🌻🌸Pergi Selamanya🌸🌻

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Setidaknya pernah bersama walaupun air mata sebagai hidangan penutupnya ~

***
Last Memory by Galuch Fema



Happy reading jangan lupa vote

Mata Farhan menatap liar laki-laki yang baru datang. Kepalan tangan sudah terbentuk, siap memukul siapa saja yang menjadi penghalangnya sekalipun itu Arsha.

"Ada apa kemari," ucap Farhan dengan nada sengit. Ia kembali melirik Derra yang wajahnya sudah memerah karena kehadiran Arsha.

"Bukan urusanmu," jawab Arsha tak kalah ketus. Ia terus berjalan tepat di depan Farhan bahkan dengan sengaja Arsha menyenggol lengan Farhan membuat laki-laki itu semakin kesal.

"Kenapa langsung pulang tanpa menunggu aku?" tanya Arsha yang sekarang sudah sejajar dengan Derra tetapi   perempuan itu masih saja  memalingkan wajahnya.

Derra menarik napas dalam-dalam. Ingin sekali menumpahkan kesedihan di dalam kamar tetapi tertahan karena perasaannya kembali diuji oleh laki-laki ini.

"Kenapa harus menunggu? Bukankah ada satu perempuan lagi yang harus kamu tunggu di restoran tadi selain aku?" sindir Derra dengan sengit sambil menahan gemuruh di dalam dada.

Farhan dari jauh tersenyum karena berhasil membuat Derra membenci Arsha. Ingin rasanya berteriak dan membawa Derra masuk dan mengenyahkan Arsha dari halaman rumah ini.

Arsha menarik napas sambil menahan emosi. Pikirannya tertuju pada laki-laki di belakang yang sudah berhasil menghasut Derra menjadi seperti ini.

"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Arindra."

Mata Derra yang sudah berair langsung menatap ke arah Arsha sambil mendesis pelan.

"Tapi Arindra menyukai kamu."

"Aku tidak menyukai dia karena aku hanya menyukai kamu," jawab Arsha sambil merengkuh kedua bahu Derra agar berhadapan dengan dirinya.

Farhan kembali meradang karena takut Derra akan kembali jatuh pada pelukan Arsha lagi. Ia hendak melangkah mendekat tetapi diurungkan karena melihat kedua tangan Derra menepis tangan Arsha agar tak menyentuh kedua bahunya.

Derra pura-pura tersenyum kemudian berkata, "Jika tidak ada rasa cinta kenapa setiap pagi kalian pergi bersama?"

Arsha terperanjat kaget, ia tak menyangka jika selama ini Derra diam-diam memperhatikan gelagatnya.

"Ak-aku—"

"Sudahlah, tak perlu dijelaskan lagi," kilah Derra  sambil mengibaskan tangan seraya hendak masuk.

Lagi-lagi langkah ditahan dan pergelangan tangan Derra sudah berada dalam genggaman tangan Arsha. Ingin sekali melepaskan tetapi tak berhasil karena Arsha terlalu kuat memegang.

Farhan yang sedari tadi asyik dengan ponsel akhirnya terketuk hatinya untuk ikut mendekat dan mencampuri masalah mereka.

"Jangan ganggu Derra!" pekik Farhan sambil menepuk pundak Arsha dengan sangat keras. Sayangnya tentara itu bergeming dan tidak mengindahkan ancaman dari Farhan.

"Aku sangat mencintaimu dan tidak akan melepaskan kamu begitu saja," janji Arsha yang terdengar sampai ke telinga Farhan.

"Cih, akhiri sandiwara kamu," tukas Farhan dengan sinis.

Tatapan Arsha langsung berbalik pada Farhan yang terus membuat suasana semakin panas. Hati sudah bergemuruh hebat hendak menerkam siapa yang terus menghalangi bahkan merusak suasana menjadi runyam.

"Bukankah sandiwara ini juga permintaan kamu sendiri," tuduh Arsha dengan sengit membuat Farhan gantian yang terkejut.

Mata Derra menatap ke arah Farhan kemudian berganti menatap Arsha. Ia semakin tak paham apa yang mereka bicarakan. Sepertinya ada sesuatu yang mereka sembunyikan di belakangnya dan entah itu apa.

Arsha semakin terpojok karena terus mendapatkan tatapan tidak menyenangkan, ia berharap rahasianya tak terbongkar saat ini juga.

"A-apa maksud kalian berdua?"

Derra semakin penasaran karena sepertinya dari gelagat dua laki-laki itu yang jelas-jelas menyimpan api dendam satu sama lain.

Situasi yang mencengangkan akhirnya terselamatkan dering  pesan yang bersamaan di ponsel Arsha dan Farhan. Keduanya langsung membaca pesan yang tertulis dari satu pengirim yang sama.

Wajah keduanya berubah panik terutama untuk Farhan yang sangat gelisah, ia lalu menghampiri Derra dengan sedikit mendorong Arsha ke samping agar tak menghalangi agar bisa berdekatan dengan Derra.

"Saya pulang dulu, Mamah kritis," ucap Farhan sambil menepuk bahu Derra dengan lembut.

Perempuan itu mengangguk seakan mengerti rasa khawatir yang sedang didera pimpinannya. Cukup terkejut juga karena ini adalah kontak fisik pertama kali membuat perasaan yang sudah dikubur dalam tiba-tiba muncul kembali.

Mata Derra terus menatap punggung itu benar-benar masuk mobil dan mengesampingkan tatapan Arsha yang tidak suka karena perhatian Derra terlalu berlebihan pada Farhan.

"Derra, aku mohon," pinta Arsha sambil berusaha  meraih kedua tangan tetapi lagi-lagi Derra melepaskan.

"Aku capek," ucap Derra menghindar.

Padahal hari masih pagi, otak pun belum dipakai memikirkan deretan angka di tempat kerjanya tetapi hatinya yang memaksa untuk beristirahat karena kejadian tadi terasa sangat mengusik pikirannya.

Siapa yang akan tahan jika kekasihnya ternyata meladeni sahabatnya sendiri.

"Apa yang kamu lihat itu tak benar," sanggah Arsha berusaha meyakinkan tetapi sepertinya percuma karena untuk melihat ke arahnya sangat enggan.

"Hatiku tak pernah bisa dibohongi, Sha?"

Derra menunjuk ke arah dadanya dengan pertahanan air mata yang sudah luluh dan tumpah membasahi pipinya.

"Aku tidak ada apa-apa dengan Arindra. Dia menjebak aku."

Derra mengibaskan tangannya seraya berbalik hendak masuk.

"Sudahlah, Sha. Akhiri saja hubungan kita, aku tak mau terjebak untuk kedua kalinya. Kalian sama saja."

Arsha terbelalak, ia tak boleh menyetujui keinginan Derra. Impian mereka bersama selangkah lagi.

"Aku tidak akan melepaskan kamu, apalagi menyerahkan pada laki-laki seperti Farhan," elak Arsha sangat marah.

"Aku mohon, aku paling tidak suka dibohongi," pinta Derra dengan tubuh yang ingin ia rebahkan untuk menghilangkan beban terbesarnya.

"Kamu percaya sama aku, kan?"

Derra hanya bergeming dan enggan berucap, mata dan hati sudah menjadi saksi apa yang ia lihat di restoran tadi.

Gawai Arsha berdering tetapi ia abaikan karena sudah paham siapa yang menelpon.

"Aku beri waktu untuk berpikir agar kamu tak menyesal mengucapkan perpisahan," nasihat Arsha mengalah dan menyudahi pertikaian ini apalagi saat ini dirinya sedang dibutuhkan oleh seseorang di sana.

"Waktu ap—"

Sebelum Derra melanjutkan ucapannya, Arsha sudah membawa tubuh yang sudah bergetar hebat ke dalam pelukannya.

Derra semakin terisak sambil memukul dada bidang laki-laki itu.

"Kamu jahat, Sha. Kamu jahat!"

Arsha hanya bisa memejamkan kedua matanya mengerti kesedihan dan kekecewaan Derra. Laki-laki ini sadar jika dirinya sangat jahat membuat Derra terjebak dalam sandiwara ini yang membawa perasaannya larut di dalamnya.

"Aku sangat mencintaimu. Masuk dan istirahatlah agar kamu lebih tenang."

Arsha melepaskan pelukan orang yang ia sayangi karena lagi-lagi dering ponsel menggangu kembali.

Setelah isak tangis agak reda, perempuan itu menurut untuk masuk karena tujuan utamanya adalah merebahkan raga yang terlalu letih.

Dengan langkah seribu setelah membaca pesan sumpah serapah dari seseorang, Arsha masuk dan mengendarai mobil dengan kecepatan di atas  rata-rata. Jalan raya ia jadikan medan balap agar sampai tujuan dengan tepat waktu.

Aroma obat-obatan tercium sangat pekat ketika sudah sampai di sana. Entah mengapa ia berpikir jika hari ini adalah terakhir mencium obat-obatan itu yang sudah seakan menyatu dengan hidupnya.

Benar saja, dari dinding kaca ia melihat laki-laki itu tengah memegang tangan wanita paruh baya itu yang kedua matanya terpejam. Baru kali ini melihat Farhan sampai menitikkan air mata seakan takut ditinggalkan selamanya.

"Bagaimana kondisi pasien?" tanya Arsha pada perawat yang berjaga dan juga mengirimkan pesan ke nomornya. Arsha sendiri enggan bertanya pada Farhan karena tanpa bertanya sudah tahu jawabannya.

"Tensi sangat rendah 40/20 dan pasokan oksigen di dalam tubuh pasien sangat menurun drastis. Sepertinya...."

Tanpa menunggu kelanjutannya lagi, Arsha memilih menuju pembaringan di sana. Ia masih saja enggan melihat Farhan yang tengah mengecup punggung tangan wanita itu. Arsha hanya bisa menarik sebuah kursi di sana dan untuk pertama kalinya duduk berhadapan dengan mereka berdua.

Entah kekuatan dari mana, tangannya ikut meraih pergelangan tangan yang masih terpasang selang infus. Menggenggam sangat erat tetapi sayangnya tak ada kehangatan karena semuanya terasa sangat dingin.

Tangan yang tak pernah ia sentuh karena enggan berdekatan, karena wanita ini lebih mengutamakan Farhan dibandingkan dengan dirinya.

"Arsha memaafkan semuanya, semoga tenang dan bisa berkumpul dengan papah," bisik laki-laki itu di dalam hati sambil menggenggam erat tangan itu.

Suara monitor berbunyi nyaring dan memperlihatkan sebuah garis lurus tanpa jeda dan angka di sana langsung  berubah semuanya menjadi nol.

Farhan memekik dengan lantang sambil menggoyangkan tubuh yang sudah tak bernyawa. Perawat yang di meja ujung langsung. berlarian menuju brankar sambil melakukan pemeriksaan yang terakhir. Dokter pun ikut memeriksa denyut jantung tetapi kemudian menggeleng lemah sambil terus menunduk.

Lagi-lagi Farhan menjerit histeris karena belum sepenuhnya ikhlas jika orang yang ia sayangi terlebih dulu meninggalkan tanpa melihat hari bahagianya.

Arsha berjalan perlahan mendekati Farhan, ada rasa ragu untuk bersentuhan dengan laki-laki itu. Namun, siapapun Farhan tetaplah saudaranya  karena mereka dilahirkan dalam satu rahim yang sama. Tepukan lirih di bahu  Farhan untuk sedikit menguatkan.

Arsha memilih pergi untuk mengurus administrasi rumah sakit dan urusan pemakaman mamah.


Baru saja hendak membaringkan tubuh tiba-tiba sudah ada yang mengetuk pintu depan. Jika ada orang tuanya mungkin Derra tidak akan susah-susah membuka pintu.

Tubuhnya lemas ketika melihat siapa yang datang. Hendak menutup pintu atau mengusir tetapi tak ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya.

Keduanya sekarang duduk sambil memilih diam, yang bisanya mereka akrab dan bersenda gurau sekarang terpisah karena ego sejak kehadiran sosok tentara itu.

"Der?" panggilnya dengan suara yang terdengar sangat bersalah.

"Tidak berangkat kerja? Kenapa malah kesini? Seperti tidak tahu saja seperti apa pimpinan kita ini," ucap Derra enggan berbicara pada inti masalah.

"Ak-aku? Kamu juga tidak masuk kerja, kan?" timpal Arindra bingung harus berkata apa.

"Ah, biarkan saja. Pak Farhan sudah tahu ini kalau aku bolos kerja. Besok dipecat juga  tidak masalah karena aku sudah enggan bekerja di sana. Semuanya sudah tidak seperti dulu lagi."

Arindra terperanjat kaget mendengar ucapan Derra barusan. Ia menggeser tempat duduk agar berdampingan dengan sahabatnya tetapi keburu Derra memilih berdiri dan bersandar pada tiang.

"Ada sesuatu yang harus aku jelaskan."

Derra tersenyum dan kemudian tertawa pelan membuat Arindra sedikit takut jika Derra akan kambuh kembali.

"Sudahlah," ucap Derra sambi mengibaskan tangannya.

Arindra sudah paham dengan maksud sahabatnya jika sedang berada dalam situasi seperti ini.

Dering ponsel mengagetkan mereka berdua, dengan gerakan cepat Derra menggeser layar dan menempelkan benda pipih itu di telinga yang masih tertutup kerudung.

"Innalillahi wa innailaihi rojiun," bisiknya lirih dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

¤To be continue ¤

Author numpang promosi cerita author yang lagi promo siapa tahu ada yang tertarik.

Insyaallah Jodoh harga PO 99.000, untuk area Jawa free ongkir dan luar Jawa ada subsidi ongkir. Bonus ada lagi dong, dapat botol minuman dan 10 yang transfer gercep dapat bonus tambahan lagi.

Yuk Kepoin bukunya, Pre Order sampai tanggal 1 Januari 202O. Harga normal tinggi banget loh,ayo ikutan PO sekarang. Yang minat bisa chat 089680710616.

Atau ada yang mau pengin bundling dengan Novel After the Rain? Bisa juga hubungi nomor di atas.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro