48 | Pekerjaan Kamu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu benaran nggak mau aku temani?"

Ratna cuma menggeleng. Wanita itu serius sekali merapikan dandanannya. Pagi ini Ratna tampil lebih rapi dan sangar dengan perpaduan nuansa gelap yang mewarnai setelannya. Rambut panjang Ratna diikat tinggi-tinggi sehingga menciptakan kesan percaya diri yang sangat kental.

"Aku bisa urus cuti biar bisa ikut ke pengadilan," ucap Cakra lagi.

"Nggak, Cak. Kamu sudah terlalu banyak ambil waktu libur. Aku nggak mau kamu kena semprot atasan lagi gara-gara kinerja kamu menurun."

"Kinerjaku nggak menurun. Aku cuma mau nemenin kamu dan kasih dukungan moral. Bukannya itu yang dilakukan para pasangan di luar sana?"

"Aku nggak selemah itu," balas Ratna. Dia sudah selesai berdandan. Kini gilirannya menenangkan Cakra secara total. "Aku bakal langsung kasih kabar begitu persidangan selesai. Kamu tenang aja. Di dalam sana aku nggak berjuang sendirian. Ada Doni." Ratna merapikan keliman jas Cakra yang bertubuh lebih jangkung, lantas menepuk-nepuk dadanya. "Dan aku percaya dukungan moral dari kamu bisa tersampaikan ke aku tanpa perlu hadir langsung di pengadilan."

Cakra mendesah sebal. Bila sedang begini, tampangnya mirip sekali dengan Raga yang merajuk.

"Sana berangkat ke kantor! Pagi ini kita nggak bareng. Aku sudah janjian mau langsung berangkat ke–"

Ucapan Ratna terpotong. Wanita itu gagal menjauhkan diri karena pinggangnya keburu tertangkap. Dengan sangat tegas, Cakra merapatkan tubuh mereka. Ratna jadi tak kuasa menolak apa yang akan Cakra lakukan atau katakan berikutnya.

"Semoga sidang pertamanya lancar," kata Cakra setengah berbisik. Ada kepasrahan dan kemarahan dalam getaran suaranya. Pelukan pria itu mengetat. "Kalau video itu terpaksa diputar di ruang pengadilan dan kamu nggak kuat lihatnya, langsung kasih tahu Doni. Memenangkan kasus ini memang penting, tapi kesehatan kamu juga nggak kalah penting."

"Iya, Cakra."

Mereka saling memberikan pelukan. Ciuman Ratna mampir di bibir Cakra, yang langsung Cakra balas dengan sepenuh hati. Sebab mengingat usaha Ratna dalam berdandan, Cakra tak berniat menghancurkan hasilnya dalam sekejap mata. Jadi, pria itu berhenti melumat dan menyelesaikan ciuman panjang mereka dengan kecupan-kecupan kecil yang menjalar hingga ke kening.

"Siang nanti aku ada kerjaan di gedung yang sama dengan tempat persidangan kamu diadakan. Kalau ternyata kamu masih belum selesai sidang, aku bakal nengok kamu," kata Cakra sambil mengusap bibir bawah Ratna dengan ibu jari.

"Kamu fokus aja sama pekerjaan."

"Kamu termasuk. Sebentar lagi kita menikah, kalau kamu lupa. Kamu bakal ada di bawah tanggung jawabku selaku suami."

Ratna tersenyum miring. "Kan, baru mau. Belum menikah."

"Ngeles terus kerjaan sayangku ini," balas Cakra ikutan bercanda. "Buruan benerin lipstik kamu. Sudah habis aku makan, tuh!"

***

Dalam penyelesaian perkara pidana, persidangan bisa berlanjut sangat panjang; mirip sinetron yang memiliki rancangan episode-episode berikutnya. Pihak Ratna telah menyiapkan amunisi peperangan untuk menghadapi persidangan yang berkelanjutan. Mereka yakin sekali bisa berada di atas awan pada persidangan pertama. Semuanya berkat bekal barang bukti video CCTV yang pihak Ratna kumpulkan. Namun, mimpi indah mereka terempas begitu saja. Kuasa hukum Dewa memberikan perlawanan kuat.

Dengan mengabaikan betapa kejamnya isi video, kuasa hukum Dewa justru mempermasalahkan keabsahan barang bukti. Menurut pengakuan Dewa dan salah satu asisten rumah tangga yang datang sebagai saksi, tidak ada CCTV yang terpasang. Selain itu, Ratna tertuduh sengaja memancing dan melakukan provokasi pada Dewa untuk menyetubuhi di ruang tengah, di mana ada kamera CCTV yang sudah disiapkan sebelumnya.

Seolah belum cukup, pihak Dewa mengungkit alasan mundurnya Ratna sebagai pengacara. Bagi mereka, track record Ratna yang dianggap pernah memalsukan barang bukti tentu memengaruhi penilaian barang bukti di persidangan saat ini.

Ratna kalah. Ketika hakim mengatakan bahwa persidangan akan dilanjutkan minggu depan, Ratna rasanya ingin meneriaki Dewa keras-keras. Menyiapkan mental untuk menunjukkan sisi buruknya, aib hidupnya, kepada orang lain tentu bukan hal yang mudah bagi Ratna. Bisa-bisanya Dewa begitu kejam menggunakan perkara yang melibatkan profesi Ratna sebagai pukulan.

"Cincin yang bagus," kata Dewa seraya melirik tangan kiri mantan istrinya. "Ukuran berliannya kecil, cocok untuk perempuan seperti kamu."

Itu adalah penghinaan. Berlian kecil harganya tentu tak sepadan dengan berlian besar yang memiliki bobot karat lebih tinggi.

Berulang kali Ratna mengingatkan diri untuk tidak menampar mulut kurang ajar tersebut. Di sini terlalu banyak orang. Serendah apa pun Ratna terjatuh, dia tidak boleh menundukkan kepala dan menunjukkan keputusasaan pada Dewa.

"Teruslah menggonggong. Mulai detik ini setiap ucapan kamu akan saya ingat. Saya yakin mulut yang seperti tidak pernah mengenyam pendidikan itu pada akhirnya akan membuka pintu penjara untuk kamu sendiri."

Dewa memundurkan kepala. Mimiknya sungguh menyebalkan, kentara sekali menganggap remeh si lawan bicara. "Aku cuma menyapa orang penting dari masa lalu. Mantan istri itu penting, apalagi kita diputuskan berpisah cuma karena ketidakcocokan dan aku yang nggak memedulikan kamu enam bulan lamanya." Dewa melirik Doni seraya menaikkan sebelah alis. "Setidaknya, itu kesimpulan dari perceraian kita yang pengacara kamu buat. Ah, maksudku, pengacara kamu yang lama."

Kedua tangan Ratna mengepal. Untung saja Dewa segera keluar dari ruang sidang lebih dulu. Kalau tidak, entah sampai kapan Ratna berhasil menahan diri. Meteran kesabaran Ratna cepat anjlok mengingat sepuluh tahun ini dia sendirian menahan kesedihan di dalam pernikahan.

"Saya akan mencari bukti bahwa CCTV itu layak dijadikan barang bukti. Kalau perlu, saya bisa mencari tukangnya yang memasang, selama ada nota pembelian," kata Doni yang sedari tadi menyaksikan adu mulut Ratna dan Dewa dari samping.

"Tentu saja saya punya notanya. Saya tidak bodoh," balas Ratna keki. Setelah mengatur napas, akhirnya Ratna kembali bicara, "Maaf, Pak Doni. Saya terlalu emosi. Ucapan Dewa tadi terkesan merendahkan Cakra, menganggap bahwa Cakra tidak becus mengerjakan kasus perceraian saya. Saya marah ke diri sendiri. Seandainya saya tidak menghalangi usaha Cakra untuk membantu sejak awal, sepertinya Cakra tidak perlu menanggung malu karena direndahkan seperti ini."

"Bu Ratna sebaiknya jangan terlalu memikirkan omong kosong seperti tadi. Kita belum kalah. Pernyataan pihak lawan tadi justru membuat saya sadar." Doni berhenti sejenak untuk menyerahkan setumpuk berkas pada juniornya. "Selain membuktikan kelayakan video CCTV, saya bisa membuktikan bahwa ada rekayasa di balik fitnah yang menyebabkan Bu Ratna mundur dari pekerjaan pengacara. Hasilnya tentu menguntungkan karena kredibilitas Bu Ratna akan kembali."

"Lakukan apa saja yang dibutuhkan," ucap Ratna. Tidak seperti biasa. Dia tidak lagi menghalangi keinginan Doni untuk menyelidiki perkara yang satu itu. "Saya percaya sama Pak Doni," ucap Ratna tandas.

Setelah mengantongi izin, tim Doni segera melakukan penyelidikan lagi. Ratna memilih tinggal lebih lama di gedung pengadilan. Dia sempat melihat layar yang menampilkan antrean persidangan di tiap-tiap ruangan. Dari situ Ratna mengetahui bahwa persidangan yang Cakra hadiri belum selesai. Dia menunggu di deretan kursi panjang, tepat di depan pintu ruang sidang.

Apa yang Ratna tunggu akhirnya datang. Pintu di hadapannya terbuka. Beberapa orang keluar dari sana, termasuk Cakra. Mereka sudah bertatapan, tetapi Cakra segera memberi isyarat menunggu. Ratna tak keberatan menunggu lebih lama lagi, selagi Cakra menyelesaikan urusannya.

"Kamu sudah lama keluarnya? Doni mana?" tanya Cakra usai berbincang dengan petugas kantor pengadilan.

"Mereka balik duluan. Aku memang mau nungguin kamu di sini."

Cakra celingukan, agak salah tingkah. Tumben sekali Ratna bersikap manis. Cara bicaranya juga terkesan dibuat seimut mungkin. Cakra tak rela membagi pemandangan menggemaskan ini pada siapa pun.

"Kamu masih harus balik kantor?" tanya Ratna seraya menarik-narik pelan lengan jas Cakra. "Urusanku hari ini sudah selesai. Urusanmu selesaikan cepat-cepat, dong!"

"Bukannya kamu nyuruh aku buat kerja yang benar? Fokus sama kerjaan?"

"Bukannya aku termasuk bagian dari pekerjaanmu?" balas Ratna menggunakan senjata yang sama, yang Cakra gunakan tadi pagi.

Cakra mengulum senyum. Dia penasaran sekali pada hasil persidangan Ratna hari ini. Namun, melempar pertanyaan sekarang sepertinya akan memperburuk suasana hati Ratna. Cakra menyukai Ratna mode manja. Dia tidak rela buru-buru melepas kesempatan ini.

"Selesai kerja, langsung pulang, ya," pinta Ratna sambil mengusap bahu. Usapannya turun ke dada Cakra. Gerakan tangan Ratna menjadi sangat seduktif. Namun, wanita itu malah berdiri seakan harus segera pergi. "Cepat pulang. Aku tunggu. Aku butuh kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro