Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lembayung Senja 2

Gaess diriku mampir lagi.

Seneng nggak?

Ngacung deh yang seneng.

Kalian nangis, nggak?

Share dan komen cerita ini banyak-banyak biar jadi trending yaaa..mwaaach.

***

Galang Jingga Hutama yang baru saja kelar menunaikan ibadah sunah setelah Zuhur, mengenakan kaus kaki dan sepatunya asal saja dan berlari dengan kaki yang dipasangi alas tidak pas karena dia terlalu sibuk memikirkan satu nama yang sejak tadi bercokol di kepalanya. Dia ingat, pagi sebelum berangkat sempat mengintip dari balik pagar dan menemukan suara Zainuri, tetangga mereka yang juga merupakan ayah kandung Seruni berteriak memanggil putrinya dengan suara keras berkali-kali. Tidak ada jawaban yang dia dapat karena detik itu, Seruni sudah berhasil melarikan diri dengan mensejajari sebuah mobil box pengangkut barang kelontong yang sebelumnya parkir di sebelah rumah mereka. Gadis kurus kering itu berhasil kabur dan selamat dari amukan sang ayah pagi-pagi buta.

Jingga sempat menemukan Seruni sedang mengikat tali sepatunya yang panjang dan berlumur tanah basah. Dia diam saja sewaktu ibu jari tetangganya yang kelihatan berdarah tersebut, bergetar menyatukan simpulan tali agar menjadi ikatan pita cantik. Seruni yang sempat melihat jejak Jingga lewat bayangan air menggenang di hadapannya kemudian mempercepat langkah dan berlari menghindari pemuda yang sejak mereka SMP, selalu menghina dan mengatai penampilan Seruni yang tidak jauh lebih baik dari gadis gelandangan yang tercebur di selokan.

Menghindar adalah satu-satunya cara yang dia tahu supaya bisa selamat dari deraan dua orang yang tidak ingin dia lihat. Meski begitu, sewaktu dia merasa tidak kuat lagi berlari, pada akhirnya Seruni membiarkan saja Jingga mengoceh dan memberi komentar entah pada kepang rambutnya yang acak-acakan, kaus kaki miliknya yang kendur sebelah, atau bahkan, ujung sepatu yang patah karena sudah terlalu usang. 

Seruni bukannya tidak tahu diri. Dia bisa saja mandi dengan air bersih dan keramas dengan sampo, namun, harga air leding tidak murah dan kondisi ibu sedang tidak baik untuk membayar tagihan. Mungkin, sepulang dari mengupas kerang sore nanti, dia akan mencari dua atau tiga botol plastik kosong bekas air mineral, mengisinya dengan air dari drum penampungan hujan di rumah kosong dekat masjid lalu keramas. Seruni bahkan bisa mengira-ngira sebanyak apa air yang bisa dia dapat dan hingga selesai mandi dia cuma membutuhkan sedikit saja supaya ibu masih bisa memakai sisanya buat cuci muka atau buang air kecil. 

Gue bisa jual air mineral sama teh dingin, sih. Lumayan jual gopek, modal cuma dua ratus. Buat tambahan bayar listrik sama air. Kemarin gaji ngupas kerang ada dua belas ribu, gue simpen dalam sepatu biar kaga diambil bapak.

Sayangnya, Seruni tidak menyangka sewaktu dia dipanggil menjelang Zuhur dan uang yang sudah sempat dia letakkan kembali di saku tas, terpaksa harus dia bawa untuk dibayarkan kepada pengurus koperasi sekolah yang juga merangkap jadi Waka urusanKesiswaan, ibu Mardiah, S.Pd

"Jadi, sudah ada uangnya?" Ibu Mardiah bertanya ramah tidak lama Seruni memberi salam dan masuk ke ruang wakil. Dia mulanya takut duduk di kursi logam merk terkenal yang alasnya dilapisi jok busa tipis berwarna hitam. Dengan tangannya yang kurus dan korengan, Seruni menjulurkan segenggam rupiah lusuh dalam ikatan karet yang ketika melihatnya membuat Ibu Mardiah mengucap nama Tuhan.

"Tanganmu, Nak, kenapa? Alergi?"

Seruni menggeleng. Dia tidak berani menjawab apalagi angkat kepala. Dia cuma ingin urusannya di ruangan tersebut cepat kelar. Rasanya amat tidak nyaman dan Seruni hampir tidak pernah bercerita pada siapapun tentang keadaannya.

"Ibumu sehat?" 

Seruni paling tidak kuat bila ada yang bertanya tentang kabar ibu. Dia selalu menjadi penyemangat Seruni hingga bertahun-tahun dan setiap kondisi ibu memburuk, Seruni tidak pernah berniat meninggalkan wanita itu. Tapi ibu selalu memohon agar dia pergi supaya bapak tidak menyiksanya bila ia terlalu lama berada di rumah. 

Melihat Seruni hanya mampu menunduk dengan tangan kanan masih memegangi segumpal ribuan, membuat Ibu Mardiah kemudian bertanya lagi, "Uni? Kamu baik-baik saja? Kamu sudah makan siang?"

Seruni kembali membalas lewat gelengan. Tangan kirinya dia gunakan untuk menyeka bulir-bulir yang jatuh dengan lancang. Tadi pagi, dia sudah memberi semangat kepada ibu supaya menunggunya pulang. Seruni akan bekerja giat mengupas banyak kulit kerang sore nanti sehingga dia akan punya tambahan beberapa ribu untuk membayar tagihan. Kini, dia harus melunasi buku yang sebenarnya tidak dia perlukan. Seruni selalu mengerjakan tugasnya dengan modal menyalin semua isi LKS milik Lusiana atau Jingga. Mereka semua mengizinkan Seruni meminjam walau sebelumnya harus menghujani gadis malang tersebut dengan tatapan dan kalimat merundung paling keji yang pernah dia dengar. Tapi, Seruni yang merasa bersyukur mendapat pinjaman tidak pernah membenci mereka berdua.

"Seruni? Ibu nanyain keadaan kamu, loh. Masa nggak mau balas pertanyaan ibu?" Kembali Ibu Mardiah mengajukan pertanyaan. Pada akhirnya, Seruni mengangkat kepala.

"Bu Mar, Uni boleh nggak beli LKS-LKS itu? Uni salin semua tugas, kok. Sekarang lagi banyak kebutuhan di rumah dan Uni nggak bisa nyusahin Ibu. Nanti kalau Uni dapat…"

Seruni menghentikan kalimat karena ludahnya terasa menyangkut di tenggorokan. Dia tidak berani bercerita tentang kegiatannya di pasar ikan setiap pulang sekolah dan bila dia buka suara lalu terdengar sampai ke telinga anak-anak SMANSA JUARA yang lainnya, Seruni makin dijadikan bulan-bulanan.

Terutama oleh dia…

"Ooh, tukang kupas kulit kerang. Mak sama bapak lo nggak mampu lagi kasih anaknya duit, kan? Kere miskin, sih. Pantes rok sama sepatu jebol. Besok-besok, giginya jebol."

***

Seruni tidak banyak bicara sepanjang sisa jam pelajaran terakhir. Hanya saja, dia terlihat amat tegang sewaktu guru yang sebelum ini dia tolak bantuannya untuk membeli LKS secara mencicil masuk kelas. Bu Mardiah selalu baik dibandingkan guru-guru yang lain. Dia yang punya rasa keibuan tidak pernah memandang Seruni sebelah mata seperti yang dilakukan beberapa oknum guru serta segelintir siswa yang mencibir tanpa tahu kondisi gadis itu. Karena itu juga, Seruni hanya mampu mengalihkan pandang ke arah buku catatan miliknya yang makin tipis dan bersiap untuk mencabut selembar kertas untuk menjawab tugas yang soalnya bisa dia lihat dari LKS milik Lusiana.

"Ci, Uni nyalin bentar, ya? Tolong…" Seruni memohon dengan nada rendah. Malu sebenarnya, apalagi setiap dia mendengar gerutuan dan decak tanda Lusiana, teman sebangkunya, terlihat amat terganggu. Seruni kemudian meminta maaf dan berkata kalau dia akan cepat menyalin dan mengerjakan tugasnya jauh-jauh dari Lusiana agar remaja jelita itu tidak terganggu. 

"Lo, sih. Pake nolak-nolak tawaran Bu Mar. Sok kaya. Kaos kaki aja nggak pernah dicuci."

Seruni yang merasa mendapat tikaman di ulu hati berusaha tersenyum dan membalas, "Gue cuci, tapi kaos kaki gue emang kendor semua. Beli yang murahan nggak kayak punya lo…" 

Lusiana hendak menjawab namun dia mendadak diam sewaktu melihat Jingga yang duduk di depan mereka berdiri begitu saja lalu memandang keduanya. Tidak ada kata-kata, tidak ada penjelasan, namun, sedetik kemudian, sebuah LKS baru mengkilap dilemparkan saja tepat ke atas meja Seruni dengan gayanya yang kasar.

"Nggak usah ganggu Uci, bisa? Lo pake aja LKS ini, terus jauh-jauh dari Uci. Dia bisa gatel-gatel ketularan kudis dari badan korengan lo."

Dan seperti itulah. Jingga kembali menghadap ke arah papan tulis meninggalkan Lusiana yang mengucap syukur karena aksi heroik Jingga menyelamatkannya dari Seruni yang bau sementara Seruni sendiri, memandangi LKS baru di hadapannya dalam diam. 

Entahlah, dia tidak tahu mesti mengucap terima kasih atau marah karena kalimat yang Jingga ucapkan benar adanya. Dia bau dan menyebalkan. 

Disentuhnya lembar sampul LKS dan dihidunya aroma buku baru yang terasa menyesakkan hingga dada. Apakah Jingga membeli buku ini untuk dirinya sendiri? Atau memang karena dia benar-benar terganggu Seruni sudah lancang mengganggu Lusiana. Dia tidak tahu.

"Makasih, Ga. Makasih banget."

Makasih.

Kami masih bisa bayar uang PAM bulan ini karena lo.

Karena lo benci gue deket-deket Uci, gue dan Ibu selamat dari siksaan Bapak malam nanti.

***

Lima menit lepas Seruni berlalu dari ruang Wakil Kepala Sekolah, Galang Jingga Hutama dengan pelipis penuh peluh mengetuk pintu seraya mengucap salam. Dia bahkan lupa melepas peci dan memilih untuk mencium punggung tangan sang guru.

"Loh, Jingga? Ada perlu apa? Udah salat, kamu? Jam istirahat tinggal sepuluh menit lagi. Sana makan." Ibu Mardiah tersenyum sewaktu menemukan Jingga menggeleng.

"Mau nebus LKS Uni, Bu. Dia belum ambil, kan? Aga disuruh Mama supaya bantu Uni. Soalnya ibunya sakit…"

Cih, dia pintar sekali berbohong. 
Mana ada Chandrasukma Hutama, ibu sosialita yang selalu cerewet itu menyuruhnya agar berbaik hati pada Seruni. Dia sendiri juga tidak mengerti mengapa saraf-saraf di kepalanya memaksa Jingga melangkah ke ruang wakil dan dia merasa amat tersiksa mendengar isak tangis Seruni yang terdengar sewaktu dia berdiri di samping pintu. 

"Uni nggak bisa nyusahin ibu…"

***

Yang suka, jangan lupa komen dan klik ❤❤❤ banyak-banyak supaya eke bisa fast update. 

Mwaaaach.

Lanjut kagaaaaa?

MCR💅💅💅💅
***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro