29 | Meminta Bantuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cakra menghentikan kendaraan di depan rumah bertingkat dua. Pagar yang mengelilingi halaman tidak terlalu tinggi. Dari luar Cakra bisa melihat city car berwarna merah terang terparkir di carport. Menurut perkiraannya, kemungkinan besar rumah ini berpenghuni.

Doni yang sore ini menemani perjalanan Cakra, melihat bel di dekat pintu gerbang. Dia berinisiatif menekannya. Setelah beberapa saat menunggu, pintu rumah terbuka.

Seseorang berjalan mendekat. Cakra mengenali wanita berkacamata itu sebagai istri Haiyan. Di belakangnya, dua bocah kembar mengintip para pendatang. Cakra menyapa mereka sopan dan memberi tahu tujuan kedatangannya.

"Oh, tunggu sebentar di ruang tamu, ya," kata Naya ramah sambil membukakan gerbang dari dalam. "Ayahnya anak-anak masih mandi, baru pulang kantor."

Seperti kebanyakan rumah pasangan muda yang memiliki anak kecil, tempat tinggal Haiyan terasa hangat oleh keberadaan beberapa mainan yang terserak. Cakra bisa mencium wangi minyak telon dari si kembar ketika bersalaman dengan mereka. Selagi Naya memberitahu perihal kedatangan para tamu pada suaminya, si kembar duduk menemani Cakra dan Doni.

"Om," celetuk Danish, si bungsu. Telunjuknya terarah pada Cakra. "Di toko."

Cakra meringis dan mengangguk. "Iya, Om pernah ketemu kalian di toko."

"Serius?" Doni tampak terkejut. "Kayaknya lo kenal banget sama semua orang di lingkaran klien gue, ya, sampai ke anak-anaknya segala."

Cakra meringis. Semuanya tidak direncanakan. Murni kebetulan. Nggak ada sesuatu yang sangat mengejutkan sampai-sampai mengundang pelototan Doni.

"Om, ciapah?" Pertanyaan Daniel membantu Cakra lepas dari jeratan Doni. Jari telunjuknya teracung ke arah Doni.

"Om Doni," sahut Doni. Dengan kedua telapak tangannya yang lebar, acungan jari si kembar jadi tertutupi. "Nggak boleh main tunjuk-tunjuk. Nggak sopan."

Haiyan datang tak lama kemudian. Dia menyapa Cakra dengan senyuman lebar, tetapi memberi tatapan bingung pada Doni.

Pagi ini Haiyan mendapat pesan dari temannya untuk izin bertemu. Haiyan tidak menyangka Cakra membawa teman lain. Berbanding terbalik dengan Haiyan yang mengenakan pakaian rumahan santai, Cakra dan Doni masih memakai setelan kemeja. Haiyan segera menyadari bahwa kemungkinan besar Cakra datang membawa pekerjaan untuknya.

"Ini temanku, Yan. Namanya Doni, pengacara juga."

"Kirain datang mau main kayak biasa," balas Haiyan tak enak hati. "Tahu gini, kita ketemuan di luar. Maaf, ya, rumah masih berantakan."

Naya tiba di ruang tamu sambil membawa baki berisi tiga cangkir teh panas dan dua stoples makanan ringan. Si kembar berebut mau membantu. Namun, usaha mereka digagalkan oleh sang ibu.

"Daniel sama Danish ikut Buna aja, sini! Yana mau kerja," panggil Naya.

"Di lumah," ujar Danish dengan gaya cadelnya, "ndak boyeh kelja."

Cakra bisa menaksir usia si kembar dan keponakannya tidak jauh berbeda. Hanya saja, kemampuan bersosialisasi si kembar telah berkembang pesat. Meski masih berusia dua tahun lebih beberapa bulan, mereka bisa mengeluarkan argumen. Cakra dan Doni menjadi saksi mata diskusi alot antar anak dan orang tua, sebelum akhirnya si kembar mau hengkang dari ruang tamu.

"Duh, anak-anakku ramai banget, ya?" ucap Haiyan sambil mengusap tengkuk. "Akhir-akhir ini memang lagi pada clingy, mau dekat-dekat ayahnya terus. Aku kadang dilarang pergi kerja."

"Enak, dong. Lagi pada manja."

Haiyan tersenyum tipis membalas ucapan Cakra. "Jadi, ada apa, nih?"

Cakra menepuk bahu Doni yang duduk di sebelahnya. "Doni ini kuasa hukum Ratna sekarang." Cakra melihat reaksi terkejut di wajah Haiyan. "Jadi, kamu bebas bercerita tentang Ratna di depannya."

Haiyan tertawa sumbang. "Apa maksudnya? Nggak ada yang perlu saya ceritakan."

"Bu Ratna mendapat teror dari nomor asing. Dugaan sementara saya, pesan itu dikirim oleh mantan suaminya." Doni berkata tegas tanpa basa-basi. "Saya, selaku perwakilan Bu Ratna, mau minta tolong pada Bapak Haiyan untuk datang sebagai saksi."

Kedua tangan Haiyan tertelungkup di atas lutut. "Saksi apa? Saya sudah lama nggak ketemu Kak Nana. Maksud saya, Ratna. Saya nggak tahu apa-apa."

Haiyan keceplosan. Panggilan akrab itu mengganggu benak Cakra selaku kekasih Ratna. Dulu pun Ratna pernah menyebut nama akrab Haiyan di depannya.

Iyan dan Kak Nana. Kayak pasangan aja pakai nama imut begitu, pikir Cakra.

Cakra membiarkan Doni menjelaskan kronologi kejadian lengkap pada Haiyan. Daripada makan hati, lebih baik Cakra mengemil biskuit cokelat yang tersaji. Berulang kali Cakra menyugesti diri bahwa keberadaannya di sini untuk membantu Ratna keluar dari masalah. Cakra harus bisa mengesampingkan rasa panas di hati.

"Bagaimana, ya, menjelaskannya." Haiyan terlihat tidak nyaman. "Bukannya nggak mau bantu, cuma–"

"Aku tahu cerita masa lalu kalian, Yan," potong Cakra. "Waktu kuliah, kamu mengikuti Ratna terus, bahkan kamu bantu menyusun skripsinya meski hitungannya kamu adalah adik tingkat. Setelah bertemu lagi di Surabaya, kamu juga bantu Ratna meyakinkan diri untuk lepas dari jeratan suaminya. Apa kamu sekarang sama sekali sudah nggak bisa peduli ke Ratna?"

"Nggak gitu, Cak." Haiyan menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada anak dan istri. Suaranya melirih. "Sekarang aku sama istri lagi rutin datang ke konselor keluarga. Kalau aku juga ngurusin Ratna, usaha aku selama ini sia-sia. Aku nggak mau keluargaku pecah lagi."

Cakra pernah merasakan sakitnya pengkhianatan. Dia bisa menebak perselingkuhan Haiyan dengan Ratna menyakiti anggota keluarganya yang lain. Tak heran bila Haiyan harus tiba di rumah tepat waktu demi menenangkan hati istri. Kalau tidak terlalu mendesak, pertemuan sejenis ini pun bertempat di rumah, supaya istrinya tidak berpikir macam-macam.

Haiyan teguh pada pendirian. "Tanpa surat pemanggilan saksi dari pihak berwajib, saya nggak bersedia, Pak Doni," tolak Haiyan sambil mengembalikan kartu nama Doni. "Saya mendoakan yang terbaik untuk Ratna. Cuma itu yang bisa saya lakukan."

Cakra dan Doni saling memandang. Pada akhirnya, mereka kembali menemukan jalan buntu.

***

Cakra tiba di rumah ketika Ratna tengah mengantar Raga tidur. Cakra tak pernah menyuruh Ratna menjalankan peran sebagai seorang ibu. Namun, Ratna kukuh berbuat demikian sebagai imbalan jasa.

"Sayang," panggil Cakra pelan sambil mengusap bahu Ratna. Kekasihnya itu ikut tertidur di samping Raga. "Pindah kamar," lanjutnya lembut.

Ratna menikmati waktunya untuk mengembalikan kesadaran. Cakra yang gemas dengan tingkahnya mengecupi tiap bagian dari wajah Ratna. Ratna langsung mendelik.

Apa jadinya bila suara kecupan Cakra membangunkan Raga? Ratna bergegas turun ke lantai satu, sedangkan Cakra berlalu ke kamarnya sendiri untuk membersihkan diri.

Cakra mengira Ratna langsung melanjutkan istirahat. Namun, ketika Cakra selesai mandi dan menengoknya, Ratna justru tengah membaca buku. Sebagai bahasa isyarat, Ratna menepuk-nepuk sisi tempat tidurnya yang kosong.

"Nggak tidur?" tanya Cakra sambil merangkul bahu Ratna.

"Sengaja, mau nunggu kamu." Ratna meletakkan buku di pangkuan. "Ada kabar baik?"

Cakra menggeleng. "Haiyan nggak mau bersaksi kalau nggak ada surat panggilan. Aku dan Doni jadi agak skeptis."

"Sudah kuduga," balas Ratna sembari menghela napas panjang. "Terakhir kali ketemu, dia secara tersirat memang mau memutus semua hal tentang aku. Kalau bukan untuk urusan pekerjaan, dia pasti nggak mau ketemu." Ratna menertawakan nasib buruknya. "Yah, setelah aku nggak meneruskan jadi pengacara, kesempatan untuk bertemu dia lagi mengecil. Kita nggak mungkin terjun dalam kasus yang sama, kecuali perusahaanku hire dia kalau nanti ada masalah."

"Kamu kecewa karena nggak bisa ketemu Haiyan lagi?" Cakra mengangkat wajah Ratna hingga pandangan mereka bertemu. "Iyan dan Kak Nana. Itu panggilan sayang?"

"Nggak, kok," elak Ratna. "Iyan itu nama panggilan dari teman-teman tongkrongan dulu."

"Kak Nana?"

"Itu," bola mata Ratna bergulir ke arah lain, "bikinan Haiyan sendiri. Dia memang suka bikin panggilan yang berbeda."

"Aku boleh cemburu, nggak?" tanya Cakra. "Memang bocah banget, sih. Tapi, aku cemburu."

"Cemburu karena Haiyan?"

"Karena itu, juga karena hal lain." Cakra menekan sepasang bibirnya menjadi garis lurus. "Aku sering panggil kamu 'Sayang', sedangkan kamu nggak pernah panggil aku kayak gitu."

Ratna terdiam. Sedetik berikutnya dia tertawa. "Astaga, Cak! Cuma karena nama panggilan, kamu cemburu?"

"Kalau kita panggil seseorang pakai sebutan 'Sayang', lama-kelamaan kita menumpuk perasaan sayang sama orang itu." Cakra menaikkan satu alis. "Panggilan lain yang mengacu pada perasaan sayang juga nggak apa-apa."

Ratna tertawa renyah. "Mau dipanggil apa? Sayangku? Tampanku? Seksiku?"

"Yang terakhir, valid?" Cakra memajukan wajah. "Seksiku?"

Ratna terkekeh di depan wajah Cakra. Pria itu terus mendesak maju hingga Ratna terpojok. Ratna tidak berniat menjauh apalagi melarikan diri.

"Kalau sering dipanggil 'Seksi', nanti makin seksi, nggak?" goda Ratna dengan kedua tangan hinggap di pipi kekasihnya.

"Let's see!"

***

Note: Buat yang penasaran sama ceritanya Haiyan-Naya-Ratna (plus si kembar yang suka bertingkah), kamu bisa baca di platform Cabaca. Masih bagian dari #LawyerSeries.

Cari saja judul "Come Back Home" di akun Pingumerah. Sudah mau tamat, lho. Selamat membaca! 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro