5 | Sapu Tangan Biru Muda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dimas sialan! Ngapain bikin rapat sore hari, sih? Cakra bebas mengumpat dalam hati. Dia masih punya logika yang menahannya supaya tidak berbuat aneh-aneh. Cakra tak siap bila si manajer kantor mendepaknya karena tidak bisa menahan makian.

Mentang-mentang urusannya di luar sudah selesai, si bos semena-mena menarik para pengacara senior sekaligus mentor untuk rapat, padahal bahan diskusi kali ini tidak begitu penting. Tak terhitung sudah berapa kali Cakra diam-diam melirik arloji. Masalahnya, ini sudah waktunya pulang. Evaluasi kerja anak magang tidak perlulah dibahas terburu-buru, begitu pikir Cakra.

"Cakra, ada kendala?"

Cakra segera menegakkan punggung. Kakinya berhenti bergerak-gerak di bawah meja. Dia menarik map kulit yang di dalamnya berisi lembar penilaian kinerja Lanang.

Lanang jadi anak magang terakhir yang diulik. Itu artinya, Cakra selaku mentor Lanang mendapat kesempatan bontot membuka mulut. Bisa bayangkan bagaimana gelisahnya Cakra yang pikirannya selalu berputar di sekitar Raga tiap menjelang pukul lima sore.

"Tidak ada, Pak Dimas. Enam bulan ini anak magang saya melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia bekerja sesuai arahan mentor. Lanang tidak pernah macam-macam."

Cakra menguraikan poin-poin penting dan kontribusi Lanang saat bekerja dalam tim. Pemaparannya efisien dan tidak bertele-tele. Kecepatan bicara Cakra melejit, mirip seperti penyanyi rap. Setelah bicara, Cakra sedikit terengah-engah. 

Jeremias yang duduk di sampingnya bertepuk tangan tanpa suara, salut pada dedikasi Cakra. Cakra menggerakkan sebelah alis mengirim sinyal balasan pada Jeremias. Untunglah penjelasannya cepat berakhir, dia jadi bisa segera enyah dari ruangan ini.

"Saya dengar, Lanang ikut rangkaian sidang perceraian beberapa bulan lalu." Dimas berkata dan Cakra mendesah tanpa kentara. "Kamu tahu, kan, Lanang belum punya izin praktik dan belum disumpah?"

"Lanang tidak pernah terlibat langsung dengan perkara. Untuk urusan persidangan, keterlibatan Lanang telah mendapat izin klien. Sesuai dengan aturan yang ada, saat beracara Lanang sama sekali tidak masuk ruang sidang." Cakra memberi jawaban lugas. Dia langsung memberi konklusi supaya diskusi segera berakhir. "Lanang bekerja dengan baik di bawah bimbingan saya tanpa melanggar batas-batas yang ada, Pak."

"Izin dari klien," Dimas mengusap dagu, "kamu yang minta izin untuk Lanang?"

Percuma Cakra berbicara cepat sampai kehabisan napas jika Dimas terus mencecarnya dengan pertanyaan remeh. Selain itu, cara Dimas menanggapi sangatlah santai. Kesabaran Cakra mulai tergelitik.

Cara terakhir Cakra untuk membungkam atasannya yakni membuka identitas klien yang mempersilakan anak magang untuk ikut belajar dari kasusnya. Tidak hanya itu, Cakra pun menceritakan keterlibatan kliennya mengajari hal-hal lain terkait pekerjaan sebagai pengacara pada Lanang. 

Ratna adalah klien sekaligus guru yang baik. Cakra sebenarnya malu mengakui perannya yang menjadi jauh berkurang dibanding Ratna. Namun, sebagai generasi ketiga praktisi hukum di keluarganya, Ratna memang memiliki banyak sekali pengalaman yang bermanfaat untuk Lanang, melebihi apa yang bisa Cakra beri.

"Oh, Ratna Karissa yang anaknya Pak Hakim itu, ya?" Air muka Dimas sekonyong-konyong berubah secerah matahari pagi, sedangkan di luar hari semakin gelap. "Dia pengacara tokcer di bidang hukum bisnis."

Pembahasan soal Lanang terselesaikan begitu saja. Ratna menjadi topik obrolan yang lebih menarik. Dimas bercerita panjang lebar terkait kasus sengketa mega proyek yang melibatkan banyak pengacara berpengalaman, salah satunya Ratna. Di akhir dongeng, sempat-sempatnya Dimas berceramah pada Kyra, pengacara baru di HAD Law Firm cabang Surabaya, yang kali ini menghadiri rapat sebagai pengganti seniornya.

"Kebelet?"

Jeremias iseng bertanya. Setelah Dimas keluar ruangan, kegelisahan Cakra tak lagi ditutupi. Ketimbang meladeni pertanyaan rekan kerjanya, Cakra malah meraih ponsel dan terkejut melihat banyak sekali notifikasi masuk dari kakaknya dan dari Raga.

Tiba-tiba saja Cakra menepuk dada Jeremias menggunakan map. Jeremias berjengit terkejut.

"Titip ini buat Ria. Aku ada urusan."

"Ria?" Jeremias bertanya. Rekannya terlalu absurd, tiba-tiba memerintah tanpa memberi alasan.

Cakra berdecak kesal. Tanpa sengaja tatapannya hinggap pada perempuan yang tengah merapikan kertas-kertas di meja. Cakra tidak terlalu akrab dengannya, tetapi tak ada salahnya meminta tolong selagi butuh. Lagi pula, dibandingkan Jeremias, meja kerja Kyra dan Ria lebih berdekatan. Keduanya sama-sama memiliki jabatan sebagai junior associates.

"Kyra, kamu kenal Ria, kan?" Cakra memberi sapaan singkat. Map yang tadi dia berikan pada Jeremias berpindah tangan ke Kyra. "Saya minta tolong sampaikan ini ke Ria, ya. Kalau dia tanya, bilang aja saya nanti balik ke kantor lagi."

Kyra tidak diberi kesempatan bertanya. Setelah mengucap terima kasih, Cakra langsung melesat pergi. Panggilan Jeremias pun tak digubris.

Di dalam lift yang membawanya turun, Cakra terus berpikir. Raga kabur dari rumah Citra dan pergi sendirian ke tempat kerja Cakra. Dari keseluruhan pesan masuk yang didominasi oleh voice note, pesan terakhir dari Raga justru berupa ketikan. Jelas pesan itu bukan dibuat Raga. Pasalnya, putra Cakra itu masih dalam tahap belajar menulis. Dengan demikian, siapa yang sedang bersama Raga dan mengetik pesan tersebut?

"Raga!" Cakra bernapas lega menemukan putranya tengah duduk menunggu di lobi lantai satu. 

Raga mengangkat wajah saat mendengar panggilan sang ayah. Wajahnya cemong oleh biskuit lapis cokelat. Si bocah melambaikan tangan sebagai ganti sapaan karena mulutnya sedang mengunyah.

Langkah Cakra memelan. Untaian nasihat untuk Raga di ujung lidah menghilang. Di samping Raga, ada seorang wanita yang menemani. Wanita itulah yang membuat pikiran Cakra buyar.

"Halo, Cak!" Ratna berdiri menyambut Cakra, agak tak enak hati. "Maaf, aku lancang. Tadi aku lihat anak kamu dicegat satpam di depan, dikira anak hilang. Daripada sendirian, mending aku temani dulu."

Cakra masih termangu. Dia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Ratna, sosok yang kabarnya tak terdengar berhari-hari lamanya. Karena kali ini tidak ada Doni, atau siapa pun yang berpotensi mengganggu, Cakra seharusnya bisa membalas sapaan Ratna layaknya teman lama. Namun, mengapa lidahnya tetap kelu?

"Ayah, biskuitnya bukan dikasih tante ini, kok," kata Raga sambil menarik-narik lengan kemeja Cakra dengan tangannya yang kotor. "Aku beli sendiri di minimarket. Tante ini cuma nemenin. Aku benar, kan, nggak terima makanan dari orang asing?"

Cakra menarik napas panjang. Setelah membelikan Raga ponsel, bukan seperti ini skenario yang Cakra harapkan. Bisa-bisanya Raga memesan taksi daring sendiri dan pergi ke kantornya tanpa izin. Untung saja Ratna menemukan Raga. Cakra tidak bisa membayangkan ada orang jahat menculik putranya.

Sambil mengusap puncak kepala Raga, Cakra kembali menatap Ratna. Cakra sudah mengantisipasi pertemuan dengannya sejak Doni bilang bahwa Cakra dan Ratna bekerja di gedung yang sama. Namun, Cakra tetap tak siap. Setelah menghilang tanpa kabar, Ratna terlalu tenang seperti tidak ada apa-apa di antara mereka.

Apakah selama ini hanya Cakra yang mengkhawatirkannya?

Ratna yang bingung karena Cakra diam seribu bahasa pun berkata, "Kalau gitu, aku pulang dulu."

"Na, tunggu!"

Kepergian Ratna ditahan tarikan pelan Cakra pada pergelangan tangan. Wanita itu menoleh cepat. Karena takut dianggap melakukan pelecehan, Cakra segera melepas pegangannya.

"Mau makan malam bareng? Hitung-hitung sebagai balas jasa sudah jagain Raga."

"Balas jasa?" Senyuman Ratna masih sama. Itu jenis senyum ramah yang bertujuan merentang jarak. "Cukup bilang terima kasih, Cakra."

"Kalau aku bilang mau ajak makan malam biar kita bisa ngobrol, kamu mau?" Cakra semakin berani. Dia tidak akan tertipu akal bulus Ratna yang bermaksud menghilang lagi.

"Aku bisa nolak?"

"Atas nama pertemanan, kamu nggak boleh nolak."

"Ayah sama Tante berteman?" Raga nimbrung bicara. Kepalanya terdongak menatap Ratna dan Cakra bergantian. "Berarti Tante nggak bohong, ya? Aku kira Tante cuma berteman sama Om Doni."

"Iya, Tante–"

"Raga tunggu sini sama Tante Ratna," sela Cakra sambil mendorong pelan putranya ke arah Ratna. Dia memanfaatkan kesempatan. "Raga pegangin tantenya biar nggak kabur. Ayah ke atas sebentar ambil tas, habis itu kita makan malam bersama."

Ratna membeliak. Dia tidak bisa melarang Cakra pergi. Lengannya keburu dipegangi Raga. Tidak tanggung-tanggung, kemeja Ratna dibuat kusut. Noda cokelat pun menempel di sana.

"Tante nggak boleh kabur!" sentak Raga tegas menuruti titah Cakra.

Permintaan Raga membuat Ratna menghela napas panjang. Ratna tak punya pilihan selain mengangguk. Wanita itu berakhir mengajak Raga supaya duduk lagi.

"Iya, Raga. Tante di sini nunggu ayah kamu." Ratna merogoh tas tangan dan mengeluarkan sapu tangan biru muda. "Mana tangannya? Sini dibersihin dulu!"

"Mirip sama punyaku," komentar Raga sambil menunjuk kain segi empat di tangan Ratna.

Bagaimana bisa tidak mirip? Sapu tangan ini sesungguhnya milik Cakra, atau malah milik Raga. Setelah mencucinya sampai bersih, Ratna selalu membawanya di dalam tas. Ratna masih ingat betul cerita Cakra tentang menambah pengalaman setelah punya anak.

Ratna tersenyum tipis. Dengan menggunakan sapu tangan Cakra, kini Ratna memiliki pengalaman mengasuh anak. Anak Cakra pula. Apakah pertemuan mereka bukan sekadar pertemuan biasa?

Ratna enggan menerka-nerka. Di kondisinya sekarang, Ratna dilarang terlalu akrab dengan siapa pun. Ratna tak mau dianggap sebagai pembawa petaka.

***

Hai! Gimana sama ceritanya? Setelah baca, jangan lupa kasih dukungan, like, dan komen ya! 😉

Di bab ini kita kedatangan Jeremias dari cerita "Do You Get Déjà vu, Huh?" (merosems) dan Kyra dari "Tempting Miss Lawyer" (Ina carra). Makasih ya sudah mau direpotin Cakra 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro