56 | Rencana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Papa minta supaya kita cepat menikah."

Ratna membuang muka, tak berani melihat Cakra, kemudian menimpali, "Ayahku kebalikannya. Dia minta supaya kita nggak perlu menikah, apalagi kandunganku sudah nggak ada."

Cakra yang merasa posisinya terancam segera meraih tangan Ratna. "Kita menikah atas dasar saling cinta, bukan karena kamu hamil duluan."

Si wanita melengos. Kemarin Ratna mengatakan tidak pernah ada kata cinta di antara mereka. Tampaknya Cakra menganggap gampang pendapat Ratna. Hingga kini Ratna tak mendengar ungkapan itu. Jari manis Cakra pun masih kosong, berbeda dengan Ratna yang meskipun marah tidak pernah melepas cincin pertunangan mereka.

"Ratna?" Cakra menepuk punggung tangan Ratna berkali-kali. "Kamu masih butuh waktu?"

"Kamu cinta sama aku?"

Diam adalah jalan ninja, setidaknya untuk mengulur waktu. Cakra mengira semua yang telah dia lakukan dan usahakan dapat dianggap sebagai ungkapan kata cinta. Baru akhir-akhir ini saja Ratna mempermasalahkannya.

"Kamu nggak yakin sama aku karena pertengkaran kita?" Cakra menempelkan punggung tangan Ratna ke pipinya. "Aku cinta banget sama kamu. Maaf kalau bikin kamu ragu. Aku kira ciumanku saja cukup, karena dalam anggapanku ciuman sama dengan 'I love you'. Mulai sekarang, aku bakal ungkapin cinta sesering yang kamu mau."

Untuk sebagian orang, terutama kalangan yang suka termakan isi pikiran sendiri, ungkapan cinta yang jelas adalah pertanda sebuah kepastian. Mendengarnya mendapat kelegaan. Itu adalah sebuah kata ajaib, lebih-lebih bagi Ratna yang tumbuh besar di lingkungan yang gersang akan perhatian, cinta, dan kasih sayang.

Di samping itu, dari dulu Ratna sudah mengetahui pendapat Cakra perihal ciumannya yang langka. Sekarang Ratna jadi menyadari bahwa dirinya bersikap seperti remaja labil, padahal dia sendiri tahu bahwa ungkapan cinta bisa ditunjukkan dalam berbagai bentuk.

"Aku minta maaf."

"Apa?"

"Aku mau minta maaf," ulang Ratna lebih lantang. "Aku merusak kepercayaan kamu dengan menghubungi Haiyan diam-diam. Jujur, aku frustrasi banget masalahku nggak selesai-selesai, bahkan sampai menyakiti kamu dan Raga. Sejujurnya, cara kerja kita memang berbeda. Untuk kasus ini, pendekatan kamu kurang agresif. Aku geregetan sendiri karena kamu nggak berhasil mendapat persetujuan Haiyan. Aku sampai turun tangan untuk hubungi dia dan istrinya."

"Istrinya? Untuk apa?" Cakra mengangkat alis. Baru kali ini dia mendengar taktik Ratna. Dari Doni pun tidak.

"Kelemahan Haiyan adalah istri dan anak-anaknya. Karena nggak bisa membujuk Haiyan, aku ganti haluan mengusik zona nyaman istrinya." Ratna tak berani menatap Cakra. Bisa dibilang, dia malu bila Cakra akan melihatnya sebagai orang licik. Ratna lantas melanjutkan, "Setelah beberapa kali bertemu, kami mencapai kesepakatan. Keluarga Haiyan meminta perlindungan ekstra, yang cuma bisa aku dapatkan dengan bantuan ayahku. Hasilnya, Haiyan minggu depan akan datang sebagai saksi di persidangan."

Pendekatan itu bahkan tak pernah terlintas sedikit pun di benak Cakra. Cemburu buta ternyata mampu menumpulkan kemampuan berpikir. Cakra jadi malu pada Ratna, sekaligus merasa bersalah, karena melimpahkan kemarahan begitu saja tanpa mau mendengar penjelasan.

"Aku juga minta maaf karena malam itu kehilangan ketenangan dan asal main tuduh," ucap Cakra tulus.

"Kamu berhak marah. Aku yang salah di sini." Ratna mengulas senyum tipis. "Kalau diingat, malam itu aku sama sekali nggak dewasa. Aku malah ikut-ikutan marah, kayak bukan aku banget."

"Bisa aja itu bawaan hormon. Kamu, kan, lagi hamil."

"Bisa jadi."

Cakra meletakkan dagunya pagar pengaman kasur pasien. Namun, tatapannya yang dalam dan meneduhkan terus terarah pada Ratna seorang. Wanita yang dari tadi mendapat perhatian sebesar itu jadi mengalihkan pandangan salah tingkah.

"Kenapa lihatin aku gitu banget, sih?" Pada akhirnya, Ratna menutup mata Cakra dengan telapak tangan.

"Kalau kita bisa secepat ini baikan, kenapa harus menunda-nunda waktu untuk ketemu dan ngobrol?"

Sambil menyingkirkan tangan wanitanya, Cakra tak berhenti tersenyum. Genggaman tangannya pun tak berhenti sampai situ. Ibu jari Cakra terus mengusap punggung tangan Ratna dalam ritme yang konstan dan tekanan yang sama.

"Kenapa kamu selalu reject telepon dari aku?" tanya Cakra lagi karena Ratna terus menutup mulut.

"Banyak hal yang harus aku urus, Cak. Dan sejujurnya, nggak selalu sama kamu bisa bikin pikiranku lebih jernih. Aku jadi tahu harus ngapain aja untuk menyelesaikan kasus yang menimpa kita."

Cakra menggeleng menyatakan ketidaksetujuan. "Pikiran kamu jernih bukan karena kita berjauhan, tapi karena sudah nggak ada kebohongan yang perlu kamu pikirkan."

Ratna meringis karena tahu pendapat Cakra lebih tepat. Cakra yang melihat reaksi itu tidak bisa tidak merasa menang. Pria itu berdiri, kemudian merangkum pipi-pipi Ratna dengan kedua tangan. Dia menciumi wajah Ratna, tak peduli kekasihnya itu meminta dilepaskan.

"Karena sekarang kita sudah baikan, aku mau kamu terus terang sama aku." Cakra berhenti bermain-main. Dia kembali duduk, tetapi kali ini tidak lagi terlalu menempel pada Ratna. "Apa langkah kamu berikutnya setelah menyambungkan titik kasus yang menimpa aku dan Raga dengan kasusmu?"

Ratna berdeham. Sudah saatnya dia dan Cakra menyatukan kekuatan.

"Kemarin sore Doni telepon. Dia bilang, empat preman itu akhirnya mau buka mulut. Sesuai dugaanku dan Doni, ternyata mereka dapat perintah dari Andre."

"Andre?" Cakra memiringkan kepala. "Andre teman sekantormu? Bukan Dewa?"

"Semua bukti mengarah ke Andre. Kita bisa lihat di pemeriksaan lanjutan nanti. Dia sudah dapat surat pemanggilan, mau nggak mau harus datang. Oh ya, aku juga mau minta tolong sama kamu."

"Apa?" Cakra kembali bersemangat. Permintaan tolong Ratna ibarat pertanda bahwa Cakra akhirnya kembali masuk ke dalam tim, tidak sekadar sebagai anggota bayangan.

"Aku perlu persetujuan kamu sebagai wali Raga. Cuma dia saksi mata yang tahu wajah si pemberi kado flashdisk. Dia juga tahunya yang kasih kado itu temanku. Pernyataannya terlalu berharga untuk diabaikan."

"Apa nggak apa-apa? Bukannya sebelum ini kamu sama sekali nggak suka kalau sampai melibatkan Raga?"

Ratna menaik-turunkan alis. Meski wajahnya masih sedikit pucat, raut bahagianya mulai terpancar. "Aku sudah bikin perjanjian sama Hana untuk kasih perlindungan. Karena yang handle pihak swasta, aku jadi lebih percaya. Penyelidikan IP address dan lain-lain yang berkaitan dengan teknologi pun pakai bantuan orang luar. Kalau ada uang, pekerjaan memang jadi lebih lancar."

"Ya, tapi jadinya kamu harus teken kontrak sama Hana." Cakra mengusap kepala Ratna, kemudian menyanggupi permintaannya. "Nanti aku bilang dulu sama Raga. Dia pasti mau bantu ibunya."

Jantung Ratna kembali tercubit. Dia masih tidak terbiasa dengan perubahan panggilan dari Raga.

"Duh, jangan panggil aku pakai sebutan itu! Restu orang tua aja kita belum dapat." Ratna menepuk pelan dada Cakra.

"Gampang. Bisa aku usahakan." Cakra mengerling jahil. "Kalau perlu, aku teken kontrak yang besarannya sepadan buat ayah kamu, kayak kamu ke Hana."

"Itu, sih, sama aja kayak pernikahanku dengan Dewa dulu. Aku nggak suka, ya, Cak. Aku nggak mau pernikahan keduaku terkesan main-main." Ratna mengetuk kepala menggunakan buku-buku jarinya, kemudian ganti mengetuk meja di samping tempat tidur. "Amit-amit," lanjut Ratna sambil bergidik.

Cakra meniru tingkah Ratna untuk mencairkan suasana. Mereka tergelak bersama. Karena Ratna berpendapat idenya buruk, Cakra tak akan melakukannya. Mulai sekarang mereka harus mengomunikasikan segalanya, baik yang menyenangkan maupun tidak.

"Nanti aku cari cara lain, yang jelas jangan minta aku untuk menyerah. Kita bakal tetap menikah." Cakra tersenyum saat Ratna mengangguk. Dia lanjut berkata, "Besok kamu sudah pulang. Kayak waktu aku pulang dari rumah sakit dulu, Raga pasti bakal heboh menyambut kamu di rumah."

Garis bibir Ratna seketika mendatar. "Cak, aku nggak bisa balik tinggal di rumah kamu."

"Kan, gantian. Biar aku yang urusin kamu pas sakit begini."

"Nggak bisa, Cak." Ratna berucap tegas. "Aku nggak tahu diri kalau nekat begitu. Mau ditaruh mana mukaku di hadapan keluargamu?"

Cakra mendesah. Meski kasus yang melilit mereka sudah mulai terurai satu per satu, tetap saja jalan panjang masih membentang. Ada halangan lain yang sama sulitnya, yaitu menyatukan dua keluarga yang telanjur bermusuhan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro