15 | Raga dan Ibu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bukan gitu, Bayi!" Raga terdengar gemas saat bicara pada Lintang, saudara sepupunya. "Lego itu dirakit jadi rumah-rumahan, bukan disusun panjang kayak kereta."

Lintang berceloteh ribut membalas perkataan Raga. Adu mulut itu cukup mengganggu telinga Cakra yang tengah menghadapi pekerjaan lewat laptop. Seketika Cakra jadi kasihan dengan kakaknya. Tak heran Arya sampai memberi peringatan pada Cakra supaya tidak terus-menerus menggantungkan pengasuhan Raga pada Citra. Mengurus dua anak kelebihan tenaga ternyata cukup menguras pikiran.

Hari ini Cakra kena getahnya. Cakra-lah yang telah berjanji pada Citra untuk menjadi baby sitter di akhir pekan. Sendirian pula. Orang tua Cakra tidak menginap dan kembali ke Malang kemarin malam, sedangkan Citra tengah menggunakan kesempatan yang ada untuk pergi kencan berdua dengan suami.

"Raga, biarin aja Lintang mau main kayak gimana. Kamu bisa main sendiri," kata Cakra melerai. Dia menyisihkan laptop dari lapang pandang.

Raga tetap tegak pada pendirian. "Nggak bisa, Yah! Ini merusak hukum permainan Lego!"

Raga memang anak Cakra. Akan tetapi, Cakra tak tahu dari mana bocah itu belajar mempertahankan pendapat dengan cara membuat peraturan-peraturan baru. Kalau begini terus, bisa-bisa Raga tumbuh menjadi anak pembangkang.

"Raga, sini! Ayah mau bicara," kata Cakra sambil menepuk-nepuk sofa sebagai bentuk undangan.

Karena penasaran, Raga meninggalkan Lintang dan segala permainannya untuk menghampiri Cakra. Anak itu duduk di tempat yang Cakra pinta. Raga menatap mata ayahnya, menunggu.

"Kegunaannya main untuk apa?" Cakra melempar pertanyaan pertama.

"Biar senang."

"Menurut kamu, Lintang kalau mainnya kayak gitu, senang, nggak?"

Raga menoleh ke arah anak berusia dua tahun yang kembali sibuk menyusun balok-balok Lego menjadi satu garis panjang. Kepala Lintang bergerak ke atas dan bawah dengan riang. Tanpa gangguan Raga, Lintang tidak berteriak-teriak lagi.

"Senang," jawab Raga sesuai hasil pengamatannya. Dia kembali membalas tatap mata Cakra sambil merengut. "Tapi, cara mainnya nggak gitu!"

"Cara main kamu dan Lintang boleh berbeda. Kamu senang main Lego untuk bangun rumah-rumahan. Lintang senang main Lego untuk bikin kereta-keretaan. Lintang nggak protes cari mainmu, lho. Kenapa kamu malah protes?"

Sudut-sudut bibir Raga tertarik ke bawah. Kedua lengannya terangkai di depan dada. Raga menunjukkan penolakan penuh.

"Mentang-mentang Lintang masih kecil, semua orang jadi lebih sayang sama Lintang. Aku juga masih kecil! Aku nggak punya ibu! Seharusnya semua orang baik sama aku!" seru Raga.

Cakra membeliak. Ini bukan kali pertama Raga mengeraskan suaranya saat bicara. Namun, ini pertama kalinya Raga menuntut hak lebih karena kondisinya yang tidak punya ibu. Cakra benar-benar tak paham dengan pola pikir putranya.

Raga berada di bawah tanggung jawabnya. Kalau Raga salah, berarti Cakra-lah yang duluan salah.

"Raga." Cakra mengusap wajah lelah. "Kita nggak bisa mengatur orang lain supaya baik sama kita."

Reaksi ayahnya membuat Raga kebingungan. "Tapi, kan ... aku nggak punya ibu."

"Memang siapa yang bilang kalau anak yang nggak punya ibu harus terus diperlakukan baik?"

"Pakdhe," jawab Raga polos. "Aku pernah dengar Pakdhe ngomong gitu ke Budhe. Katanya, gara-gara aku nggak punya ibu, Budhe jadi baik terus sama aku."

Dalam hati Cakra mengumpat. Dia kesal pada kakak iparnya. Mengapa Arya bisa bicara seperti itu sampai terdengar anak-anak?

"Budhe baik sama kamu bukan karena kamu nggak punya ibu. Budhe baik karena memang benar-benar sayang sama kamu." Cakra mengusap puncak kepala Raga. "Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi!"

Kening Raga berkerut. "Tapi, Yah, aku memang benaran nggak punya ibu, kan?"

Cakra menyelisik keingintahuan Raga dalam matanya. Satu tahun yang lalu Raga pernah memberi pertanyaan serupa pada Cakra setelah terjadi insiden kecil di taman kanak-kanak. Saat itu Raga tak sengaja mendorong ayunan terlalu keras, sampai-sampai temannya jatuh dengan wajah menghantam tanah terlebih dulu hingga terluka. Karena tak terima, orang tua dari murid yang terluka melemparkan cercaan pada anak berusia lima tahun yang tak tahu apa-apa.

Anak bandel. Anak tanpa ibu. Anak pembawa sial. Semuanya tertuding pada Raga yang menangis diam-diam di balik punggung ayahnya.

Cakra terlalu geram untuk memberi penjelasan panjang lebar. Dia menjawab pertanyaan Raga ala kadarnya, bahkan setelahnya jadi sering mendorong Raga untuk bisa apa-apa sendiri karena tak ada seorang ibu yang bisa menolong. Kalau dapat memutar balik waktu, Cakra ingin menarik kata-katanya saat itu.

"Ayah?" Raga menusuk-nusuk lutut Cakra dengan jari telunjuk. Dia menuntut jawaban.

Bagaimana bisa Cakra menjawabnya? Kalau Raga tahu kenyataan bahwa ibu kandungnya memilih pergi, bukankah hal itu justru lebih menyakitkan? Hingga kini pun Cakra tak pernah menerima pesan dari mantan istrinya hanya sekadar untuk menanyakan perkembangan Raga.

"Dulu Raga pernah sekecil Lintang, lebih kecil lagi malah," kata Cakra memulai penjelasan. "Raga tahu Lintang datangnya dari mana?"

"Dari perut Budhe."

Cakra mengangguk. "Cara Raga datang ke dunia ini juga sama kayak Lintang."

"Aku datang dari perut Budhe?"

Reaksi Raga membuat Cakra menepuk jidat. Walaupun lebih pintar dibanding anak seusianya, Raga tetaplah anak-anak. Bahasa penuh kiasan mudah disalahpahami oleh Raga.

"Raga datang dari perut seorang ibu. Ibu Raga sekarang ada di tempat yang jauh banget." Cakra berusaha melemaskan otot-otot wajah supaya tak terlihat sedih.

Raga membulatkan bibir. Cakra mengira Raga akan kembali bertanya-tanya, tetapi anaknya itu justru mengambil tas dan mengeluarkan buku gambar. Raga menyodorkan halaman yang berlukiskan sebuah rumah dan kumpulan orang-orang. Sekilas pandang, Cakra menebak itu adalah lukisan tentang keluarga.

"Aku disuruh gambar keluarga, tapi aku bilang ke Bu Guru kalau aku nggak punya ibu. Jadi, Bu Guru bolehin aku gambar Budhe, Pakdhe, Lintang, dan Ayah." Raga mengambil kotak krayonnya, bersiap-siap melukis. "Tadi Ayah bilang aku punya ibu, tapi jauh. Jauhnya di mana? Kalau aku gambar di sini, kejauhan, nggak?"

Cakra tergelak. Kesedihannya beberapa menit lalu rupanya tak beralasan. Raga terlihat sangat santai saat mengetahui kebenaran akan ibunya. Anak itu bahkan berinisiatif menggambar sosok ibu di atas awan.

"Kok, Ayah malah ketawa?" Raga lagi-lagi cemberut. Dia sama sekali tak suka dianggap remeh.

"Iya, iya, maaf," balas Cakra berusaha menekan geli di perut. "Raga boleh gambar di mana aja."

Benar saja, Raga menggambar sosok ibu yang tak diingatnya di atas awan. Cakra kembali tertawa. Kalau begini, bukankah berarti Raga mengira ibu kandungnya sudah di surga?

Tawa Cakra surut seiring tumbuhnya sebuah pemikiran. Sepertinya Raga memang butuh sosok ibu. Bukan sekadar sebagai pengasuh, tetapi sebagai orang yang bisa memberi bimbingan dari sudut pandang lain.

Cakra menggeleng pelan ketika wajah Ratna muncul di benaknya. Ratna jelas tidak melihat prospek Cakra sebagai mitra dalam sebuah hubungan romantis. Percakapan di mobil kemarin menguatkan dugaannya. Terlebih, Ratna sepertinya sedang terjebak dengan masalahnya sendiri. Apakah bijak jika Cakra mulai melakukan pendekatan sekarang juga?

Selagi menunggu Raga selesai menggambar, Cakra menemukan layar ponselnya berkedip-kedip. Dia meraihnya dan membuka pesan dari Doni yang baru saja masuk.

"Mau ketemu?" Cakra bicara sendiri. Dia melihat Raga dan Lintang. Otaknya berpikir keras menyiasati permintaan bertemu dari Doni selagi Cakra menjadi pengasuh anak.

"Raga, mau main di luar?" tanya Cakra.

"Main apa, Ayah?"

"Main sama Om Doni."

Raga sontak berseru antusias, "Mau!"

Buku gambarnya ditinggal begitu saja. Pembahasan soal ibu terselesaikan tanpa penjelasan sungguhan. Setelah mengucapkan keinginannya mau pergi bermain di mana, Raga segera melesat ke kamar untuk bersiap-siap.

***

Raga si bocah, bukan sembarang bocah 🙃 Masa lalunya kelam, tapi chill banget. Raga juga lebih savage daripada ayahnya, sih 🤔

Sejauh ini nggak ada bocil yang nggak berguna di universe Pingumerah. Jadi, nantikan sepak terjang Raga di bab-bab mendatang, ya 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro