10 | Pencarian Bukti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aroma biji kopi panggang menguar. Alunan musik populer mengundang siapa pun yang mendengarnya mengetukkan ujung sepatu mengikuti irama. Ratna memang bukan anak tongkrongan, apalagi pecinta kopi. Namun, itu bukanlah halangan. Dia mengunjungi coffee shop kekinian ini untuk menemui pengacaranya.

Ratna menaksir kebanyakan pengunjung di sini berusia kepala dua. Ada yang sepertinya sibuk sekali dengan pekerjaan di laptop, ada pula yang sibuk bercengkerama dengan teman-teman. Tidak ada yang berpakaian terlalu formal seperti dirinya.

Bukan tanpa alasan Ratna memilih tempat ini sebagai lokasi pertemuan. Suasananya yang ramai ala anak muda sangat tidak cocok dengan anak-anak. Kecil sekali kemungkinan Ratna bertemu dengan Cakra dan Raga di sini.

"Selamat malam, Bu Ratna."

Doni datang sendirian. Dalam menangani kasus perkara penguntitan dunia maya, Ratna memang meminta secara khusus supaya tidak melibatkan terlalu banyak orang kecuali jika laporan kepolisian bisa naik ke meja persidangan. Namun, sudah terhitung tiga minggu mereka mengurusnya bersama, titik penyelesaian masalah tak kunjung ketemu.

"Bukti-bukti yang ada tidak cukup buat kita meloloskan kasus ini ke pengadilan." Doni memulai diskusi, lantas menjereng beberapa kertas di hadapan Ratna. "Siang tadi saya mendatangi bagian tindak pidana siber. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa ip address pelaku diacak. Kalau hanya bergantung dari kemiripan pola ketikan, masih ada celah seseorang sengaja meniru cara mantan suami Bu Ratna mengetik."

"Jadi, benar-benar tidak ada bukti kuat yang bisa kita pakai untuk menjadikan Dewa sebagai tersangka?" Ratna menyebut nama mantan suaminya. Harapan Ratna patah melihat anggukan Doni. "Apa motif saja tidak cukup?"

"Sejauh ini memang Dewa-lah pemilik motif terkuat untuk mencelakai Bu Ratna. Tapi, masih ada beberapa tersangka lain yang kemungkinan juga memiliki dendam pribadi."

Ratna paham maksud Doni. Saat masih menjadi pengacara, Ratna sering berada di antara dua kubu yang sama-sama ngotot. Ratna kerap mendapat klien pemilik perusahaan besar. Tak jarang kasus-kasus itu melibatkan lawan yang kekayaannya seimbang. Di persidangan dengan harta sebagai taruhannya, terkadang bukanlah keadilan yang dicari, tetapi keuntungan yang sebesar-besarnya. Lawan Ratna di masa lalu sangat mungkin masuk ke dalam daftar terduga.

Es limun mengaliri kerongkongan Ratna. Suhu dingin dari cairan itu membuat Ratna benar-benar terjaga. Ratna mulai memikirkan kemungkinan tersangka lain.

"Saya melakukan penyelidikan tambahan yang mungkin membuat Bu Ratna agak tidak nyaman," kata Doni. Pria itu mengeluarkan map cokelat lain dari dalam tas.

Sangat samar dan hanya sebentar, kerutan di kening Ratna tergambar. Ratna berusaha tenang. Dengan anggukan kepala, dia mempersilakan Doni lanjut bicara.

"Sidang kode etik Bu Ratna memang diselenggarakan tertutup. Tapi, ada beberapa desas-desus yang berhasil saya dapat. Orang yang melaporkan Bu Ratna adalah orang dalam."

Kepala Ratna sedikit miring. "Orang dalam?"

"Iya, orang yang pernah satu tim dengan Bu Ratna di firma hukum sebelumnya," ujar Doni memperjelas.

Ratna otomatis mengabsen siapa saja praktisi hukum yang pernah dia ajak bekerja sama. Sepanjang ingatan, Ratna selalu bersikap baik pada para rekan kerja. Dia juga terkenal sebagai pengacara yang suka berbagi ilmu dengan anak-anak magang.

Wanita itu tidak bisa menebak orang jahat mana yang memfitnah dirinya sebagai oknum pemalsuan bukti. Bukan hanya itu, Ratna juga terkena tuduhan telah mengajari seorang saksi dalam menjawab pertanyaan di persidangan. Dakwaan tersebut adalah pelanggaran fatal bagi seorang pengacara. Karier cemerlang yang Ratna bangun bertahun-tahun lenyap begitu saja.

Cuma orang kejam yang bisa melakukan hal seperti itu. Ratna lantas menyangsikan informasi Doni.

"Desas-desus tidak boleh dipercaya. Kita sedang mengumpulkan bukti, bukan bergosip." Ratna membantah dengan mimik tak suka.

"Tidak akan ada asap jika tidak ada api." Doni terlihat sangat serius saat memajukan posisi duduknya. "Itu bisa kita jadikan titik awal pencarian. Dibanding lawan-lawan di persidangan Bu Ratna dulu, penyebar tuduhan itu memiliki kans besar sebagai tersangka."

"Doni, bukannya saya mau sombong." Ratna merangkai jemari tangannya di atas meja membentuk pola segitiga. "Kakek saya profesor hukum yang sering dimintai pendapat. Ayah saya seorang hakim. Backing-an saya terlalu besar untuk diguncang oleh orang-orang di tim saya dulu."

Ratna jijik pada diri sendiri. Dia tidak akur dengan keluarganya, tetapi masih menggunakan nama mereka sebagai tameng. Terlebih pada sang ayah. Perceraian Ratna seakan menjadi pemutus hubungan darah di antara mereka.

"Ada hal lain yang bisa menggoyahkan kekuatan koneksi." Ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan Doni saling bergesekan di udara. "Uang," lanjutnya sambil tersenyum miring.

Kedua alis Ratna terangkat. Dia menarik selembar kertas dan mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di atas sebuah nama.

"Kalau begitu, suspek awal kita tetap sama. Dewa memiliki uang. Dia bisa membeli saya melalui jalur pernikahan. Bukan hal yang susah baginya menghancurkan saya lebih jauh lagi pakai alat yang sama."

Doni menarik napas panjang sambil memundurkan punggung. Pria pemilik senyum Pepsodent bergigi rapi itu tampaknya mulai putus asa. Mata sipit Doni terpejam lama, kemudian berkedip-kedip dalam tempo lambat. Dia butuh asupan kafein untuk menyegarkan pikiran.

"Bukti paling kuat adalah pengakuan tersangka," ucap Ratna sekonyong-konyong.

Doni nyaris menyemburkan kopi begitu mendengar pernyataan Ratna. Doni terbatuk-batuk. Sambil meraih tisu dan membersihkan ceceran kopi di dagu, Doni meminta penjelasan lengkap.

"Ini jalan terakhir kita. Biarkan saya dan Dewa bertemu. Saya bakal bikin dia mengakui perbuatannya," kata Ratna tegas.

"Korban dan tersangka bertemu … apa enggak akan menimbulkan permasalahan di masa depan?" tanya Doni waswas. "Kalau benar kekayaan Dewa sangat melimpah, bukannya tidak mungkin dia bisa bebas tanpa perlu masuk ke tahap persidangan."

"Ini cara terakhir yang terpikirkan. Saya tidak mau gambling lebih lama. Keselamatan orang lain dipertaruhkan di sini."

"Maksudnya, keselamatan Pak Haiyan?"

Ratna mengiakan dengan gerakan kepala, kemudian berdecak pelan. "Sekarang targetnya bertambah." Ratna enggan menatap mata Doni, jadi dia memilih mengamati es batu di dalam gelas. "Kemarin saya dapat pesan baru. Kali ini bukan ancaman, tetapi pelakunya menyebut sosok selain saya di pesan itu."

"Siapa?" Doni bertanya, setengah mendesak.

"Raga. Anak Pak Cakra."

"Cakra? Cakra Dhananjaya?" tanya Doni takjub. "Kalian baru kenal kemarin–"

Gelengan Ratna menghentikan ucapan Doni. "Saya sudah kenal Cakra sebelum pertemuan kemarin terjadi. Dia adalah pengacara yang membantu saya dalam sidang perceraian."

Doni termangu. Dia sadar telah ditipu Cakra yang pura-pura baru mengenal Ratna saat itu. Parahnya lagi, Doni merasa menjadi orang bodoh karena begitu saja terseret arus permainan Ratna dan Cakra tempo hari.

“Intinya,” Ratna mengetuk pinggiran gelas menggunakan sendok supaya Doni kembali fokus, “saya jadi semakin yakin bahwa pelakunya adalah Dewa. Dia kenal dengan Haiyan. Dia juga kenal dengan Cakra. Dia tentu saja pernah bertemu dengan Cakra ketika sedang mengurus perceraian. Bukan hal yang susah bagi Dewa untuk mencari tahu seluk-beluk keluarga Cakra, sama seperti yang dia lakukan pada keluarga Haiyan.”

Doni berdeham, agak salah tingkah karena ketahuan meleng dari kasus. Pria itu membenahi posisi duduknya. Dia meneliti tiap berkas yang terjajar. Dalam diam, Doni menimbang-nimbang segala kemungkinan. Dia sampai pada kesimpulan bahwa penuturan kliennya barusan sangatlah mungkin.

“Saya … setuju.” Doni menyingkirkan map berisi berkas penyelidikan terhadap rekan kerja Ratna di firma hukum terdahulu. “Kalau benar begitu, sebaiknya kita mulai menyelidiki bagaimana caranya pelaku memata-matai Bu Ratna. Semoga saja dari sini kita bisa mendapat petunjuk lebih banyak lagi.”

“Pak Doni, permintaan saya yang tadi masih berlaku.”

Doni mengangkat tatapan. Keteguhan dan keinginan kuat tergambar jelas di bola mata kliennya. Dengan berat hati, Doni akhirnya mengangguk.

“Saya akan atur jadwal bertemu dengan pihak terlapor. Saya mohon, Bu Ratna jangan memberikan konfrontasi terlalu keras. Terlepas apakah nantinya Dewa terbukti menjadi tersangka atau tidak, saya sama sekali tidak ingin mengorbankan keselamatan Bu Ratna.”

Ratna memoles senyum tipis. “Saya bisa menjaga diri, Pak Doni. Yang saya khawatirkan justru … anak-anak. Anak Haiyan maupun anak Cakra. Saya bakal merasa berdosa kalau mereka sampai kenapa-kenapa.”

“Semoga tidak,” jawab Doni optimis.

“Ya, semoga.” Ratna menjawab, meski suaranya agak sedikit bergetar.

Ayo berikan dukungan dan cinta setelah membaca bab ini! 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro