Bab 3 - Kun Fa Yakun

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dias mendorong tubuh Azam, memaksanya untuk masuk lebih dulu ke ruang Dekan Fakultas Komunikasi. Ketegangan di antara mereka tergambar dengan jelas, Dias yang berdiri di belakang Azam terus memegangi ujung tali tas ransel temannya. Azam yang merasa risih segera menepis tangan Dias yang masih menggentol.   

Pak Kusnadi yang sedari tadi menunggu keduanya justru dibuat tersenyum. Entah apa yang ada di pikiran dua mahasiswa tingkat akhir tersebut.

"Duduk, Azam, Dias," titah Pak Kusnadi kepada keduanya.

Azam dan Dias duduk berdampingan, sedangkan Pak Kusnadi duduk di kursi terpisah dan saling menghadap. Petinggi fakultas itu memberikan selembar kertas kegiatan seminar yang diadakan satu tahun lalu.

"Masa jabatan kalian akan berakhir kan?" Azam dan Dias serentak mengangguk. "Ini tidak wajib, tapi bapak sangat berharap kalian bisa mengadakan seminar serupa, sebelum kalian resmi menjadi alumni." Dua mahasiswa itu  kini saling menoleh satu sama lain.

"Anggap saja acara pelepasan masa jabatan kalian. Tahun ini antusias jurusan Penyiaran cukup banyak, hampir empat ratus orang. Bapak berharap semuanya dapat ikut serta di acara itu." Pak Kusnadi menyilangkan kedua tangannya di depan dada, memberi perintah yang lebih mirip seperti tantangan bagi Azam dan Diasl.

Alis Dias berkerut, bibirnya terkatup rapat. Lelaki berkumis tipis itu tak mau menjawab, ragu untuk memenuhi perintah Pak Dekan. Apalagi jika diingat-ingat ia termasuk kategori mahasiswa yang sering absen di acara seminar kampus. Barulah ia rajin hadir semenjak menjabat sebagai wakil bem fakultas.

Lain Dias lain pula Azam. Baginya perintah Pak Kusnadi adalah hal yang paling mudah dilakukan, membujuk dan mengajak adalah keahliannya. Sifat supel dan mudah bergaul, juga ciri suaranya yang khas bagai sihir yang membuat orang-orang tak dapat menolak.

"Baik, Pak. Akan kami usahakan semaksimal mungkin." Dengan tegas dan pasti Azam memenuhi permintaan Pak Dekan.

Lelaki berusia empat puluh lima itu tersenyum lebar, matanya membulat bahagia karena yakin kesuksesan acara tentu berpengaruh penting akan minat orang-orang terhadap jurusan Penyiaran.

*****

Dias mengejar Azam yang berjalan mendahuluinya. Ia tak habis pikir bagaiman rekannya itu dapat menyanggupi permintaan Pak Dekan.

"Semuanya lho, Azam. Kamu yakin 100% mahasiswa jurusan kita bisa ikut?" tanya Dias yang hanya dijawab Azam dengan dua kali anggukan kepala.

"Seluruh angkatan lho, bukan mahasiswa baru aja!" Kali ini Dias mencoba membuka pikiran Azam, dan hasil jawaban pun tetap sama.

"Angkatan kita itu kan---" Tak sempat Dias menyelesaikan perkataan Azam lekas memotong.

"Kun fa yakun. Jadilah, maka jadilah sesuatu itu. Jika sesuatu itu tidak terjadi maka sudah jelas karena niat yang tidak bersungguh-sungguh." Azam menepuk pundak Dias yang kini sudah berjalan berdampingan di sisi kirinya.

Dias mendengarkan seksama penjelasan Azam, membuat ia justru mengangkat tangan kanan ke atas dan menyeru nama Allah Al Muhaimin. "Takbir! Allahu akbar!"

"Biar Allah yang mengatur acara kita. Fighting!" Dias kembali menyeru, semangatnya telah terbakar, keyakinannya sudah terkumpul seratus persen. Dan tiba saatnya membahas rundown acara.

"Azam, pliiiis, masa iya acara 100% mahasiswa itu nggak mengundang pembicara dari luar, sayang banget sama momennya." Dias mengajukan banding saat Azam melewatkan daftar pengisi acara.

"Kenapa harus undang orang lain? Kita kan punya seorang yang berkualitas dengan jam terbang tinggi." Azam tersenyum lebar, tak lupa sesekali ia menggerakan alisnya naik turun.

Lawan bicara Azam lekas menggeleng. Telapak tangan kanan ia gunakan untuk menepuk dahi saat mengetahui isyarat Azam. "Jangan bilang kamu yang jadi pengisi
acara?"

"Tadi Pak Kusnadi bilang apa? Temanya lebih dekat bersama dunia penyiaran." Azam menjentikkan jari ke udara. "Pas banget jadi kan. Kedekatan yang terjalin karena adanya unsur kesamaan biasa lebih meyakinkan, bukan?"

Dias memilih duduk lesehan, lelah sedari tadi berdiri. Ia membuka ponsel dan menunjukkan beberapa gambar saat Azam menjadi narasumber acara.

"Tiga tahun berturut, Azam. Seminar maba tahun 2019, 2018, 2017, selalu kamu yang jadi pengisi acara. Di foto ini kamu malah merangkap jadi pembaca doa. Kasih kesempatan untuk junior kita juga, sudah saatnya mereka ikut andil," papar Dias secara lengkap dan jelas.

"Bukannya mau egois, Dias. Kamu lupa tujuan acara ini adalah pelepasan masa jabatan kita? Insya Allah konsep dan tujuannya, akan tertanam di hati dan ingatan mereka, bukan hanya tentang kita tapi perjalanan dan perjuangan bersama." Azam menjelaskan dengan tenang dan memberi gambaran tentang acara yang akan dibawanya.
Dias yang menyimak pun akhirnya diam dan tidak menyangkal.

Tok tok tok

"Kak Azam!"  Di sela kesibukan rapat dadakan dua pria tadi, seorang gadis mengetuk dan menyeru nama Azam.

Azam lekas keluar dan heran saat satu buket bunga diulurkan gadis tadi kepadanya. "Ada apa ya?" tanya Azam meski sebenarnya sudah tau maksud dan tujuan gadis dengan setelan baju berwarna hijau muda di depannya.

"Untuk Kak Azam, semoga diterima," ujarnya kembali menyodorkan bunga.

Deg. Jantung Azam berdetak cepat. Ia mengatur napas untuk menetralisir perasaannya kini. Bibir tipis Azam perlahan melengkung, membentuk sabit yang memunculkan lesung di kedua pipinya. "Maaf, Dik, maksudnya diterima apa?"

Dias yang mengintip di belakang senyum-senyum sendiri. Hatinya ikut berdebar menyaksikan momen pernyataan cinta mahasiswa baru yang berulang kali terjadi pada Azam.

"Jika Kakak ambil bunga ini, artinya Kakak memiliki perasaan yang sama. Jika tidak ... Kakak boleh membuangnya di tempat sampah."

Azam bergeming di tempatnya, tak menjawab dan memerhatikan sekitar. Banyak sorot mata yang kini menyaksikan momen pernyataan cinta. Momen yang sebagian orang merupakan hal terindah dalam hidup, namun tidak demikian bagi Azam.

-----

To be continued

Jangan lupa tinggalkan jejak ya, ditunggu vote, komentar, kritik dan sarannya.

Selamat membaca dan salam sayang selalu
Elinaqueera

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro