mengambil kertas yang ada di dekat Frisca lalu meraih pulpen. Gue bergerak menjauh supaya konsentrasi menulis pesan buat Frisca. Lima menit kemudian, gue kembali duduk di samping Frisca.

Pelan-pelan gue menyodorkan kertas berisi pesan tadi ke pangkuan Frisca. Dia diam aja, masih tetap fokus menonton Uttaran. Gue bisa lihat kaset dvd berserakan di lantai.

Merasa nggak bakal ada gunanya, gue ambil kertas tadi. Gue sodorin tepat di depan wajah Frisca. Kalo orang lain lihat, pasti sekarang ada kertas yang melambai-lambai sendiri.

Gue berhasil. Frisca ngambil kertas itu. Tapi sayang, belum sempat dibaca, Frisca udah rubuh duluan. Dia pingsan. Kertas pun kembali jatuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro