39 | Hancur Bersama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ayah sudah pulang! Yes! Yes! Ayah!"

Cakra tersenyum lebar mendengarnya. Sejak Raga bisa bicara, panggilan 'ayah' yang keluar dari mulutnya benar-benar ampuh membuat hati Cakra meledak-ledak. Ini alasan mengapa Cakra tak pernah sekalipun menganggap Raga sebuah kesalahan walau hidup terasa jahat.

"Aku boleh ikut naik ini?" tanya Raga setelah memeluk sang ayah. Dia menunjuk kursi roda yang tengah ayahnya duduki.

"Bolehlah!" Cakra menepuk-nepuk paha. "Sini naik!"

"Hati-hati!" ucap Ratna panik. Bagaimana dia bisa tenang bila Raga hampir saja menabrak gipsum yang melingkari kaki kiri Cakra? Ratna turun tangan mengangkat tubuh Raga dan mendudukkannya secara hati-hati di pangkuan Cakra.

"Jalan!" seru Raga sambil mengacungkan telunjuk ke depan.

Citra yang baru bergabung dari rumah seberang memekik terkejut melihat adik dan keponakannya mengambil risiko sebesar itu. Kursi roda bukanlah wahana permainan. Citra lantas menurunkan putrinya dari gendongan demi menghentikan kegilaan Cakra dan Raga. Sebelum Citra bisa menyusul Cakra dan Raga, Lintang malah minta ikut duduk di pangkuan Cakra.

"Sini, Lintang! Ayahku kuat!" Raga menepuk-nepuk pahanya sendiri, meniru kelakuan Cakra sebelumnya. "Biar Lintang aku pangku."

Citra menggeleng lemah melihat Cakra menuruti keinginan Lintang begitu saja. Cakra sama sekali tidak khawatir kakinya akan mendapat perawatan lebih lama, berbeda dengan Citra dan Ratna yang cuma bisa melihat dari belakang. Ayah satu anak itu telah menggulirkan roda tumpangannya melintasi ruang tengah menuju teras belakang.

"Kamu serius mau nikah sama orang kayak dia?"

Ratna sontak menoleh. Matanya melebar. Dari mana Citra tahu kabar itu?

"Aku nggak sengaja dengar rencana Cakra dan Raga," ujar Citra segera memberi penjelasan saat hanya mendapat tatapan horor. "Nggak terang-terangan bawa kata 'menikah', sih. Tapi, Raga mau diajak kerja sama dalam misi Cakra menjadikan kamu sebagai ibu sambung Raga."

Helaan napas keluar dari mulut Ratna. Sejak muncul pesan aneh yang menyenggol rencana hubungannya dengan Cakra, Ratna jadi agak parno. Meskipun belum ada pembahasan soal hal itu lebih lanjut karena Cakra sedang mendapat musibah, Ratna tetap waswas bahwa kabarnya akan cepat menyebar.

"Ada beberapa hal yang harus aku urus sebelum itu, Mbak," jawab Ratna. "Jadi, tolong simpan kabar ini untuk Mbak sendiri. Kalau sudah lebih pasti, aku dan Cakra pasti bakal bikin pengumuman resmi."

Citra mengulas senyum ramah. "Kamu kayak sama siapa saja, Na. Aku nggak bakal bilang siapa-siapa, kok." Citra mengajak Ratna duduk di deretan kursi ruang tamu. Mimik Citra sarat akan perhatian. "Sebelum kita bicarakan lebih lanjut soal rencana pernikahan kamu, Mbak mau tanya. Kamu dan Doni masih menyelidiki dalang di balik peristiwa kemarin, kan?"

Peristiwa kemarin yang Citra maksud pasti yang melibatkan Cakra dan Raga, terlihat dari bagaimana dia melempar pandang ke arah Cakra di kejauhan, sebelum akhirnya kembali menatap Ratna. Ratna mengiakan dengan anggukan. "Kami terus berusaha."

"Syukurlah," balas Citra sambil mengusap dada. "Mbak nggak tega sama Raga. Dia bilang sendiri nggak nyaman diikuti bodyguard. Katanya, om penjaga bikin teman-temannya takut, jadi pada nggak mau main sama Raga. Tapi, mau bagaimana lagi. Sampai pelakunya tertangkap, Mbak nggak berani biarin Raga tanpa pengawasan ketat."

Ratna memaklumi kegundahan Citra. Seandainya berada di posisi Citra, mungkin Ratna akan melakukan hal yang sama, bahkan lebih. Apa yang dia lakukan selama seminggu terakhir adalah menjaga Raga dari jauh. Setiap tiga jam sekali, Ratna akan menghubungi pihak sekolah untuk memastikan keadaan Raga. Bila tidak harus bekerja, membantu mengusut penyelidikan, dan mengurus Cakra di rumah sakit, Ratna bisa saja menggantikan keberadaan 'om penjaga' dan membuat Raga lebih kerasan.

"Oh, ya, sama satu lagi." Citra kembali bersuara. "Cakra nggak mungkin naik tangga ke kamarnya di lantai dua dengan kaki yang seperti itu. Apa boleh seandainya kamu dan Cakra bertukar kamar untuk sementara?" Citra segera menambahkan, "Mbak nggak bermaksud mengusir kamu. Mbak juga paham Cakra pasti nggak mau kamu pergi dari rumahnya. Jadi, permintaan Mbak simpel, kok. Tolong tukar kamar sampai Cakra bebas dari gips dan bisa jalan tanpa kursi roda."

"Iya, Mbak. Aku mau. Nanti biar kamarnya aku bersihkan dulu."

"Makasih, ya, Ratna." Citra mengusap lengan Ratna sambil menunjukkan senyum tulus. "Kehadiran kamu sangat membantu Mbak, Cakra, dan Raga."

Kalimat itu terasa manis sekaligus pedas. Ratna ingin sekali dapat bergabung di keluarga yang penuh kasih seperti ini. Namun, sebelum berhasil menarik garis penghubung pada tiap-tiap kasus, dia pasti akan selalu dihantui perasaan bersalah. Masih ada probabilitas di mana Ratna-lah biang keladi dari musibah yang merusak ketenteraman keluarga bahagia ini.

***

"Baru selesai mandi?"

Ratna melompat kecil. Ketika dia menoleh ke sumber suara, wanita itu mendesah. Cakra sudah berbaring di kasur. Rasanya Ratna ingin sekali bilang pada Citra untuk tidak perlu mengkhawatirkan soal kamar Cakra yang berada di lantai atas. Cakra bisa menggunakan kamar Ratna sesuka hati, tanpa perlu bertukar.

"Kenapa muka kamu kerut-kerut kayak gitu?" Cakra melebarkan lengan dan mengangkat bahu. "Ada yang salah dari aku tiba-tiba ada di sini? Bukannya kamu sudah biasa?"

Ratna mengibas sebelah tangan. Dia tidak ingin berbagi soal percakapannya dengan Citra tadi sore. Wanita itu mengabaikan keberadaan Cakra dan berlalu ke meja rias.

"Na, jangan pakai skin care dulu, dong. Rasanya pahit kalau mau aku cium," ucap Cakra tengil.

"Aku nggak mau kamu cium." Ratna membalas dingin. Namun, wanita itu menuruti permintaan kekasihnya untuk tidak mengenakan produk perawatan wajah. Dia lantas berlalu ke lemari baju.

"Jangan pakai baju dulu," pinta Cakra semakin menjadi-jadi. "Nanti susah pas aku buka."

"Cakra." Ratna memang tidak meninggikan suara, tetapi raut mukanya seperti ibu-ibu yang siap mengomeli kelakuan nakal si anak. "Kamu masih sakit. Tidur."

"Yang sakit cuma kakiku. Bagian lainnya sehat."

Ratna memutar bola mata. Entah bagaimana, dia langsung tahu makna dari pemilihan kata lainnya dalam kalimat barusan. Sepertinya ini efek akibat terlalu lama tinggal bersama Cakra.

"Kamu sudah bersih, kan?" Cakra berujar lagi. Pria itu membenahi posisi bantal yang menyangga punggung. "Kita sudah lama nggak main. Aku kangen. Selain itu, ada hal yang harus kita obrolin. Lebih enak sambil main."

"Hal penting apa yang harus diobrolin sambil main?"

"Tentang hubungan kita."

Ratna membeku di tempat, di depan lemari. Topik ini selalu dia hindari meski sedang berdua saja bersama Cakra di ruangan perawatan rumah sakit. Ratna selalu bisa mengalihkan perhatian supaya Cakra beristirahat, atau kabur sebentar dengan alasan mau beli makan di kantin. Namun, ketika mereka berada di rumah, bahkan di kamar yang menguarkan aroma keintiman sebagai saksi sejarah momen pertama kali mereka berhubungan badan, topik itu seolah tak dapat dihindari.

"Ratna, aku nggak bodoh," kata Cakra. "Aku tahu pikiran apa yang ada di kepala kamu. Aku juga tahu alasan kamu nggak pernah mau bahas kemajuan penyelidikan sama aku. Tapi, aku punya Doni. Dari dia, aku tahu kamu punya pikiran bahwa orang yang mencelakakan aku kemungkinan besar ada hubungannya dengan Dewa."

"Maaf."

"Nggak perlu minta maaf." Cakra menepuk-nepuk paha. "Aku nggak suka lihat muka sedih kamu, makanya aku ajak kamu ngobrol sambil main. Saat kita sedang bersama, kamu nggak perlu simpan apa-apa sendiri. Aku sudah pernah bilang itu, kan?" Cakra merentangkan kedua tangan. "Dan satu lagi. Saat kita sedang main, aku suka sama ketelanjangan kamu, dalam arti yang sesungguhnya maupun kiasan."

Ratna menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Wanita itu berjalan mendekat, kemudian duduk di pangkuan Cakra dalam posisi menyamping. Dari jarak sedekat ini, Ratna tahu Cakra bisa melihat seluruh luka yang terpancar di wajahnya.

"Aku takut," ucap Ratna dengan suara bergetar. Dia mempertemukan keningnya dengan kening Cakra. "Maaf, aku cuma takut sesuatu yang lebih buruk bisa saja terjadi ke kamu dan Raga. Kalau itu sampai terjadi, aku–"

Cakra membungkam bibir Ratna dengan bibirnya sendiri. Dia sudah memberi peringatan pada Ratna untuk tidak meminta maaf, tetapi wanitanya itu malah melanggar.

Tangan Cakra meraba lengan kekasihnya yang terbuka. Usapannya tiba di punggung Ratna. Bersamaan dengan lepasnya tautan bibir mereka, Cakra menarik turun sehelai handuk yang memeluk tubuh kekasihnya. Mereka bertatapan, yang satu matanya setajam penglihatan burung elang, yang satu lagi matanya telah basah.

"Ini yang aku suka." Suara Cakra menjadi lebih berat. "Menangislah. Kamu dan aku bakal hancur bersama malam ini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro